Media Bawean, 14 September, 2008

http://imbalo.wordpress.com/
Masih tetap sehat di usianya yang telah kepala delapan, itulah Pak Suhdi pria yang berasal dari Sidogedungbatu Sangkapura Bawean.
Setiap hendak shalat ke masjid, Pak Suhdi acap mampir ke warung Hang Tuah, yang memang berdampingan dengan masjid Nurul Hidayah di Bengkong Polisi Batam. Terkadang selepas Isya, apalagi di bulan ramadhan ini, waktu Juhur dan Asyar pun tak beliau lewatkan shalat berjamaah.
Air matanya selalu menitik saat bercerita kepadaku, ”kalau aku mati, Man kau yang madiin aku ya” pinta nya kepadaku, dia memanggilku Man, singkatan dari namaku , kata-kata itu entah sudah berapa ratus kali diucapkannya.

Menurut pengakuan pak Suhdi dia tak dapat menulis latin, tetapi tulisan arab melayu dia bisa, kalau soal membaca surah Yasin dah teruji, satu jam bisa di tuntaskan nya 3 kali baca.

Pak Suhdi telah lebih setengah abad di rantau sejak meninggalkan kampung halamannya Sidogedungbatu Sangkapura tahun 1955, di desa kelahiran tak ada lagi siapa-siapa, itu yang membuatnya enggan pulang, tak ada lagi rumah , tanah pun sudah di jual untuk membiaya sekolah ke enam orang anaknya, Anak lelaki tertua nya seorang sarjana komputer, malah kini sudah master (S2) , menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi di Batam, Sarjana ekonomi, ada yang Bidan, perawat , kesemuanya telah berkeluarga.
Pak Suhdi masih tetap tegar berjalan, meskipun agak perlahan, matanya nya pun masih awas, dulu untuk bacaan khotbah jumat di masjid kami, dia tulis sendiri, ya dengan tulisan arab melayu tadi, sekarang dia tak lagi mau menjadi imam shalat. Isteri tercintanya Chosaima telah berpulang kerahmatullah 4 tahun yang lalu.

“Mungkin aku orang Boyan yang tertua di Batam Man, semuanya sudah mati” katanya sambil terisak.
Banyak cerita tentang pak Suhdi, banyak dia certia kepadaku, cerita tentang Bawean, cerita tentang masa kanak-kanak nya ngaji di surau, setiap cerita dia memelukku dan menangis, apalagi bila saat kami mengurusi jenazah, dia pasti menangis , “kapan lagi giliranku ya Man” katanya.

Pernah anaknya yang nomor tiga datang menemuiku, menjelaskan kalau pak Suhdi tak mau tinggal dengan mereka, bukan kami tak mau ngurusin bapak katanya, maklum pak Suhdi sudah 80 tahun lebih usianya, dia masih masak sendiri dan tinggal sendiri di rumahnya, jadi agak sensitif lebih sensitif dari biasanya.
Hem …. gimana dengan aku pikirku , punya anak 4 (empat) orang , pak Suhdi yang punya anak 6 (enam) orang aja sudah kesepian di hari tuanya, masing-masing dengan keluarganya, apalagi yang cuma punya anak 2 ya? Dua-dua nya jadi “orang” dan jauh dari kita. Benar kata pepatah “adat muda menanggung rindu adat tua menanggung ragam“ .
Posting Komentar