Media Bawean, 11 Mei 2009
Oleh: AS’ARI JS.
Hidup ini tidak akan ada artinya tanpa di jalani dengan cinta. Dengan cinta hidup itu indah, damai, aman dan menjadi rahmat. Cinta tidak di batasi ruang dan waktu, tidak pula tersimbol pada hal-hal tertentu saja. Dan tidak ada satu pun makhluk yang tidak pernah mengekspresikan cinta bahkan tidak akan ada kehidupan bila tidak ada cinta. Cinta semacam ini yang disebut cinta yang bersumber dari kesucian atau kefitrahan manusia. Pada perkembangannya, kesucian cinta berubah menjadi “monster” yang menakutkan, dan tidak sedikit yang terperangkap dan menjadi korban. Cinta yang begitu indah, dapat memberikan kedamaian dan rahmat, berubah menjadi musibah dan kesengsaraan. Kenapa hal itu terjadi?
Aku termasuk pemuda yang sampai saat ini belum pernah pacaran (tapi bukan berarti tidak punya rasa cinta), sebab aku punya prinsip tidak akan berpacaran selagi dalam pendidikan. Alhamdulillah, aku dapat menjalaninya hingga kuliah selesai. Namun, bukan berarti selama dalam pendidikan di perguruan tinggi lepas begitu saja dari keinginan untuk tidak berpacaran, apalagi di lingkungan kampus sepertinya pacaran sebuah tuntutan bagi setiap mahasiswa.
Melihat dan menyaksikan orang-orang yang sedang dimabuk asmara dengan bergandengan tangan, duduk mesra berdua di tempat-tempat yang memungkinkan terjalinnya komunikasi cinta, berhubungan layaknya suami istri bukanlah sesuatu yang tabu pada saat sekarang. Dari tempat-tempat wisata, hiburan, pinggir jalan, kamar kos sampai di lingkungan kampus merupakan pemandangan yang sudah biasa. Mendengar cerita orang akan, sedang dan telah pacaran sudah akrab di telinga. Merasa bahagia, termotivasi dan terkadang merasa bersedih, sengsara bahkan celaka juga telah menjadi hal biasa dalam kehidupan orang-orang yang bercinta.
Secara umum banyak orang yang tidak bahagia dengan cintanya, sebab hampir dari mereka yang bercinta pernah merasa dikhianati, dikecewakan dan bahkan dirugikan baik secara fisik maupun psikis. Cinta jenis inilah yang disebut cinta yang bersumber bukan dari kefitrahan. Ketika melihat hal-hal semacam itu aku sangat bersyukur dan terus bertekad untuk tidak pacaran apalagi pacaran jenis ini.
Selain karena faktor-faktor di atas, kriteria cewek idaman yang di idealkan sampai saat ini belum juga ketemu. Sepertinya kriterianya cukup sederhana, tetapi sulit didapat apalagi dalam kehidupan zaman sekarang. Bagiku kriteria wanita ideal adalah wanita yang rela hidup miskin dan menjadi teman menuju Allah untuk menggapai rida-Nya. Aku tidak dapat menjanjikan suatu kebahagiaan materi, harta dan kemewahan-kemewahan dunia lainnya bagi seorang wanita. Bagaimana bisa menjanjikan hal tersebut sementara aku hidup dalam kemiskinan, tidak punya apa-apa bahkan diri ini bukan milikku. Berangkat dari rasa miskin, diri yang tiada, maka aku harus mencari wanita paling tidak yang siap hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan.
Suatu sindrom yang menimpa masyarakat modern, adalah tidak ingin mendapat istri atau suami yang hidupnya tidak mapan, tidak ada jaminan atau mempunyai pekerjaan, orang tua pun juga begitu tidak akan menikahkan anaknya bila keduanya belum memiliki pekerjaan tetap. Hal semacam ini tentu saja keinginan yang wajar dan bukan suatu tindakan yang salah, tetapi bila hal itu dijadikan syarat mutlak dalam pernikahan akan menjadi tidak wajar bahkan menyalahi ketentuan agama. Beruntunglah orang-orang yang mempunyai pekerjaan mapan dan harta yang cukup kemudian langsung menikah sebelum jatuh miskin dan sengsara. Kiranya bermodelkan wajah cantik dan tanpang ganteng saja tidaklah cukup. Sungguh kasihan nasibmu wahai manusia yang miskin harta dan miskin tanpang. Itulah realita kehidupan sekarang.
Berangkat dari persoalan-persoalan seperti itu, pertanyaan yang kemudian selalu muncul dalam pikiranku adalah apakah cinta harus di ukur dan ukir dengan harta dan kesempurnaan fisik? Apa hakekat cinta dan bercinta? Apa pula akhir dari cinta? Dan kepada siapa orang-orang “miskin” menyalurkan cintanya?
Pertanyaan-pertanyaan di atas baru aku temukan jawabannya setelah aku merasakan getaran-getaran cinta. Di sadari atau tidak semua manusia sebenarnya adalah ingin menemukan cinta sejatinya, ingin bahagia dengan cinta dan ingin cintanya berakhir dengan kebahagiaan pula. Akan tetapi tidak sedikit dari sang pecinta yang mengalami ketersesatan didalam mencari cinta sejatinya yang kemudian berakhir dengan kesengsaraan dan penderitaan.
Dengarkan kawan ini cinta yang aku tafsir, ini cinta yang aku alami dan rasakan dan ini pula cinta yang aku pahami. Para ahli cinta sampai saat ini belum sepakat dalam menafsirkan arti cinta, semua lebih cenderung dengan pengalamannya masing-masing. Maka benarlah bila orang mengatakan cinta adalah abstrak, tidak dapat ditafsirkan namun dapat dirasakan. Cinta sulit untuk dijelaskan karena keagungan dan keabstrakannya. Begitulah Ibnu Hazem mengartikan cinta. Berbeda dengan Ibnu Hazem, Imam al-Ghazali mengartikan cinta sebagai suatu kecenderungan pada sesuatu yang menyenangkan. Syaikh Ahmad Sirrullah, mengartikan cinta, sebagai kecenderungan untuk memiliki dan merasakan sesuatu yang dianggap dapat membahagiakan dirinya. Dan setiap orang pasti punya rasa yang berbeda dalam bercinta.
Ibnu Hazem menganggap cinta berawal dari main-main kemudian jadi sungguhan. Kebiasaan dan seringnya komunikasi memang berpotensi memunculkan rasa cinta pada insan yang saling mengenal dan memahami satu dengan lainnya. Namun, aku tidak tahu secara pasti apa yang menyebabkan munculnya cinta dalam hati ini. Apa karena kebiasaan, sering komunikasi dan berbagi cerita dengannya atau meminjam bahasa Ibnu Hazem—main-main yang akhirnya jadi sungguhan, atau karena faktor lain? Entah apalah yang jelas getaran cinta itu telah singgah di hati pada saat aku sedang menempuh studi Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Aku adalah individu yang sulit bergaul, kurang komunikatif dan selektif dalam berteman. Bagiku cukuplah satu teman yang penting baik, dapat saling mengisi dalam menuju Allah daripada punya sepuluh teman tetapi dapat menjauhkanku dari Allah. Dalam kehidupan sehari-hari, aku selalu dihinggapi rasa gelisah dan sedih. Kegelisahan dan kesedihan yang aku alami lebih disebabkan kekhawatiran akan masa depan di akhirat kelak. Tetapi kegelisahan, kesedihan dan ketakutan seakan menjadi hilang dalam jiwaku ketika sedang KKN.
Suatu ketika aku merenung dan bermunajat, agar kegelisahan, kesedihan tidak mengganggu aktivitas KKN. Apalagi di lokasi KKN nanti aku harus bermasyarakat. Melalui renungan tersebut aku mendapat sebuah jawaban, bahwa cukuplah aku menangis, menjerit dalam hati saja. Tampakkan kebahagiaanmu dihadapan manusia, tebarkan senyum ramahmu pada seluruh alam, ketawalah bersama orang yang ketawa, berbuat dan bertindaklah sebagaimana orang lain melakukan, tetapi tetaplah engkau teteskan air matamu dalam dadamu.
Melalui KKN ini, aku juga bertekat untuk merubah diri dari sifat minder, grogi dan demam panggung, dan ini benar-benar aku manfaatkan. Betapa tidak selama di bangku kuliah aku belum pernah berbicara dalam forum kecil apalagi forum besar. Bagiku KKN adalah kesempatan untuk belajar dan merubah diri sekaligus titik kisar perubahan diriku. Bila ingat masa itu, aku tidak habis pikir, sungguh hal ini tidak pernah terbayang dalam benak, untuk berbicara, mengisi pengajian dan memberikan materi, baik di forum pemuda-pemudi, bapak-bapak dan ibu-ibu. Aktivitas-aktivitas seperti itu aku jalani tanpa ada beban layaknya sebuah profesi yang dilakoni setiap hari. Mengisi materi dan memberikan renungan dalam organisasi kepemudaan layaknya seorang aktivis atau trainer, padahal itu semua belum pernah aku lakukan. Bukan seorang ustadz atau kiai yang biasa memberikan ceramah di sana disebut kiai, bukan keturunan kiai tetapi dalam kehidupan sehari-hari disebut gus (panggilan bagi putra kiai) juga bukan aktivis tetapi berlakon aktivis. Tapi sudahlah tidaklah perlu memperpanjang pembahasan gelar yang orang sandangkan pada diri ini, yang penting ikhlasan niat, sikap, perbuatan dan hati. Astaghfirullah, Ya Allah, maafkan hamba-Mu yang lemah memang hanya Engkau yang berhak menyandang pujian dan kemuliaan.
Aku sadar bahwa apa yang aku lakukan itu bukan karena kemampuanku tetapi itu adalah wujud kecintaan Allah pada diriku yang bodoh dan lemah yang ingin berubah menjadi orang yang baik dan percaya diri demi menegakkan kalam-Nya. Perkataanku adalah bahasa dari kalam-Nya, perbuatanku adalah bentuk dari af’al-Nya. Kenapa harus aku banggakan, seharusnya disyukuri dan menjadikan diri ini semakin tunduk dan takut kepada-Nya. Karena Allah telah memberikan kekuatan dalam kelemahanku, mengalirkan ilmu-Nya dalam kebodohanku.
Oleh: AS’ARI JS.
Hidup ini tidak akan ada artinya tanpa di jalani dengan cinta. Dengan cinta hidup itu indah, damai, aman dan menjadi rahmat. Cinta tidak di batasi ruang dan waktu, tidak pula tersimbol pada hal-hal tertentu saja. Dan tidak ada satu pun makhluk yang tidak pernah mengekspresikan cinta bahkan tidak akan ada kehidupan bila tidak ada cinta. Cinta semacam ini yang disebut cinta yang bersumber dari kesucian atau kefitrahan manusia. Pada perkembangannya, kesucian cinta berubah menjadi “monster” yang menakutkan, dan tidak sedikit yang terperangkap dan menjadi korban. Cinta yang begitu indah, dapat memberikan kedamaian dan rahmat, berubah menjadi musibah dan kesengsaraan. Kenapa hal itu terjadi?
Aku termasuk pemuda yang sampai saat ini belum pernah pacaran (tapi bukan berarti tidak punya rasa cinta), sebab aku punya prinsip tidak akan berpacaran selagi dalam pendidikan. Alhamdulillah, aku dapat menjalaninya hingga kuliah selesai. Namun, bukan berarti selama dalam pendidikan di perguruan tinggi lepas begitu saja dari keinginan untuk tidak berpacaran, apalagi di lingkungan kampus sepertinya pacaran sebuah tuntutan bagi setiap mahasiswa.
Melihat dan menyaksikan orang-orang yang sedang dimabuk asmara dengan bergandengan tangan, duduk mesra berdua di tempat-tempat yang memungkinkan terjalinnya komunikasi cinta, berhubungan layaknya suami istri bukanlah sesuatu yang tabu pada saat sekarang. Dari tempat-tempat wisata, hiburan, pinggir jalan, kamar kos sampai di lingkungan kampus merupakan pemandangan yang sudah biasa. Mendengar cerita orang akan, sedang dan telah pacaran sudah akrab di telinga. Merasa bahagia, termotivasi dan terkadang merasa bersedih, sengsara bahkan celaka juga telah menjadi hal biasa dalam kehidupan orang-orang yang bercinta.
Secara umum banyak orang yang tidak bahagia dengan cintanya, sebab hampir dari mereka yang bercinta pernah merasa dikhianati, dikecewakan dan bahkan dirugikan baik secara fisik maupun psikis. Cinta jenis inilah yang disebut cinta yang bersumber bukan dari kefitrahan. Ketika melihat hal-hal semacam itu aku sangat bersyukur dan terus bertekad untuk tidak pacaran apalagi pacaran jenis ini.
Selain karena faktor-faktor di atas, kriteria cewek idaman yang di idealkan sampai saat ini belum juga ketemu. Sepertinya kriterianya cukup sederhana, tetapi sulit didapat apalagi dalam kehidupan zaman sekarang. Bagiku kriteria wanita ideal adalah wanita yang rela hidup miskin dan menjadi teman menuju Allah untuk menggapai rida-Nya. Aku tidak dapat menjanjikan suatu kebahagiaan materi, harta dan kemewahan-kemewahan dunia lainnya bagi seorang wanita. Bagaimana bisa menjanjikan hal tersebut sementara aku hidup dalam kemiskinan, tidak punya apa-apa bahkan diri ini bukan milikku. Berangkat dari rasa miskin, diri yang tiada, maka aku harus mencari wanita paling tidak yang siap hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan.
Suatu sindrom yang menimpa masyarakat modern, adalah tidak ingin mendapat istri atau suami yang hidupnya tidak mapan, tidak ada jaminan atau mempunyai pekerjaan, orang tua pun juga begitu tidak akan menikahkan anaknya bila keduanya belum memiliki pekerjaan tetap. Hal semacam ini tentu saja keinginan yang wajar dan bukan suatu tindakan yang salah, tetapi bila hal itu dijadikan syarat mutlak dalam pernikahan akan menjadi tidak wajar bahkan menyalahi ketentuan agama. Beruntunglah orang-orang yang mempunyai pekerjaan mapan dan harta yang cukup kemudian langsung menikah sebelum jatuh miskin dan sengsara. Kiranya bermodelkan wajah cantik dan tanpang ganteng saja tidaklah cukup. Sungguh kasihan nasibmu wahai manusia yang miskin harta dan miskin tanpang. Itulah realita kehidupan sekarang.
Berangkat dari persoalan-persoalan seperti itu, pertanyaan yang kemudian selalu muncul dalam pikiranku adalah apakah cinta harus di ukur dan ukir dengan harta dan kesempurnaan fisik? Apa hakekat cinta dan bercinta? Apa pula akhir dari cinta? Dan kepada siapa orang-orang “miskin” menyalurkan cintanya?
Pertanyaan-pertanyaan di atas baru aku temukan jawabannya setelah aku merasakan getaran-getaran cinta. Di sadari atau tidak semua manusia sebenarnya adalah ingin menemukan cinta sejatinya, ingin bahagia dengan cinta dan ingin cintanya berakhir dengan kebahagiaan pula. Akan tetapi tidak sedikit dari sang pecinta yang mengalami ketersesatan didalam mencari cinta sejatinya yang kemudian berakhir dengan kesengsaraan dan penderitaan.
Dengarkan kawan ini cinta yang aku tafsir, ini cinta yang aku alami dan rasakan dan ini pula cinta yang aku pahami. Para ahli cinta sampai saat ini belum sepakat dalam menafsirkan arti cinta, semua lebih cenderung dengan pengalamannya masing-masing. Maka benarlah bila orang mengatakan cinta adalah abstrak, tidak dapat ditafsirkan namun dapat dirasakan. Cinta sulit untuk dijelaskan karena keagungan dan keabstrakannya. Begitulah Ibnu Hazem mengartikan cinta. Berbeda dengan Ibnu Hazem, Imam al-Ghazali mengartikan cinta sebagai suatu kecenderungan pada sesuatu yang menyenangkan. Syaikh Ahmad Sirrullah, mengartikan cinta, sebagai kecenderungan untuk memiliki dan merasakan sesuatu yang dianggap dapat membahagiakan dirinya. Dan setiap orang pasti punya rasa yang berbeda dalam bercinta.
Ibnu Hazem menganggap cinta berawal dari main-main kemudian jadi sungguhan. Kebiasaan dan seringnya komunikasi memang berpotensi memunculkan rasa cinta pada insan yang saling mengenal dan memahami satu dengan lainnya. Namun, aku tidak tahu secara pasti apa yang menyebabkan munculnya cinta dalam hati ini. Apa karena kebiasaan, sering komunikasi dan berbagi cerita dengannya atau meminjam bahasa Ibnu Hazem—main-main yang akhirnya jadi sungguhan, atau karena faktor lain? Entah apalah yang jelas getaran cinta itu telah singgah di hati pada saat aku sedang menempuh studi Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Aku adalah individu yang sulit bergaul, kurang komunikatif dan selektif dalam berteman. Bagiku cukuplah satu teman yang penting baik, dapat saling mengisi dalam menuju Allah daripada punya sepuluh teman tetapi dapat menjauhkanku dari Allah. Dalam kehidupan sehari-hari, aku selalu dihinggapi rasa gelisah dan sedih. Kegelisahan dan kesedihan yang aku alami lebih disebabkan kekhawatiran akan masa depan di akhirat kelak. Tetapi kegelisahan, kesedihan dan ketakutan seakan menjadi hilang dalam jiwaku ketika sedang KKN.
Suatu ketika aku merenung dan bermunajat, agar kegelisahan, kesedihan tidak mengganggu aktivitas KKN. Apalagi di lokasi KKN nanti aku harus bermasyarakat. Melalui renungan tersebut aku mendapat sebuah jawaban, bahwa cukuplah aku menangis, menjerit dalam hati saja. Tampakkan kebahagiaanmu dihadapan manusia, tebarkan senyum ramahmu pada seluruh alam, ketawalah bersama orang yang ketawa, berbuat dan bertindaklah sebagaimana orang lain melakukan, tetapi tetaplah engkau teteskan air matamu dalam dadamu.
Melalui KKN ini, aku juga bertekat untuk merubah diri dari sifat minder, grogi dan demam panggung, dan ini benar-benar aku manfaatkan. Betapa tidak selama di bangku kuliah aku belum pernah berbicara dalam forum kecil apalagi forum besar. Bagiku KKN adalah kesempatan untuk belajar dan merubah diri sekaligus titik kisar perubahan diriku. Bila ingat masa itu, aku tidak habis pikir, sungguh hal ini tidak pernah terbayang dalam benak, untuk berbicara, mengisi pengajian dan memberikan materi, baik di forum pemuda-pemudi, bapak-bapak dan ibu-ibu. Aktivitas-aktivitas seperti itu aku jalani tanpa ada beban layaknya sebuah profesi yang dilakoni setiap hari. Mengisi materi dan memberikan renungan dalam organisasi kepemudaan layaknya seorang aktivis atau trainer, padahal itu semua belum pernah aku lakukan. Bukan seorang ustadz atau kiai yang biasa memberikan ceramah di sana disebut kiai, bukan keturunan kiai tetapi dalam kehidupan sehari-hari disebut gus (panggilan bagi putra kiai) juga bukan aktivis tetapi berlakon aktivis. Tapi sudahlah tidaklah perlu memperpanjang pembahasan gelar yang orang sandangkan pada diri ini, yang penting ikhlasan niat, sikap, perbuatan dan hati. Astaghfirullah, Ya Allah, maafkan hamba-Mu yang lemah memang hanya Engkau yang berhak menyandang pujian dan kemuliaan.
Aku sadar bahwa apa yang aku lakukan itu bukan karena kemampuanku tetapi itu adalah wujud kecintaan Allah pada diriku yang bodoh dan lemah yang ingin berubah menjadi orang yang baik dan percaya diri demi menegakkan kalam-Nya. Perkataanku adalah bahasa dari kalam-Nya, perbuatanku adalah bentuk dari af’al-Nya. Kenapa harus aku banggakan, seharusnya disyukuri dan menjadikan diri ini semakin tunduk dan takut kepada-Nya. Karena Allah telah memberikan kekuatan dalam kelemahanku, mengalirkan ilmu-Nya dalam kebodohanku.
Posting Komentar