Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Pahlawan Kesiangan

Pahlawan Kesiangan

Posted by Media Bawean on Senin, 10 November 2008

Media Bawean, 10 November 2008

Sumber : ANTARA Sumut

Irwansyah, Dosen Fakultas Sastra USU

Sebuah instansi mengadakan sayembara penulisan dalam rangka Hari Pahlawan. Karena jelas dalam rangka apa, tentu bertemakan kepahlawanan, yaitu “Penanaman Nilai-Nilai Kepahlawan”. Hadiahnya juga menggiurkan. Tidak cuma kertas yang lazim disebut piagam penghargaan, ada kertas yang lain. Kertas itu sering membuat mata orang jadi ijo bahkan bisa gelap mata, kertas berharga yang disebut dengan duit. Artinya, para pemenang mendapat dua macam kertas sekaligus, piagam plus jutaan rupiah.

Jelas saya tergiur. Saya mau ikut sayembara. Mulai saya berpikir apa yang mau saya tulis. Mulailah saya berjalan dengan pikiran. Tepatnya bukan hanya sewaktu berjalan, juga saat berkenderaan dan makan. Otak terus berputar mencari bahan tulisan. Waktu penutupan kian mepet. Bahan tulisan belum juga ada yang pas di hati. Biasanya kalau terpikir terus akan terbawa mimpi. Saya berdoa agar waktu tidur datang mimpi. Selama ini bukankah sering terdengar ide datang bersama mimpi. Ada yang bilang ketiban wangsit. Banyak orang yang tadinya biasa-biasa saja, tahu-tahu mendadak sontak jadi terkenal bisa mengobati segala macam penyakit, mulai dari jasmani sampai rohani. Bisik-bisik yang sampai ke telinga beliau menjadi dubes (dukun besar) karena dapat mimpi. Bukan mimpi basah, tetapi rezekinya yang tadinya kering sekarang basah.

Setiap bangun pagi saya disambut rasa kesal. Tidak ada mimpi. Sekarang saya mulai berjalan dengan pikiran bersama kesal. Tiba-tiba saja kesal saya bertambah karena saya melihat seseorang di kejauhan. Soalnya, seseorang itu meminjam buku saya yang sudah lama sekali tidak dikembalikannya. Dalam soal pinjam-meminjam buku bukankah ada falsafah “gilalah orang yang mau meminjamkan buku.”, tetapi “lebih gila bila mengembalikan buku yang dipinjam”. Sambil berpikir siapa yang gila saya coba menghindar darinya supaya kesal saya tidak berubah jadi marah. Tahunya malah dia mendatangi saya. Kaget saya, tetapi belum sempat marah. Ia mengembalikan buku yang telah bertahun-tahun dipinjamnya itu. Buku itu berjudul Tegak Lurus dengan Langit kumpulan cerpen Iwan Simatupang.
Malamnya, untuk merayakan kembalinya si buku yang hilang, buku kumpulan cerpen itu menemani saya di ranjang. Salah sebuah cerpen Iwan berjudul “Oleh-Oleh untuk Pulau Bawean” saya ingat bercerita tentang pahlawan. Cerpen itu kembali saya baca ulang sembari tiduran.
Inilah ceritanya.
Beberapa sampan merapat di Pulau Bawean. Orang-orang berkerumun ingin melihat mereka yang baru kembali dari Jakarta. Seorang tua, rambutnya hampir putih semua, paling banyak dikerumuni.
Dia pun bercerita. Tentang Jakarta. Tentang Kalibata, tempat Harun prajurit KKO asal Bawean yang digantung pemerintah Singapura, dimakamkan.
“Semua bermata basah. Ya, jenderal, ya mahasiswa, ya wanita berkerudung, ya pastor berjubah putih, ya ustadz berkain sungkit. Ah! Sungguh bangga aku berasal dari Pulau Bawean. Aku, kami semuanya bangga. Bangga telah mempunyai saham dari Pulau Bawean ini di Kalibata yang megah itu.”
Kemudian.
“Dan kalian… bila masih mau mendengarkan kata-kata seorang tua seperti aku ini: dengarlah baik-baik pesanku ini! Jadikan pulau kita penghasil 1000, ya, sejuta Harun untuk tanah air kita! Tanamkan baik-baik tindak dendam kesumat algojo-algojo di Singapura itu dalam sanubari kalian, anak-anakku. Ayo, belajar! Ayo, bekerja! Kita membalas dendam pada mereka dengan mengikuti jejak si Harun di bidang kita masing-masing. Itulah oleh-oleh yang mampu aku bawa dari Jakarta, anak-anakku….”
….
Sebuah warung reot kecil, di pinggir Jalan Pasar Minggu, menuju Kalibata. Beberapa anak setengah telanjang dengan mata bulat memperhatikan iring-iringan yang lewat.
“Siapa yang diusung, Man?”
“Tentunya pahlawan.”
“Pahlawan dari mana?”
Seorang penjual jambu klutuk menaruh pikulannya dan menjawab, “KKO. Mereka dibunuh orang-orang Singapura.”
….
Tak berapa lama kemudian, dari Kalibata terdengar letusan sekian senapan ditembakkan sekaligus. Aba-aba yang mendahuluinya terdengar pilu sekali, menyayat udara yang dihirup sekian ratus ribu manusia yang berkabung.
….
“Dan pahlawan-pahlawan kita ini berasal dari mana?”
“Dari tanah air kita ini, Jang! Asal-usul mereka mungkin seperti kau-kau ini juga. Lari-lari setengah telanjang semasa kecil, pernah nyolong mangga dan nyuitin gadis-gadis yang lewat. Anak-anak rakyat! Kemudian mereka memutuskan jadi prajurit, yang kemudian menjadi dalih resmi mereka untuk diusung ke Kalibata sini.”
Tak lama kemudian, iring-iringan kembali dari arah Kalibata. Mereka melihat banyak mata yang merah sekali.
“Itu wanita-wanita dan orang-orang yang di mobil mewah itu, siapa?”
“Itulah keluarga pahlawan-pahlawan nasional kita itu. Orang tua, handai-tolan, pacar mereka. Orang-orangnya, ya, macam kita-kita ini juga.”
Tiba-tiba Maman, bocah 6 tahun, setengah telanjang, berteriak,”Aku juga nanti mau jadi pahlawan!”
Tak seorang menyahut. Penjual jambu klutuk menggeleng saja. Disandangnya pikulannya kembali, membawa beberapa buah jambu klutuk yang tak terjual habis pulang ke rumahnya. Beberapa buah diberinya pada si calon pahlawan yang setengah telanjang itu.
“Nih! Makanlah jambu ini. Dan…makanlah yang kuat, ya? Supaya lekas besar, supaya kau lekas jadi pahlawan…”

Ia sendiri menganggap ucapannya itu hambar. Tetapi pikirannya, tidakkah hidup yang suram menjadi ringan, bila saja masih ada dari bangsa kita yang benar-benar mau seperti anak setengah telanjang itu?
Rasa kantuk perlahan mulai merayapi saya. Saya ingat. kita mengenal banyak pahlawan. Amir Hamzah, bangsawan Langkat bergelar “Raja Penyair Pujangga Baru” dan Sisingamangaraja XII bergelar Pahlawan Nasional. Jenderal Ahmad Yani dan para jenderal korban keganasan Gestapu/PKI tahun 1965 di Lubang Buaya disebut Pahlawan Revolusi, Pahlawan Seroja, yaitu yang berjuang di Timtim. Para TKI kita yang mengadu nasib di mancanegara yang tidak sedikit bernasib tragis dielu-elukan sebagai Pahlawan Devisa. Para guru yang masih banyak bernasib seperti Umar Bakrinya Iwan Fall dan Bu Muslimahnya Laskar Pelangi menyandang gelar Pahlawan Tanpa Tnda Jasa.

Saya seorang guru (belum besar) di fakultas sebuah universitas negeri. Kalau begitu saya juga pahlawan walaupun tanpa tanda jasa. Kantuk saya pun sempurna. Saya tertidur dengan hati berbunga.
Esoknya. Saya bangun kesiangan. Saya ingat-ingat. Saya juga pahlawan. “Pahlawan” kok “kesiangan”? Gak papa, asal jangan “Pahlawan Kesiangan”.

TMI, 5 November 2008
Irwansyah, Dosen Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (USU)

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean