Media Bawean, 18 Desember 2009
Tulisan : H. Samri Barik, SH.
Tanggal 6 Desember 2009, sepasang suami isteri bersama kedua anaknya bernama Thomas dan Octavia, sedang berdiri dipinggir jalan di desa Tambak, Kecamatan Tambak Pulau Bawean Gresik sambil menunggu hujan berhenti. Kami mendekati dan menyapanya dengan bahasa asing, mereka menjelaskan datang ke Tambak bertujuan mencari tempat penukaran uang (Money-Changer), tetapi tempat penukaran seperti Bobo Minimarket dan Bank Jatim tidak menerima mata uang New Zealand Dollars, hanya bisa menerima dan menukar mata uang dollar Singapore dan US
Kami tawarkan untuk berkunjung ke rumah di Paromaan Tambak, sampai di rumah melanjutkan cerita-cerita perjalanannya sampai di Pulau Bawean. Dilanjutkan dengan makan siang, alangkah terkejutnya mereka belum kenal dekat langsung disambut dengan makan bersama. Sebagai makanan khas Pulau Bawean, kami suguhkan “kela celok”, sebagai lauk utama diwaktu makan siang.
Setelah selesai makan, mereka menceritakan sewaktu dalam perjalanannya belayar dari New Zealand, melalui New Caledonia, Flores dan Bali. Mereka sampai di Flores diserang perampok dan banyak pakaian dengan uangnya yang diambilnya. Untungnya mereka tidak apa-apakan oleh perampok di laut.
Kami berikan bantuan uang sebesar Rp 2 juta rupiah dengan cuma-cuma untuk membeli minyak dan bekal untuk melanjutkan perjalanan. Melihat sikap orang Bawean sangat ramah dan mesra, mereka sangat heran bahwa yang dikatakan “teroris Muslim” itu tidak benar, menurutnya.
Kami memberikan bantuan cuma-cuma, tapi mereka tetap bertahan untuk membayar dengan memberikan uang dollar New Zealand sebagai ganti uang yang kami berikan. Mereka akan hubungi kami di Singapore apabila sampai di Batam.
Ted sebagai pengacara di New Zealand dan Adrienne sebagai arsitek, mereka adalah sepasang suami isteri bersama dua anaknya sedang melakukan keliling dunia. Mereka akan berlayar selama 1 tahun 6 bulan untuk tujuan mengelilingi dunia. Mereka menyatakan Pulau Bawean tidak tertulis dalan “map” pelayarannya, tapi sangat tersentuh dengan keramahan warga Bawean dalam menyambutnya. Mereka berkata pertemuan kami dengannya adalah sebagai satu pengembaraan yang disamakan seperti Marco Polo dan Ibn Batuta, bertemu orang-orang yang luar biasa pada kehidupan mereka, sedangkan dirinya tidak pernah menyangka bahwa akan menapakkan kaki di Pulau Bawean.
Di Desa Paromaan mereka sempat berkeliling bertemu dengan masyarakat Paromaan dan berkunjung ke danau Kastoba. Kemudian melanjutkan ke Lapangan Terbang di Tanjung Ori Tambak, dan mereka dapat melihat keindahan pantai Labuan dari posisi lapter. Mereka percaya Labuan akan berubah dalam tempoh 10 tahun akan datang, tetapi melahirkan rasa kurang enak apabila pantai Labuan berubah menjadi tempat turis sedunia, menurutnya.
Selama dua hari mereka di Paromaan, mereka senang dengan air yang bersumber murni dari Danau Kastoba. Mereka sering bertanya dari mana sumber air yang kami minum, sedangkan kami tidak punya sistem air yang convensional. Mereka dapat merasakan kemurnian air di Bawean yang masih belum tercemar seperti dunia-dunia lainnya. Anak mereka bergaul dengan anak-anak di Paromaan, biarpun mereka tidak dapat bertutur bahasa yang sama sambil mereka saling betukar acara permainan mereka. (Bersambung.....)
Kami tawarkan untuk berkunjung ke rumah di Paromaan Tambak, sampai di rumah melanjutkan cerita-cerita perjalanannya sampai di Pulau Bawean. Dilanjutkan dengan makan siang, alangkah terkejutnya mereka belum kenal dekat langsung disambut dengan makan bersama. Sebagai makanan khas Pulau Bawean, kami suguhkan “kela celok”, sebagai lauk utama diwaktu makan siang.
Setelah selesai makan, mereka menceritakan sewaktu dalam perjalanannya belayar dari New Zealand, melalui New Caledonia, Flores dan Bali. Mereka sampai di Flores diserang perampok dan banyak pakaian dengan uangnya yang diambilnya. Untungnya mereka tidak apa-apakan oleh perampok di laut.
Kami berikan bantuan uang sebesar Rp 2 juta rupiah dengan cuma-cuma untuk membeli minyak dan bekal untuk melanjutkan perjalanan. Melihat sikap orang Bawean sangat ramah dan mesra, mereka sangat heran bahwa yang dikatakan “teroris Muslim” itu tidak benar, menurutnya.
Kami memberikan bantuan cuma-cuma, tapi mereka tetap bertahan untuk membayar dengan memberikan uang dollar New Zealand sebagai ganti uang yang kami berikan. Mereka akan hubungi kami di Singapore apabila sampai di Batam.
Ted sebagai pengacara di New Zealand dan Adrienne sebagai arsitek, mereka adalah sepasang suami isteri bersama dua anaknya sedang melakukan keliling dunia. Mereka akan berlayar selama 1 tahun 6 bulan untuk tujuan mengelilingi dunia. Mereka menyatakan Pulau Bawean tidak tertulis dalan “map” pelayarannya, tapi sangat tersentuh dengan keramahan warga Bawean dalam menyambutnya. Mereka berkata pertemuan kami dengannya adalah sebagai satu pengembaraan yang disamakan seperti Marco Polo dan Ibn Batuta, bertemu orang-orang yang luar biasa pada kehidupan mereka, sedangkan dirinya tidak pernah menyangka bahwa akan menapakkan kaki di Pulau Bawean.
Di Desa Paromaan mereka sempat berkeliling bertemu dengan masyarakat Paromaan dan berkunjung ke danau Kastoba. Kemudian melanjutkan ke Lapangan Terbang di Tanjung Ori Tambak, dan mereka dapat melihat keindahan pantai Labuan dari posisi lapter. Mereka percaya Labuan akan berubah dalam tempoh 10 tahun akan datang, tetapi melahirkan rasa kurang enak apabila pantai Labuan berubah menjadi tempat turis sedunia, menurutnya.
Selama dua hari mereka di Paromaan, mereka senang dengan air yang bersumber murni dari Danau Kastoba. Mereka sering bertanya dari mana sumber air yang kami minum, sedangkan kami tidak punya sistem air yang convensional. Mereka dapat merasakan kemurnian air di Bawean yang masih belum tercemar seperti dunia-dunia lainnya. Anak mereka bergaul dengan anak-anak di Paromaan, biarpun mereka tidak dapat bertutur bahasa yang sama sambil mereka saling betukar acara permainan mereka. (Bersambung.....)
Posting Komentar