Media Bawean, 14 Juli 2009
Oleh: Syaifuddin Munis
Tak ada yang dapat aku persembahkan buat My Burn Place, kecuali judul subyektif diatas yang tiba-tiba muncul dari nuraniku/imajinasiku ditengah malam. Apalagi yang dapat kugoreskan... kecuali rasa romantis mengenang masa2 kecil di Pulau Indah yang dikelilingi ombak besar (masang tajung), ketinggian ombak air pasang besar di setiap bulan purnama, waktu (nemor). Tak seorang pun nelayan berani me-laut, khawatir digilas oleh ombak setinggi 3-5 meter yang dapat menenggelamkan jukong-jukong dan kalotok-kalotok itu.
Yang dapat aku pandangi dan aku nikmati, manakala pagi hari membawa pancing sambil duduk di atas pohon ketapang dan dinding-dinding batu besar, menatap ke Pulau Gili yang sepi dari perahu-perahu pencari ikan binggul (ikan layang : Red.) dan ikan tongkol karena juga takut gelombang besar. Begitu juga waktu senjakala, sunyi senyap. Hanya gemercik-gemercik ombak yang mulai terlihat binar dari sinar bintang yang mulai muncul satu persatu di ufuk timur, utara dan selatan.
Ya, itulah yang dapat aku rasakan pengalaman bermain di tepi pantai Pulau Bawean sewaktu kecil. Jika libur sekolah, aku dan teman-teman pergi ke hutan, ke semak-semak belukar mencari kayu bakar, sambil membawa kincir angin (enter-enteran) ke puncak gunung (bukit) lantong yang tiupan anginnya begitu kencang, hingga bunyi kincir angin --enter-enteran--ku dan punya teman-temanku bersahut-sahutan (nogak). Begitu nikmat dan indah rasanya tempat ku bermain dengan teman-teman diwaktu itu. Meski ketika sudah turun dari gunung Lantong aku dan teman-temanku sering dilanda kelaparan dan kehausan, jauh dari air dan jauh dari kebun singkong penduduk.
Setelah beberapa kilo turun dari gunung Lantong itu, baru ketemu kebun singkong yang usinya sudah cukup tua (bertahun-tahun), pohon-pohon singkong begitu tinggi-tinggi dan tak berdaun lagi, ada satu dua yang berdaun tapi daunnya tinggal kecil-kecil dan menguning. Karena aku dan 4 orang temanku sudah tak mampu lagi menahan rasa lapar, kami berlima bersepakat untuk berhenti ditengah-tengah kebun itu untuk menggali singkong tua tahunan itu. Tapi, kami berlima menarik pohon itu tak mampu dari saking keras-nya tanah kemarau. Hingga berkali-kali, pohon itu pun belum bisa dibongkar.
Ditengah rasa putus asa dan rasa lapar yang luar biasa, salah seorang temanku itu punya ide nakal, "gimana kalo kita kencingi satu persatu sekeliling batang pohon itu...", mereka semua setuju kecuali aku. Dalam benakku, meski lapar, masak harus dengan cara dikencingi untuk membongkar tanah keras itu. Dengan tekanan teman-temanku , juga karena aku tak mampu melihat dan merasakan kelaparan yang hebat, akhirnya aku setuju-setuju saja. Walaupun aku tetap terbayang oleh rasa asin air kencing di singkong itu. Tapi, sudahlah.. apa boleh buat... penyiraman dengan air terlarang itu pun terjadi juga. Dan beberapa menit kemudian, pohon singkong tahunan itupun juga terbongkar. Dan langsung teman-teman-ku mengupasnya dan peto (parang: bahasa Indonesia) untuk segera dilahap... Ya.. Allah jika teringat itu... Bawean begitu indah rasanya di hatiku, dari situ juga aku terus menerawang kedepan tanpa henti. Bagaimana suasana itu kini, berubah bukan dengan sekadar mencari sesuap nasi, tetapi dengan semangat perubahan. Dengan tetap menjaga lestarinya alam, laut, bukit-bukit, tanaman-tanaman pohon, dan populasi burung-burung serta hewan-hewan lainnya yang serba terbatas.
Meskipun begitu, Pulau Bawean masih punya rusa-rusa axis kuhli yang bagus di bilangan populasi hewan liar dunia, burung-burung seperti berrem (the blue gray pigons), Koddaba (the white pgons), Pecang Rombuk, bunik, kalembukan, galtek (gelatik), pecang karbuk, pecang koneng dan jenis-jenis burung lainnya, ayam alas (terata) yang bulu dan jengger-nya begitu mempesona karena pelangi-pelangi bulunya yang berkilau.. Oh Tuhan lindungilah Pulau Bawean "save them".
Posting Komentar