Media Bawean, 30 Juni 2009
Sumber : Harian Umum PELITA
Oleh : Salahuddin Wahid (Pengasuh Pesantren Tebuireng)
SAAT mendapat undangan ke Pulau Bawean, saya langsung setuju karena ingin mengunjungi pulau itu. Cukup banyak kenalan saya lahir di sana. Pada 20/6/09 saya setuju ke sana menggunakan speed boat berkapasitas 330 orang, dari Gresik. Jarak 80 mil ditempuh dalam waktu 3 jam.
Saya memberi ceramah di depan PCNU Bawean dan warga Pesantren Hasan Jufri. Temanya amat aktual yaitu NU dan Politik. Malamnya saya memberi ceramah tentang pendidikan di depan para wisudawan, para guru serta orangtua santri.
Sorenya saya berkeliling Pulau Bawean menempuh jalan sepanjang kira-kira 50 Km yang sebagian besar berlubang dalam waktu 3,5 jam. Saya sempat meninjau lapangan terbang yang sedang dibangun. Proyek itu akan dapat memanfaatkan potensi pariwisata.
Menurut pemandu jalan, sebuah buku karya penulis Belanda mengemukakan bahwa pantai Mayangkara adalah salah satu pantai terindah di dunia. Di sebuah bukit ada danau yang cukup luas dan indah. Juga ada kuburan yang panjangnya 12 meter. Tak heran bila adakalanya kapal pesiar dari mancanegara singgah di Bawean.
Saya sempat berbincang dengan seorang warga negara Malaysia Zawaw, keturunan Bawean. Kakeknya kelahiran Bawean, ayahnya kelahiran Malaysia. Dia menikah dengan seorang perempuan kelahiran Bawean. Kini sang istri telah warga negara Malaysia. Banyak warga Malaysia melakukan hal yang sama.
Jumlah penduduk Bawean sekitar 80.000 jiwa, lebih banyak perempuan. Menurut taksiran, warga Bawean lebih banyak yang bermukim di Malaysia. Setamat SMA/Madrasah Aliyah, banyak warga Bawean berniat pergi ke Malaysia untuk mengadu untung. Kebanyakan mereka bekerja di bidang yang tidak diminati oleh warga negara Malaysia.
Banyak yang bekerja sebagai sub-kontraktor dari kantraktor Malaysia. Mereka membawa rombongan tukang dan buruh bangunan dari Bawean. Keberhasilan para sub-kontraktor dan kemampuan para tukang itu membuat tenaga kerja dari Bawean mendapat nama baik dan tidak mengalami nasib buruk seperti buruh migran yang sering kita dengar.
Keberhasilan materi itu diperlihatkan dengan cara membangun rumah yang bagus di Bawean. Karena pemiliknya tinggal di Malaysia, terpaksa menyewa penjaga rumah. Ada seorang ustadz asal Bawean yang tinggal di Singapura mampu membangun sebuah masjid yang bagus di Bawean dengan biaya diatas Rp1 miliar.
Ada warga Bawean bercerita bahwa dari delapan bersaudara, hanya dia dan seorang adiknya yang tinggal di Indonesia karena menjadi PNS. Saudaranya yang lain tinggal di Malaysia karena mudah mencari pekerjaan, bergaji cukup baik, dan tidak perlu ngoyo.
Ternyata warga Malaysia menghargai tenaga kerja dari Bawean dan tidak memakai sebutan Indon yang berkonotasi buruk. Kondisi idealnya tentu dimana kita bisa menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup dengan kesejahteraan yang memadai. Tetapi kalau terpaksa mengirim TKI/TKW, sebaiknya meniru cara warga Bawean.
Pemerintah harus memperbaiki MoU tentang masalah buruh migran yang membuat posisi mereka lemah dalam menghadapi majikan yang nakal. Buruh ilegal harus dicegah untuk pergi ke LN. Mengherankan, ada Capres yang sudah tidak mampu melindungi buruh migran kita, berani berjanji akan melindungi mereka.(Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng)
Saya memberi ceramah di depan PCNU Bawean dan warga Pesantren Hasan Jufri. Temanya amat aktual yaitu NU dan Politik. Malamnya saya memberi ceramah tentang pendidikan di depan para wisudawan, para guru serta orangtua santri.
Sorenya saya berkeliling Pulau Bawean menempuh jalan sepanjang kira-kira 50 Km yang sebagian besar berlubang dalam waktu 3,5 jam. Saya sempat meninjau lapangan terbang yang sedang dibangun. Proyek itu akan dapat memanfaatkan potensi pariwisata.
Menurut pemandu jalan, sebuah buku karya penulis Belanda mengemukakan bahwa pantai Mayangkara adalah salah satu pantai terindah di dunia. Di sebuah bukit ada danau yang cukup luas dan indah. Juga ada kuburan yang panjangnya 12 meter. Tak heran bila adakalanya kapal pesiar dari mancanegara singgah di Bawean.
Saya sempat berbincang dengan seorang warga negara Malaysia Zawaw, keturunan Bawean. Kakeknya kelahiran Bawean, ayahnya kelahiran Malaysia. Dia menikah dengan seorang perempuan kelahiran Bawean. Kini sang istri telah warga negara Malaysia. Banyak warga Malaysia melakukan hal yang sama.
Jumlah penduduk Bawean sekitar 80.000 jiwa, lebih banyak perempuan. Menurut taksiran, warga Bawean lebih banyak yang bermukim di Malaysia. Setamat SMA/Madrasah Aliyah, banyak warga Bawean berniat pergi ke Malaysia untuk mengadu untung. Kebanyakan mereka bekerja di bidang yang tidak diminati oleh warga negara Malaysia.
Banyak yang bekerja sebagai sub-kontraktor dari kantraktor Malaysia. Mereka membawa rombongan tukang dan buruh bangunan dari Bawean. Keberhasilan para sub-kontraktor dan kemampuan para tukang itu membuat tenaga kerja dari Bawean mendapat nama baik dan tidak mengalami nasib buruk seperti buruh migran yang sering kita dengar.
Keberhasilan materi itu diperlihatkan dengan cara membangun rumah yang bagus di Bawean. Karena pemiliknya tinggal di Malaysia, terpaksa menyewa penjaga rumah. Ada seorang ustadz asal Bawean yang tinggal di Singapura mampu membangun sebuah masjid yang bagus di Bawean dengan biaya diatas Rp1 miliar.
Ada warga Bawean bercerita bahwa dari delapan bersaudara, hanya dia dan seorang adiknya yang tinggal di Indonesia karena menjadi PNS. Saudaranya yang lain tinggal di Malaysia karena mudah mencari pekerjaan, bergaji cukup baik, dan tidak perlu ngoyo.
Ternyata warga Malaysia menghargai tenaga kerja dari Bawean dan tidak memakai sebutan Indon yang berkonotasi buruk. Kondisi idealnya tentu dimana kita bisa menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup dengan kesejahteraan yang memadai. Tetapi kalau terpaksa mengirim TKI/TKW, sebaiknya meniru cara warga Bawean.
Pemerintah harus memperbaiki MoU tentang masalah buruh migran yang membuat posisi mereka lemah dalam menghadapi majikan yang nakal. Buruh ilegal harus dicegah untuk pergi ke LN. Mengherankan, ada Capres yang sudah tidak mampu melindungi buruh migran kita, berani berjanji akan melindungi mereka.(Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng)
Posting Komentar