Media Bawean, 4 Mei 2010
Sumber : Jawa Pos
Lepas Mengajar di Pulau Kecil, Pindah ke SD di Atas Bukit
Tidak sia-sia, Mulyono mengabdikan diri dengan menjadi guru sekolah terpencil di SDN 1 Tambak, Kecamatan Tambak, Pulau Bawean. Atas pengabdiannya itu, dia dinominasikan untuk memperoleh Tanda Kehormatan Satyalencana Pendidikan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
CHUSNUL CAHYADI, Gresik
---
BILA Mulyono terpilih, tanda penghargaan itu akan diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhonoyo di Istana Negara pada 11 Mei yang bersamaan dengan puncak peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Namun sebelumnya, dia harus bersaing dengan tiga kandidat lainnya, yaitu Widodo asal SDN 03 Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara; Ny Nur Mahullette, guru SDN Bukit Permai, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru, Maluku; dan Ati, guru SDN 1 Porehu, Kecamatan Porehu, Kabupaten Kulaka Utara, Sulawesi.
Bapak empat anak tersebut menyatakan optimistis. "Tentu saja saya mengharapkan doa semua warga Gresik," ujarnya yang didampingi Kadispendik Gresik Chusaini Mustas.
Mulyono mulai menjadi guru di SD terpencil tersebut pada 1987. Saat itu, dia menerima surat keputusan penetapan mengajar dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Gresik sebagai guru di SDN 1 Gili, Kecamatan Tambak.
Dia awalnya ragu. Sebab, daerah asalnya di Sangkapura masih kekurangan guru, kok dia malah ditempatkan di Gili. Apalagi SDN 1 Gili berada di pulau kecil yang terpisah dari Bawean.
Menuju pulau tersebut harus menyeberang dengan perahu selama setengah jam. Bila air laut surut, perjalanan lebih lama sekitar 1,5 jam. Sebab, perahu harus memutar untuk menghindari daratan yang menyembul serta menghubungkan Bawean dan Gili.
Saat seperti itu, dia sebenarnya bisa berjalan kaki melalui daratan tersebut. Namun, diperlukan waktu yang cukup lama. "Pernah sekali saya coba jalan kaki. Berangkat pukul 06.00 pagi dari Gili, sampai di rumah Sangkapura menjelang isya," ungkapnya.
Jalan kaki itu dilakukan Mulyono karena menjalankan nazar (janji) kepada dirinya ketika mendapatkan "promosi" mengajar di Pulau Gili. Nazar itu baru bisa dilaksanakan setelah empat tahun mengajar di SDN 1 Gili.
Ada pengalaman yang tidak bisa dilupakan Mulyono saat memenuhi janjinya tersebut. Dia diteriaki maling oleh warga Desa Diponggo, Kecamatan Tambak. "Waktu saya melintas di desa itu, kebetulan salah seorang warga baru saja kemalingan,'' ujarnya.
Karena tidak mencuri, dia pun tenang saja dan tidak berusaha lari. Warga desa itu pun percaya.
Mulyono juga pernah dianggap warga Pulau Gili telah meninggal dunia karena tertimbun reruntuhan ketika pulau tersebut diguncang gempa pada 1999. "Waktu itu Minggu. Tiba-tiba rumah goyang. Saya dan keluarga sontak keluar rumah. Beberapa detik kemudian, rumah saya roboh," kenangnya.
Empat tahun di SDN 1 Gili, Mulyono telah membuat sejumlah perubahan di masyarakat kepulauan itu. Sebelumnya, setelah lulus SD, anak-anak Gili tidak lagi melanjutkan pendidikan ke SMP atau tsanawiyah.
Pertimbangannya, untuk melanjutkan pendidikan ke SMP atau tsanawiyah, mereka harus menyeberang ke Bawean. Dibantu tokoh masyarakat setempat, dia terus meyakinkan warga tentang pentingnya pendidikan. ''Kini, semakin banyak yang pergi ke Bawean untuk meneruskan pendidikan selepas SD,'' ujarnya.
Selama empat tahun mengabdi di pulau terpencil itu, Mulyono mengatakan banyak mendapat suka dan duka. Perasaan suka muncul karena masyarakat kepulauan itu sangat ramah. "Mereka sangat menghormati guru," katanya.
Dukanya, ketika harus mengikuti rapat di kantor cabang diknas Tambak atau Dispendik Gresik. Perjalanan menuju kantor tersebut adalah sebuah perjuangan.
Agar bisa tampil rapi saat rapat, dia menyimpan baju dan sepatu di tas. Itu dilakukan agar baju dan sepatunya tidak terkena lumpur saat menyeberang. ''Menuju perahu harus menyeberang kubangan lumpur dulu,'' katanya.
Pada 1991, dia dialihtugaskan ke SDN Sukaoneng, Kecamatan Tambak. Posisinya tidak lebih bagus karena sekolah itu berada di atas bukit. Dia menghabiskan waktu sembilan tahun di sekolah tersebut. (c6/ruk)
Sumber : Jawa Pos
Lepas Mengajar di Pulau Kecil, Pindah ke SD di Atas Bukit
Tidak sia-sia, Mulyono mengabdikan diri dengan menjadi guru sekolah terpencil di SDN 1 Tambak, Kecamatan Tambak, Pulau Bawean. Atas pengabdiannya itu, dia dinominasikan untuk memperoleh Tanda Kehormatan Satyalencana Pendidikan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
CHUSNUL CAHYADI, Gresik
---
BILA Mulyono terpilih, tanda penghargaan itu akan diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhonoyo di Istana Negara pada 11 Mei yang bersamaan dengan puncak peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Namun sebelumnya, dia harus bersaing dengan tiga kandidat lainnya, yaitu Widodo asal SDN 03 Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara; Ny Nur Mahullette, guru SDN Bukit Permai, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru, Maluku; dan Ati, guru SDN 1 Porehu, Kecamatan Porehu, Kabupaten Kulaka Utara, Sulawesi.
Bapak empat anak tersebut menyatakan optimistis. "Tentu saja saya mengharapkan doa semua warga Gresik," ujarnya yang didampingi Kadispendik Gresik Chusaini Mustas.
Mulyono mulai menjadi guru di SD terpencil tersebut pada 1987. Saat itu, dia menerima surat keputusan penetapan mengajar dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Gresik sebagai guru di SDN 1 Gili, Kecamatan Tambak.
Dia awalnya ragu. Sebab, daerah asalnya di Sangkapura masih kekurangan guru, kok dia malah ditempatkan di Gili. Apalagi SDN 1 Gili berada di pulau kecil yang terpisah dari Bawean.
Menuju pulau tersebut harus menyeberang dengan perahu selama setengah jam. Bila air laut surut, perjalanan lebih lama sekitar 1,5 jam. Sebab, perahu harus memutar untuk menghindari daratan yang menyembul serta menghubungkan Bawean dan Gili.
Saat seperti itu, dia sebenarnya bisa berjalan kaki melalui daratan tersebut. Namun, diperlukan waktu yang cukup lama. "Pernah sekali saya coba jalan kaki. Berangkat pukul 06.00 pagi dari Gili, sampai di rumah Sangkapura menjelang isya," ungkapnya.
Jalan kaki itu dilakukan Mulyono karena menjalankan nazar (janji) kepada dirinya ketika mendapatkan "promosi" mengajar di Pulau Gili. Nazar itu baru bisa dilaksanakan setelah empat tahun mengajar di SDN 1 Gili.
Ada pengalaman yang tidak bisa dilupakan Mulyono saat memenuhi janjinya tersebut. Dia diteriaki maling oleh warga Desa Diponggo, Kecamatan Tambak. "Waktu saya melintas di desa itu, kebetulan salah seorang warga baru saja kemalingan,'' ujarnya.
Karena tidak mencuri, dia pun tenang saja dan tidak berusaha lari. Warga desa itu pun percaya.
Mulyono juga pernah dianggap warga Pulau Gili telah meninggal dunia karena tertimbun reruntuhan ketika pulau tersebut diguncang gempa pada 1999. "Waktu itu Minggu. Tiba-tiba rumah goyang. Saya dan keluarga sontak keluar rumah. Beberapa detik kemudian, rumah saya roboh," kenangnya.
Empat tahun di SDN 1 Gili, Mulyono telah membuat sejumlah perubahan di masyarakat kepulauan itu. Sebelumnya, setelah lulus SD, anak-anak Gili tidak lagi melanjutkan pendidikan ke SMP atau tsanawiyah.
Pertimbangannya, untuk melanjutkan pendidikan ke SMP atau tsanawiyah, mereka harus menyeberang ke Bawean. Dibantu tokoh masyarakat setempat, dia terus meyakinkan warga tentang pentingnya pendidikan. ''Kini, semakin banyak yang pergi ke Bawean untuk meneruskan pendidikan selepas SD,'' ujarnya.
Selama empat tahun mengabdi di pulau terpencil itu, Mulyono mengatakan banyak mendapat suka dan duka. Perasaan suka muncul karena masyarakat kepulauan itu sangat ramah. "Mereka sangat menghormati guru," katanya.
Dukanya, ketika harus mengikuti rapat di kantor cabang diknas Tambak atau Dispendik Gresik. Perjalanan menuju kantor tersebut adalah sebuah perjuangan.
Agar bisa tampil rapi saat rapat, dia menyimpan baju dan sepatu di tas. Itu dilakukan agar baju dan sepatunya tidak terkena lumpur saat menyeberang. ''Menuju perahu harus menyeberang kubangan lumpur dulu,'' katanya.
Pada 1991, dia dialihtugaskan ke SDN Sukaoneng, Kecamatan Tambak. Posisinya tidak lebih bagus karena sekolah itu berada di atas bukit. Dia menghabiskan waktu sembilan tahun di sekolah tersebut. (c6/ruk)
Posting Komentar