Media Bawean, 31 Maret 2011
Lomba Menulis Berita Dan Opini
Oleh : Aminudin (Kelas XII MAK Hasan Jufri)
Dalam hidup ini kita harus memiliki identitas diri dan karakter yang baik. Identitas diri dibutuhkan untuk mengenali spesifikasi keilmuan yang kita punyai. Sedangkan karakter yang baik menunjukkan tata perilaku kita sehari-hari sebagai pengamalan dari ilmu. Ilmu adalah untuk beramal.
Di zaman modern ini ada satu prasyarat tambahan yang harus dipenuhi yaitu bukti formal. Seorang cerdik pandai tidak akan diakui oleh negara bila tidak memiliki bukti kepandaiannya yaitu ijazah. Strata kepandaian seseorang kemudian dilambangkan dengan gelar yang disandangnya. Gelar sarjana, master dan doctor adalah jenjang keilmuan yang sengaja diatur oleh negara untuk mengenali tingkatan keilmuan sekarang. Semakin tinggi gelar seseorang maka dia diakui memiliki tingkat ilmu yang mumpuni dan begitu pula sebaliknya.
Gelar kesarjanaan juga bervariasi. Sarjana pendidikan berbeda dengan sarjana ekonomi. Master management juga berbeda dengan master non management. Perbedaan gelar sesuai dengan jenis keilmuannya ini diharapkan menghasilkan lulusan perguruan Tinggi yang berdedikasi sesuai dengan keilmuannya. Tidak terjadi tumpang tindih bidang garapan. Seorang sarjana ekonomi tentu tidak layak secara akademis bila menjadi guru matematika dan seterusnya.
Untuk jenjang pendidikan yang lebih rendah tingkat keilmuan seseorang dibuktikan dengan ijazahnya. Lulusan Madrasah Aliyah diyakini lebih pandai daripada lulusan Madarsah Tsanawiyah. Lulusan MTs lebih unggul dibanding dengan lulusan Madrasah Ibtidaiyah dan seterusnya. Bahkan saat ini pendidikan Taman Kanak-kanak juga sudah mendapat bukti kelulusan yakni ijazah. Bukan hanya lembaga pendidikan formal yang memberi ijazah, lembaga kursus dan pelatihan juga memberikan sertifikat bagi pesertanya yang sudah dinyatakan lulus.
Ijazah memang penting tetapi yang lebih penting adalah kualitas pemegang ijazah. Alangkah lucunya bila seorang dengan gelar sarjana tetapi kualitasnya setara Madarasah Aliyah. Seorang master kualitasnya standar sarjana. Jangan heran bila banyak orang tua bergumam “ Sarjana hari ini sama kualitasnya dengan lulusan MI tahun 50-an”. Komentar ini bukan tanpa alasan sebab banyak dari para sarjana yang sikapnya tidak mencerminkan kesarjanaannya. Alih-alih menjadi pelopor di kampungnya justru mereka bersikap tidak santun dan jauh dari norma kepatutan.
Ada fenomena bahwa ijazah hanya sebagai aksesoris. Banyak yang berburu ijazah hanya untuk mencalonkan diri menjadi kepala desa, DPRD, Bupati atau untuk kenaikan pangkat. Akibatnya marak oknum yang bisa mengusahakan ijazah secara instan dengan imbalan tertentu. Kelemahan birokrasi menjadi pintu masuk yang efektif munculnya praktek-praktek tercela tersebut. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak pejabat menggunakan gelar aspal, yaitu asli tetapi palsu.
Akankah hal ini terus berlanjut? Jawabannya tentu tidak. Secara bertahap harus ada pembenahan yang continue. Praktek perburuan ijazah bodong ini harus berhenti demi kualitas generasi mendatang. Pengawas pendidikan harus aktif ke lapangan untuk melihat dan membenahi praktek tersebut. Bila tidak segera dilaksanakan pembenahan maka sangat mungkin ke depan akan bertambah marak dengan jenjang yang lebih tinggi.
Dahulu Pondok Pesantren mayoritas tidak mementingkan ijazah. Kualitas keilmuan lebih diutamakan. Banyak lulusan pesantren yang pandai dan menjadi tokoh masyarakat namun mereka tidak memiliki ijazah formal selembarpun. Tetapi kini zaman sudah berubah. Perpaduan antara kualitas ilmu dan bukti otentik yakni ijazah sama-sama diperlukan.
Nama : Aminudin
Kelas : XII MAK Hasan Jufri
Alamat : Desa Balikterus Sangkapura
Posting Komentar