Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Bawean Memanggil…

Bawean Memanggil…

Posted by Media Bawean on Kamis, 22 Januari 2009

Media Bawean, 22 Januari 2009

Sumber SURYA

BAWEAN | SURYA Online - Apa menariknya Bawean? Pertanyaan tersebut spontan terlontar ketika ajakan mengunjungi Pulau Bawean datang. Pulau gersang yang ditinggalkan warganya merantau ke Malaysia dan Singapura? Ah…tak bijak memvonis sebelum membuktikannya. Terbukti, saya salah besar. Bawean, ternyata sarat menyimpan keindahan yang belum tersentuh polusi apalagi modernisasi.

BAWEAN, 12 mil sebelah utara Kota Gresik, sarana laut menjadi satu-satunya moda transportasi. Itupun rute Gresik-Bawean hanya dilayani kapal laut dua kali se-minggu. Tak heran, pagi itu ketika Surya bertolak dari dermaga Gresik bersama rombongan Dinas Pariwisata Jawa Timur dan Pemkab Gresik, ratusan calon penumpang sudah memenuhi dermaga.

Pemeriksaan ketat diterapkan petugas untuk menghindari penumpang gelap. Petugas mencocokkan tiket sesuai identitas calon penumpang. Ada yang menarik saat mengamati lagak dan gaya berbusana calon penumpang. Mereka yang berpakaian rapi lengkap dengan barang bawaan mencolok, bisa dipastikan mereka warga Bawean perantau dari Malaysia. Warga Bawean yang laju Bawean-Gresik, berpakaian sehari-hari dan penumpang dari Jawa terlihat berbeda dengan penumpang lainnya.

Kapal Bahari Express 8 segera angkat sauh setelah semua penumpang aman di lambung kapal sesuai kelas yang tertera di tiket. Penumpang terbagi tiga kelas, VIP, eksekutif dan ekonomi yang tarifnya hanya berbeda Rp 20.000 setiap kelasnya. Penumpang VIP dipungut Rp 130.000 dan eksekutif Rp 110.000 per kepala dengan fasilitas ruangan berpendingin udara dan televisi. Ruangan tanpa pendingin udara, hanya dilengkapi televisi ditempati penumpang kelas ekonomi.

Perjalanan selama tiga jam cukup nyaman dengan pemandangan laut lepas , sesekali ombak besar memukul dinding kapal mengantar getaran lembut hingga ke dek penumpang. Birunya Laut Jawa mulai teralihkan saat dari bilik jendela kapal samar terlihat daratan. Semakin dekat, warna hijau daratan terlihat nyata. Sekitar 100 orang berdiri di dermaga menanti kapal bersandar. “Itu tradisi warga dan perangkat di Bawean menyambut kedatangan kapal. Bagi mereka, ini aktivitas penting,” bisik salah satu rombongan dari Pemkab Gresik.

Penginapan berlantai dua, tidak jauh dari pelabuhan menjadi tujuan kami berikutnya. Cukup nyaman dan lengkap, karena tersedia minimarket yang menjual kebutuhan sehari-hari. Apalagi tarif kamar di penginapan ini lumayan cekak, mulai Rp 40.000 - Rp 130.000 per malam. Kami membersihkan diri sebelum pindah ke ruang makan dan menyerbu ikan bakar ala Bawean yang diolah pas dengan bumbu merahnya. Hmm…

Pantai Tinggen
Perut belum cukup longgar, namun kami harus segera beranjak lantaran taksi sudah standby di pelataran penginapan. Jangan membayangkan taksi-taksi di Surabaya apalagi Jakarta. Jumlah taksi Bawean tidak banyak. Hanya lima unit. Taksi Bawean adalah mobil sewaan –tentu saja tanpa argo- ongkosnya fleksibel sesuai kesepakatan penumpang dengan sopir.

Taksi yang kami naiki siang itu menuju Pantai Tinggen, 12 km dari penginapan. Giran, sopir taksi kami benar-benar giras, trengginas. Maklum, dengan jam terbang 20 tahun di balik kemudi, seantero Bawean mahfum jika Giran sopir andal menghindari lobang jalanan. Spontan kami memberinya nama kapten. Kapten Giran sungguh menguasai medan Bawean. Pemandangan indah menuju Pantai Tinggen, menjadi bonus penyejuk mata. Birunya laut bertemu hijaunya pohon kelapa, sungguh memesona.

Taksi mendadak berhenti. Sayup suara tepukan rebana menyapa gendang telinga. Kami tiba di Pantai Tinggen dan warga sekitar –perempuan berusia senja- menyambut dengan kesenian hadrah. Perempuan-perempuan ramah berkain kebaya dengan bocah dalam gendongan, menjadi pemandangan khas di Tinggen. Sayang, mereka selalu berpaling ketika moncong kamera dibidikkan ke arahnya.

Pesona keindahan Pantai Tinggen dengan hamparan pasir putih dibingkai hijaunya pohon nyiur tidak berbeda dengan pantai lain yang tersebar di Bawean. Kehidupan khas nelayan dengan perahu cadiknya menjadi denyut kehidupan di Tinggen. Kami betah berlama-lama di sana. Apalagi ikan hasil tangkapan nelayan yang langsung dibakar terasa manis di mulut.

Dahaga kami terpuaskan saat kelapa muda dibelah dan tersuguh di depan kami. Selain pantainya yang elok, Tinggen menyimpan peninggalan yang dibanggakan warganya. Yakni makam panjang. Boleh percaya boleh tidak, konon setiap tahun makam panjang semakin bertambah panjang!

Danau Kastoba, Danau Penyembuh
HARI kedua di Bawean, kami akan mengunjungi Danau Kastoba. Terletak di puncak gunung, Danau Kastoba, hanya 40 menit jika ditempuh dari Kecamatan Tambak dengan jalanan beton. Kapten Giran, tanpa kami minta menjelaskan, jika jalanan beton itu hasil sumbangan warga Bawean yang sukses merantau ke Malaysia dan Singapura. Hasil sumbangan mereka juga bisa dilihat di sepanjang jalan menuju Danau Kastoba, rumah-rumah mewah berdesain modern berdiri indah bersisihan dengan hijaunya areal persawahan.

Taksi berhenti di Dusun Candi, Desa Perumahan. Tetapi mana Danau Kastoba? Taksi tak bisa menjangkaunya, terpaksa kami berjalan kaki sejauh 1 km. Mendaki lagi! Rasa penat impas terbayar saat keindahan Danau Kastoba membentang di depan mata. Nama Kastoba diambil dari nama pohon penyembuh, kastoba yang tumbuh di sekitar danau. “Pohon Kastoba sudah punah, padahal pohon itu berkhasiat menyembuhkan semua penyakit,” ujar Choirul Fatah, warga setempat.

Berpesta King Lobster di Pulau Gili
GAGAL menyaksikan pohon kastoba, rasa kecewa kami terobati saat mengalihkan perjalanan menuju Pulau Gili yang sohor sebagai penghasil king lobster. Pulau Gili, bisa ditempuh dari Desa Kedung Batu, Kecamatan Sangkapura dengan menggunakan perahu nelayan. Siang itu, laut pasang surut, kami harus menceburkan diri ke dalam laut untuk mencapai perahu nelayan.

Selama perjalanan, pemandangan indah terumbu karang di lautan jernih terekam mata telanjang kami selama 30 menit menuju Pulau Gili. Ada pula rumah-rumah ikan berdiri sepi di tengah lautan. Pulau Gili dikelilingi pasir putih alami yang belum tersentuh polusi, lembut mengelus kaki saat sepatu ditanggalkan. Di pulau berpenduduk sekitar 600 jiwa inilah kami berpesta king lobster bakar sepuasnya. Perut rasanya mau meletus. tarmuji talmacsi

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean