Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Persepsi Masyarakat
Soal Pelayanan Kesehatan

Persepsi Masyarakat
Soal Pelayanan Kesehatan

Posted by Media Bawean on Senin, 04 Juli 2011

Media Bawean, 4 Juli 2011

Oleh: FAISAL HAQ 


Hingga sekitar tahun 80-an Puskesmas di pulau Bawean belum memiliki fasilitas seperti UGD atau IGD (instalasi gawat darurat), pelayanan kesehatan pada waktu itu masih sangat terbatas dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Tenaga perawat juga masih sangat kurang, seorang dokter sering kali merangkap tugas sebagai perawat. Alat transportasi juga sangat minim sehingga membuat warga yang tinggal di pelosok desa kesulitan untuk berobat. Dalam situasi dan kondisi seperti itu menjadikan dokter Puskesmas harus berinisiatif sendiri untuk berkunjung ke setiap pelosok desa dan datang ke kediaman warga kala ada yang meminta berobat. Berawal dari itulah bila ada orang yang sakit, masyarakat Bawean menjadi terbiasa dengan istilah memanggil dokter. 

Pada saat ini pelayanan Puskesmas di pulau Bawean sudah lebih maju dengan tersedianya fasilitas UGD dan rawat inap. Akan tetapi kebiasaan masyarakat yang selalu memanggil dokter apabila ada keluarganya yang sakit masih menjadi hal yang umum dan sebagian dari mereka menganggap itu adalah kewajiban dokter untuk datang. Perlu diketahui bahwa kebiasaan ini hanya terjadi di pulau Bawean, sedangkan di Gresik, Surabaya atau daerah lainnya setiap pasien yang ingin berobat akan datang ke rumah sakit atau ke tempat dokter praktek bukan sebaliknya. Mungkin ada juga dokter yang bisa dipanggil ke tempat kediaman si pasien, seperti dokter-dokter pribadi atau dokter yang bekerja di instansi swasta tertentu, tapi hal ini berbeda dengan dokter Puskesmas yang notabene sebagai pegawai negeri atau dokter pemerintah. Dokter Puskesmas terikat dengan jam kerja sebagai pegawai negeri, dia tidak bisa meninggalkan tempat kerjanya pada saat jam-jam kerja kantor dan dia 24 jam harus standby di UGD. Diluar jam kerja kantor, dokter biasanya membuka praktek pribadi, bila di UGD dan tempat prakteknya tidak ada pasien, terkadang dokter memang bersedia datang di panggil ke rumah warga. Dalam hal ini bukan berarti dia menjalankan kewajibannya, tapi semata-mata hanya kebijaksanaannya karena sebetulnya dia masih ada tanggung jawab untuk jaga 24 jam dalam pelayanan di UGD Puskesmas. 

Pemahaman seperti ini harus terus disosialisasikan agar tidak terulang pengalaman buruk seperti beberapa tahun yang lalu dimana ada dokter yang diintimidasi dengan celurit gara-gara tidak bersedia datang kerumah pribadi seorang pasien. Ada juga dokter yang di caci karena dianggap menelantarkan pasien akibat terlambat datang kerumahnya, padahal pada waktu itu dia tidak hanya menangani satu pasien saja. Bisa dibayangkan betapa dilemanya seorang dokter dalam situasi seperti itu, contoh lain pernah ada pasien dari desa Dekat Agung memanggil dokter untuk datang kerumahnya dan pada saat yang bersamaan ada pasien dari desa Sidogedung Batu juga menginginkan hal yang sama, tentu salah satu dari mereka ada yang tidak tertangani, beda halnya apabila kedua-duanya datang ke puskesmas dengan mengikuti prosedur yang ada. 

Persepsi lain yang masih kurang difahami adalah tentang masalah sosial, masih banyak warga sering menggerutu terhadap dokter yang dianggap kurang bersikap sosial. Padahal para dokter itu tidak memproduksi obat, dokter hanya berkerja dalam bidang jasa sedangkan obat-obatan dia harus membeli sendiri. Apabila masyarakat ingin pengobatan gratis sebenarnya telah ada program Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin, masyarakat bisa mendatangi kelurahan setempat untuk dikategorikan sebagai warga miskin. Pengabdian Dokter itu sudah selayaknya harus dihargai agar tidak terkesan pelecehan terhadap profesinya. Berprofesi sebagai dokter itu berbeda dengan dukun, menjadi dokter itu butuh pendidikan formal setidaknya enam tahun dan juga cara pengobatannya jauh berbeda dengan dukun yang hanya menggunakan media seperti air tujuh sumur, deun marongghi, dsb. Jadi kalau bayar ke dukun dengan gula 1 kilo dan pisang 1 sisir atau bahkan gratis sekalipun itu sah-sah saja.

Pemahaman tentang kesembuhan juga masih dominan, masyarakat masih banyak yang terlalu percaya dengan sugesti. Selalu beranggapan ke dokter si A cepat sembuh, ke Dokter si B harus bolak balik dua kali baru sembuh. Sebenarnya apa yang diberikan oleh tiap dokter itu kalau diagnosa penyakitnya sama, obat yang diberikan juga sama, mungkin cuma berbeda merk atau labelnya saja. Selain itu pada sebagian masyarakat masih menganggap kurang afdol kalau berobat belum disuntik, padahal sekali lagi itu cuma sugesti, obat yang disuntik atau yang diminum biasanya dosis (isinya) sama saja. Dokter itu juga manusia biasa yang bekerja sesuai dengan kemampuannya, sebagai manusia dia hanya berusaha, masalah kesembuhan kembalikan kepada Tuhan yang Maha kuasa. 

Pola fikir (mind set) masyarakat perlahan-lahan harus diubah agar dokter-dokter yang bertugas di Bawean tidak terus terpojokkan, khususnya dokter-dokter putra daerah yang selama ini justru banyak yang tertekan dalam menjalankan tugasnya. Status dan komentar dalam facebook masih banyak yang mencela kinerja para medis. Sebaiknya apabila ada sesuatu yang perlu diungkapkan dalam kepuasan pelayanan kesehatan lakukanlah dengan cara yang lebih arif, seperti berdialog, bertanya langsung dsb, namun tidak dengan cara tak beretika di dunia maya yang belum tentu kebenarannya dan ujung-ujungnya akan menimbulkan fitnah. Apabila banyak dokter yang tidak betah bekerja di Bawean pada akhirnya akan merugikan warga Bawean sendiri, seperti kejadian beberapa bulan yang lalu dimana sempat tidak ada pelayanan dokter di pulau Bawean. 

Selanjutnya mengenai dinamika pemberian obat, adapun obat yang dianjurkan pemerintah adalah obat generik bagi instusi layanan pemerintah yang harganya terjangkau, melalui Permenkes No:HK.02.02/Menkes/068/I/2010. Bila ada dokter yang menawarkan obat lain bukan berarti dia berdagang obat, dia hanya memberikan alternatif bahwa disamping obat generik tersedia juga obat paten yang harganya sudah tentu lebih mahal. Semua itu disesuaikan dengan kemampuan masyarakat yang berobat dan masyarakat sendiri yang dapat memilihnya.

Demi kemajuan pelayanan kesehatan di pulau Bawean, mari buka wawasan dan belajar untuk tidak selalu terjebak dengan berburuk sangka. Sebagai generasi yang berpendidikan tunjukkanlah opini dan input terhadap suatu kendala pelayanan kesehatan secara terpelajar, agar ditemukan solusi yang terbaik. Berilah kritik dan saran yang membangun, tapi bukan statement-statement yang mematahkan semangat pengabdian para dokter.

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean