Media Bawean, 16 September 2008
Berapakah Nilainya Sebuah Kematian?
Oleh : Hj Samri Barik SH
LLB Hons London

Kondisi geografis diatas sangat rawan terjadinya kecelakaan di jalur laut. Baik kecelakaan yang disebabkan oleh kondisi cuaca yang buruk (gelombang besar dan angin kencang), kecelakaan yang disebabkan oleh kesalahan manusia dan kesalahan pada mesin-mesin. Padahal sampai saat ini jalur laut adalah jalur yang masih ramai digunakan sebagai jalur penghubung antara pulau, baik untuk jalur transportasi manusia dan barang.
Namun Indonesia sampai hari ini belum mempunyai undang-undang yang mengatur secara tegas perkara kecelakaan di jalur laut. Sebuat undang-undang yang membolehkan memutuskan kematian seseorang melainkan setelah jasad korban ditemukan, dan dapat dipastikan oleh polisi, dokter, dan tim forensik untuk mengesahkan kematian korban dalam surat kematian.
Hal ini menjadi masaalah kemasharakatan kerana hal-hal pribadi manusia yang telah mati harus terurus, saperti ansuransi harus di tuntut, harta warisan harus berpindah, isteri/suami yang mau menikah lagi tidak mendapat status yang pasti, dan begitu juga dengan hal-hal pribadi yang lain tidak bisa segera diselesaikan karena lambatnya proses hukum.
Dalam Koran USA today tgl 26 January 2005 menyebut tentang pernyataan Iskandar Sitorus, pengacara Indonesia bagi Health Legal Aid Foundation, “ menegaskan bahwa hal saperti ini yang berlaku hanya dapat di selesaikan oleh Presiden dengan mengeluarkan satu decree mengenai undang-undang tersebut kerana undang-undang Indonesia tidak memberikan aturan yang jelas mengenai orang-orang yang hilang dan yang harus di anggap sudah meninggal dunia.
Kenapa hal ini di anggap penting dalam masyarakat yang berlandaskan hukum? tapi faktanya, negara belum sepenuhnya mengatur perkara-perkara hukum dan mengaturnya pada undang-undang.
Ketika Aceh dilanda Tsunami pada tahun 2005, banyak ditemukan mayat yang tidak dapat dikenali identitasnya. Ada yang sudah busuk apabila di kumpulkan dan harus di tanam sacepat mungkin, dan ada yang tidak terjumpa mayat nya sama sekali. Ketika situasi kembali tenang, ternyata banyak warga yang teridentifikasi hilang tapi tidak jelas keberadaannya. Juga ada orang-orang asing yang sedang wisata di tempat tersebut dan tidak pulang setelah keadaan kembali tenang. Keluarga meminta bantuan polisi dan perangkat setempat untuk mengeluarkan surat kematian, namun mereka tidak berani atau mampu memberikan bantuan hukum yang saharusnya. Sahingga keluarga korban sangat kesulitan dalam mengurus warisan dan hak milek simati kerana ketiadaan surat kematian. Pastinya akan rumit untuk menuntut ansuransi si korban dalam keadaan tidak punya surat kematian. Contoh riil adalah kasus tenggelamnya kapal Palangkara dilaut Bawean. Dimana pemerintah (dinas perhubungan laut) tidak berani mengeluarkan surat kematian pada anak buah kapal (ABK) kerana, pertama; tidak punya kewenangan untuk berbuat demikian, dan kedua tidak ada hukum yang mengatur hal tersebut.
Dalam artikel ini, saya akan menulis mengenai hukum diluar Indonesia. Dimana hukum dan undang-undang telah ditegakkan. Dimana masyarakat atau keluarga korban bisa melaporkan langsung perkara kehilangan sala satu anggota keluarganya ke mahkamah. dan undang-undang ini telah menjadi hukum internasional. Yang harapannya pemerintah Indonesia sesegera mungkin mengadopsinya demi menegakkan hak-hak warga negaranya.
Sejarah nya
Satu petunjuk dari sejarah adalah statute (Akta) Cestui Que Vie Act tahun 1666 yang membenarkan seorang pemohon dimasukkan dalam pemohonan apabila kematian berkaitan dengen warisan seaorang ahli waris : “ yang berada di seberang lautan atau menghilang tanpa jejak selama 7 tahun dan tidak ada satu bukti apapun yang dapat menunjukkan bahwa mereka masih hidup.”
Pada kasus seperti diatas, pihak keluarga boleh mengurus surat kematian korban dan menganggap korban telah benar-benar meninggal dunia untuk mempercepat dan mengurus proses asuransi dan pembagian hak waris. Dan hakim yang menghadapi kasus tersebut akan mengarahkan Jaksa untok memberikan keputusan seolah-olah orang yang masih berada di seberang lautan atau dimana saja yang tidak jelas keberadaannya bisa anggap telah meninggal dunia. “
Dan bercerita mengenai kasus Re Phene’s Trust 1871 Chancery 356, Ontario Court dalam kasus Darling v Sun life Assuranc Co di Canada Menyebut:
“ Apabila seseorang tidak jelas keberadaannya salama 7 tahun, bisa diproses secara hukum bahwa beliau telah meninggal dunia; tapi pada kasus kematian yang berdasarkan bukti kongkrit bukan asumsi-asumsi , dimana bukti kematian tersebut berlaku selama 7 tahun dan sepenuhnya menjadi tanggungjawab orang yang membuat pernyataan dan dalam penentuan fakta membuktikan , yang mana hal ini sangat penting”.
Pada saat yang sama ahli hukum berpolemik dimana mempertahankan nilai-nilai dasar yang dapat dipegang teguh hingga menjadi pedoman dalam pembuatan undang-undang, ia adalah satu persoalan yang tidak pernah pasti pada hokum ( common law), dan mahkamah masih tetap condong pada statute atau undang-undang Parlemen apabila kematian itu berdasarkan jangka waktu 7 tahun atau kurang , atau dimana ada bukti yang konkrit untuk memastikan kematian tersebut bahawa beliau benar-benar sudah meninggal dunia berdasarkan “kemungkinan besar satu asumsi-asumsi dasar”.
Maka kematian bukanlah hanya satu fakta saperti fakta yang lain nya. Ia harus dibuktikan apabila ia menjadi dasar tuntutan, tetapi juga apabila perlu, harus dapat meyakinkan dan bukan meragukan mahkamah.
Saumpama nya cerita mengenai kapal Titanic yang telah tenggelam di lautan pada tahun 1900 dulu, tidak ada seorang yang kembali , atau bagian bangkainya diketemukan pada 100 tahun kemudian, maka tidak perlu bagi mereka yang berkepentingan hari ini menunggu 7 tahun lama nya. Hal yang sama juga tidak perlu dinantikan kehilangannya seperti kehilangan pesawat Adam Air, hilang di laut atau musibah yang serupa, yang kalau di timbang kan dari lingkungan yang sama, akan mengajukan pendapat kita bahwa asumsi-asumsi dasar atas kematian korban harus dibuat.
Mahkamah Agong Nova Scotia telah mengeluarkan undang2 Parliament mengenai andaian kematian dibawah Undang-Undang ”Presumption of Death Act R,S c 354 s 1” yang berbunyi
Perintah andaian kematian
3(1) Apabila Permohonan dibuat oleh pihak yang berkepentingan melalui notis , dan mahkamah menyatakan bahwa
(a) seseorang telah menghilang dan keberadaannya tidak teridentifikasi oleh siapapun dan juga oleh pemohon atau dari pengetahuan pemohon oleh orang lain sejak hari yang ditentukan; (b) pemohon tidak mempunyai alasan bahwa seseaorang itu masih hidup; dan (c) Mempunyai alasan yang cukup untuk mengandaikan bahwa orang tersebut telah meninggal dunia; Mahkamah boleh membuat asumsi-asumsi dan memutuskan bahwa seseorang disumsikan telah meninggal dunia untuk semua perkara, atau untuk perkara-perkara yang disebutkan dalam keputusan tersebut.
Akta Parliament Singapura juga mempunya Akta yang sama pada Section 110, Akta Pembuktian ( Evidence Act Section 110) yang berbunyi :
“Apabila pada perkara yang sama; ada seseorang yang masih hidup atau mati menjadi isu, dan memang terbukti bahwa seseorang itu menghilang tanpa jejak dalam jangka waktu 7 tahun. Dan seandainya ternyata masih hidup maka beban pembuktian menyatakan bahwa beliau masih hidup akan berpindah pada mereka yang menyatakan demikian.”
Undang-undang ini memudahkan warga memohon perintah mahkamah untuk mendapatkan surat pernyataan kematian bahwa seseorang itu sudah meninggal dunia apabila fakta pembuktian seperti surat-surat, pekerjaan dan saksi sudah diterima oleh mahkamah, dan siapapun yang menolak peryataan tersebut maka akan mendapatkan sangsi sebaliknya.
Penggunaannya
Sudah banyak kasus yang telah kami tangani dan diselesaikan dalam permohonan “asumsi kematian” pada tahun-tahun yang telah lama berlalu. Satu kasus yang masih segar saya ingat adalah kasus Siner bin Mawari (alm) seorang warga desa Paromaan yang telah hilang dari kapal pada tahun 1981 sewaktu beliau bekerja dengan kapal Singapura “Kota Manis”, bertolak pada tanggal 28 September 1981 dari Aden menuju ka Singapura. Permohonan ini di buat oleh saudaranya yang bernama Masmah binti Mawari, juga warga Paromaan yang tinggal di Jakarta. Sawaktu dalam perjalanan ditengah lautan, beliau didapati hilang, dan notice kehilangannya di perbuat oleh majikannya Pacific International Lines bahwa alm Siner telah hilang dari kapal nya. Pada saat kapal sampai di Singapura, barangbarang peribadinya almarhum dikirimkan ke rumah saudara nya di Jakarta dan dia dapat pesan untuk menunggu uang ansuransi yang akan dikirim oleh orang kantor di Jakarta. Setelah menunggu 5 tahun, cerita itu hilang begitu aja dengan tidak ada penanggung jawapan. Marmah (kini sudah almarhum) pulang ke kampung Desa Paromaan dan dia pasrah apa pun yang akan berlaku pada nasib dia. Setelah 10 tahun kasus ini diketahui kami dan kami melacak surat-surat di archive Maritim Singapura, dan untungnya Negara teknologi menyimpan data-data seperti itu sebagai sejarah manusia.
Setelah kami merujuk pada hukum pada saat itu dan juga dokumen yang telah kami peroleh dan kami kumpulkan, pengusaha telah memutuskan bahwa beliau telah membunuh diri dilautan dan oleh karena demikian, keluarga atau saudaranya tidak berhak mendapat ansuransi yang telah diansuransikan bagi setiap pelaut.
Tentu sekali saat itu sudah banyak pengacara yang mendekati kasus ini tapi tidak mau pegang, apalagi pengacara di Indonesia. Dan mereka juga tidak tahu kemana akan ditujukan permohonan surat perintah Mahkamah tersebut.
Bagi kami, halangan yang pertama adalah mengatasi hukum mengenai sekatan waktu( disbarment of claim) di bawan Akta Workmen Compensation (untuk kempensasi insurransi) kerana setiap tuntutan maritime harus di lakukan dalam tempo satu tahun dari waktu kecelekaan. Hal ini kami atasi dengan cepat atas hukum dan fakta yang ada. Halangan yang kedua adalah mengatasi manipulasi data/pernyataan bahwa almarhum tersebut telah membunuh diri dan kerana itu terhapus hak asuransi untuk keluarga pemohon.
Pada pembukaan sidang, kami menamakan Sdra Sinor Mawari, Marma Mawari (sekarang almarhumah) dan juga Sdra Namsi Mawari (juga sudah almarhum) sebagai penuntut, dan kami telah dapat meyakinkan bahwa asumsi/anggapan/tuduhan bunuh diri itu sebenarnya tidak punya asas medis ataupun saksi yang melihat. Dengan itu sidang jadi hangat dan perusahaan ansuransi minta waktu untuk diwakili pengacara handal dari firma Lee & Lee dari Singapura. Kasus ini selesai dengen pihak perusahaan ansuransi membayar tuntutan kami, dan keluarga orang Bawean tersebut kembali ke desa Paromaan dengan mendapat tuntutan insuransi yang mereka berhak.
Kasus yang terkait dengan warga Indonesia.
Banyak kasus saperti ini yang mengaitkan warga Indonesia. kerana banyak warga Indonesia yang bekerja dikapal terutama orang Bawean, dan tidak kurang orang Bawean yang kami kenal sering minta pendapat. Juga orang yang bukan Bawean yang sudah kami tangani kasus nya di Singapura juga sudah banyak. Kompensasi pekerja sekarang dibawah akta pekerja Workmen’s Compensation untuk kematian waktu bekerja dan dalam pekerjaan adalah sabesar $111,000.00 dollar Singapura ( rupiah 666 juta), saperti tersiar didalam gazette pemerentah baru2 ini. Jadi , perlu sekali pemerentah Indonesia memikirkan kepentingan warga nya akan undang-undang yang kami maksudkan. Dengen tidak ada undang-undang seperti itu, samalah proses hukum untok warga tertutup. Samalah artinya kematian mereka konyol, tidak punya hak menuntut kerana gara-gara tidak ada persiapan perundangan dalam negeri. Sekarang aja, setiap tuntutan insuransi harus menyiapkan surat kematian. Bayangkan kesulitan yang tidak ternilai ini.
KBRI
Oleh kerana kasus saperti ini tidak dapat di tangani oleh mahkamah di Indonesia, Kedutaan Besar Republik Indonesia dimana pun harus memberikan bantuan hukum membantu warga mereka dengan mengajukan pengacara, sama ada di Malaysia atau di Singapura atau dimana-mana untuk menimbang dan menangani kasus ini . Dengan berdiam diri aja tidak akan membantu warga yang sedang dalam kesulitan .
Dengan hanya melaung2kan negera berdaulat tetapi masih tidak siap melayani warga bukanlah suatu ucapan yang bijak.
.....Hj Samri Barik SH
Posting Komentar