Media Bawean, 29 Mei 2011
Oleh : Ali Asyhar (Dosen STAIHA Bawean)
Sudah lama kita melihat fakta paradox dalam dunia pendidikan kita. Sebagaimana paradoksnya tokoh pewayangan yaitu Semar. Semar itu berdiri tetapi seperti orang duduk. Semar itu bibirnya tersenyum tetapi matanya menangis. Semar itu rambutnya memutih tetapi berkuncung. Semar itu tuli tetapi sering kagetan.
Dunia pendidikan sangat diharapkan menghasilkan output (lulusan) yang kreatif tetapi faktanya pengangguran semakin menumpuk. Dunia pendidikan seharusnya menghasilkan manusia yang bermoral tetapi realitanya banyak perilaku amoral. Dunia pendidikan dinantikan membentuk karakter manusia yang mandiri, percaya diri dan memiliki kepekaan social tetapi yang kita jumpai adalah sebaliknya. Semakin hari manusia semakin cuek dengan sesamanya. Lalu dimanakah letak kekurangannya? Banyak teori para ahli yang telah dikemukakan tetapi belum ada yang bisa menjawab secara ideal.
Salah satu solusi yang sering disampaikan oleh M. Nuh (Mendiknas) adalah menciptakan pendidikan yang berkarakter. Bagaimana bentuknya? Pandidikan yang berkarakter adalah pendidikan yang menomor satukan hati baru kemudian otak. Peserta didik diberi teladan dengan perilaku bukan hanya perintah. Contoh : banyak guru sering menasehati peserta didiknya untuk rajin membaca tetapi sang guru pun bukan orang yang suka membaca. Sebaiknya sang guru menunjukkan bahwa ia adalah orang gemar membaca maka peserta didik akan meneladaninya. Jika peserta didik masih malas membaca maka sang guru harus menasehatinya dengan kasih sayang.
Peserta didik adalah tanggung jawab guru di dunia dan akhirat bukan hanya ketika berada di sekolah. Jadi kesalahan yang dilakukan olah peserta didik juga harus menjadi tanggung jawab moral bagi guru dan lembaga pendidikan. Hubungan keilmuan antara peserta didik dengan guru adalah selamanya bukan hanya sampai selesai penerimaan ijazah. Singkatnya peserta didik anak bagi guru. Anak ilmu dan anak hati. Guru adalah orang tua ilmu dan orang tua hati.
Dulu di Lasem Rembang Jawa Tengah ada seorang Kyai yaitu Kyai Ma’shum bin Ahmad. Beliau tiap bulan Sya’ban berkeliling dari satu daerah ke daerah yang lain untuk bersilaturahim dengan para muridnya. Bila ada masalah keluarga maka beliau memberi motivasi dan solusi. Bahkan beliau akan marah bila menjumpai muridnya tidak berbuat apa-apa untuk kemajuan masyarakatnya. Tak jarang meski sudah lama boyong dari pesantren ada saja santri yang sowan karena seret ekonominya. Maka beliau akan senang hati membantu dan memberi pertimbangan. Ini adalah potret tanggung jawab yang total dari seorang guru terhadap anak didiknya.
Di Balikpapan, Kyai Abdullah Said bahkan ikhlas membantu anak didiknya mulai dari mencari jodoh sampai tempat berdakwah. Biasanya anak didiknya dianjurkan untuk mencari pasangan yang berjiwa tangguh supaya bisa diajak untuk menjadi pelopor di daerah-daerah minus. Perkembangan perjuangan para anak didiknya terus dipantau dan dibantu bila memerlukan. Berkat ketelatenan dan keuletan beliau banyak para anak didiknya yang kemudian menjelma menjadi pioneer bagi masyarakatnya. Pioneer ekonomi, social dan moral.
Banyak contoh yang bisa kita teladani dari para pendahulu. Lalu sudahkah lembaga pendidikan saat ini benar-benar memposisikan dirinya menjadi lembaga keteladanan ? Bila kita mau jujur jawabnya belum bahkan semakin menjauh dari ideal. Banyak yang sudah beralih dari jiwa keteladan menjadi bisnis semata. Peserta didik dan walinya dianggap lahan untuk mengeruk keuntungan.
Dari itu ikhtiar untuk mengembalikan lembaga pendidikan menjadi lembaga keteladanan adalah keniscayaan. Dari mana memulainya? Jawabanya adalah dari guru. Guru harus merubah paradigma berfikirnya bahwa mendidik adalah pilihan hidup bukan lapangan kerja. Peserta didik adalah amanah Allah bukan lahan bisnis. Selanjutnya materi pelajaran yang diberikan harus disesuaikan kebutuhan dan kemampuan peserta didik bukan dengan menjejalinya kerena tuntutan kurikulum dari depag atau diknas.
Seorang guru sayogyanya juga membimbing peserta didiknya saat berada di luar sekolah. Maka anak didik akan merasa terayomi karena dimana-mana ada yang menyapa, menasehati dan memberi contoh. Peserta didik akan benar-benar merasakan bahwa gurunya adalah orang tuanya. Jika kita menghitung bahwa di satu desa di Bawean ada 10 guru maka se Bawean ada 300 guru. Berarti ada 300 sosok yang bisa dijadikan panutan bagi peserta didik dan masyarakat. Alangkah indahnya.