Media Bawean, 9 Juli 2011
Pemimpin yang paling sering disebut setelah Nabi SAW adalah Amirul mukminin Umar bin Khathab. Umar dikenal sebagai kepala negara dan pemerintahan yang zuhud, sederhana, tegas, mau sakit, rasionalis dan adil. Bahkan keadilan Umar sering dimaknai sebagian sahabatnya sebagai bentuk kekerasan.
Sejak era jahiliah Umar adalah sosok yang keras. Ia juga sangat keras memusuhi Nabi SAW dan para sahabatnya yang masih sedikit jumlahnya. Bahkan masuknya Umar kepada agama islam didahului oleh peristiwa yang heroic. Umar sedang mencari Nabi yang berada di Darul Arqam Shafa dan hendak membunuhnya. Di tengah jalan ia bertemu Nu’aim bin Abdullah yang memberitahukan bahwa adik kandung dan iparnya sudah memeluk agama tauhid. Setelah Umar dibacakan surat Ta-Ha oleh adiknya, Fatimah, maka hidayah Allah memasuki relung hatinya yang fitri. Umar masuk islam dan langsung mengumumkan keislamannya secara terang-terangan. Ia menjadi orang yang ke 66 memeluk islam.
Selama menemani Nabi SAW Umar termasuk sahabat yang banyak memberikan pendapat yang cemerlang sehingga Nabi menyatakan bahwa Allah meletakkan kebenaran di lidah Umar. Sebuah pengakuan dari Rasulullah bahwa Umar memang dianugerahi keistimewaan. Sepeninggal Rasul Umar banyak berijtihad diantaranya adalah ia menghapus hak mualaf untuk mendapatkan zakat dengan alasan agama islam sudah kuat.
Pada saat ditunjuk oleh Abu Bakar untuk menjadi penggantinya Umar keberatan. Ia bertanya kepada Abu Bakar “ Ya Khalifah, masih banyak sahabat Nabi SAW yang unggul, mengapa engkau memilihku?”. Abu Bakar menjawab “ Aku telah meminta pertimbangan dari banyak sahabat. Mereka memilihmu untuk menjadi khalifah setelah aku”. Umar menangis merenungkan beban maha berat yang harus diembannya.
Setelah Abu bakar mangkat, Umar mengencangkan perut dan menyingsingkan lengan bajunya. Ia tidak perlu kantor dan sekretaris. Ia meras cukup dengan menggunakan masjid sebagai markaz pemerintahnnya. Dari masjid ia memberangkatkan pasukan, memilih panglima perang, memberi putusan-putusan penting dan menerima tamu negara. Ia makan sebagaimana makanan orang-orang papa dan memakai busana yang sangat sederhana. Ia biasa beristirahat di teras masjid untuk memudahkan masyarakat bila mencarinya. Suatu hari Jabalah bin Aiham , kepala suku Ghassan, dibuat terheran-heran dengan perilaku Amirul mukminin. Jabalah datang ke Madinah dengan pengawalan 500 orang ksatria yang berpakaian mewah. Ia sendiri memakai jubah kebesarannya yang terbuat dari sutra berkualitas tinggi dilapisi emas. Suara gemerincing menyertai langkah kakinya. Menjelang waktu dluhur ia sampai di halaman masjid. Jabalah yang sudah masuk islam mengajak para pengawalnya untuk shalat dulu dan bersiap mengahadap amirul mukminin. Ia membayangkan bahwa Umar bin Khathab pasti duduk di singgasana mewah dikelilingi para pengawal dan dayang. Seorang kepala negara yang pasukannya baru saja menaklukkan Persia dan mengusir Heraklius kembali ke Rumawi pasti berada di istana yang megah.
Setelah shalat dluhur Jabalah bertanya kepada salah satu jamaah “ Dimanakah istana Umar bin Khathab?”. Orang itu menjawab di masjid ini. Jabalah bertambah bingung dan mengulang kembali pertanyaannya “ Yang aku maksud adalah Umar bin Khathab amirul mukminin?”. Orang itu mengulang jawabannya “ Di masjid ini. Yang menjadi imam shalat dluhur tadi adalah amirul mukminin Umar bin Khathab”. Jabalah tertegun lama. Lidahnya kelu untuk mengucapkan sepatah kata. Hatinya bergumam, bagaimana mungkin seorang kepala negara yang wilayah negaranya membentang di seluruh Jazirah Arab bahkan kini sudah hampir menguasai Mesir dari kekuasaan Rumawi tetapi ia tidak memiliki istana? Berpakaian sangat sederhana? Tanpa pengawal? Bukankah harta rampasan perang jumlahnya bertrilyun-trilyun dinar dan dirham? Jabalah malu luar biasa karena telah berlaku angkuh dengan membawa aksesori kemewahan di hadapan Umar.
Tentang ketegasan Umar tak diragukan lagi. Ia memecat Khalid bin Walid dari jabatan tertinggi di medan perang karena Khalid mengawini Laila, istri Malik bin Nuwairah, kepala suku Bani Tamim yang murtad. Meski perkawinan itu sah tetapi Umar berpendapat bahwa tidak etis mengawini seorang perempuan disaat suaminya terbunuh dan darahnya belum kering. Umar juga memecat Sa’ad bin Abi Waqash, gubernur Irak, karena Umar mendapat pengaduan dari masyarakat tentang kurang cakapnya Sa’ad mengurus pemerintahan di Irak. Umar tidak ingin terjadi fitnah yang berkepanjangan disaat pasukan islam harus focus untuk melanjutkan pembebasan.
Umar juga sosok yang adil. Tak jarang ia memerintahkan warga biasa menghukum seorang pejabat sebagai sangsi atas kesewenang-wenangan pejabat tersebut. Suatu hari Muhamad bin ‘Amr bin ‘Ash , gubernur Mesir, memukul warga hanya karena menyenggol badannya dengan tidak sengaja. Muhamad merasa bahwa sebagai anak gubernur tidak sepantasnya disenggol. Warga itupun mengadu kepada Umar bin Khathab di Madinah. ‘Amr bin ‘Ash dan anaknya dipanggil ke Madinah. Di hadapan pengadilan terbukti bahwa Muhamad bersalah. Umar menyuruh warga tersebut untuk membalas memukul Muhamad. Bukan hanya itu warga itupun disuruh memukul ‘Amr bin ‘Ash. Sebab karena jabatan’Amr bin ‘Ash-lah anaknya bertindak semena-mena.
Suatu malam Umar berjalan seorang diri dipinggir Kota Madinah. Ia mendengar suara perempuan mengerang kesakitan karena akan melahirkan. Segera Umar mendekat dan bertanya kepada suaminya “ Siapakah anda dan kenapa istrimu?”. Lelaki itu menjawab “ Kami bukan penduduk Madinah dan istriku akan melahirkan. Kami tak memiliki apa-apa”. Umar segera bergegas pulang dan menemui istrinya, Umi Kulsum. Keduanya membawa tepung dan selimut. Umar segera memasak dibantu si suami dan Umi Kulsum membantu proses melahirkan. Setelah bayi lahir dengan selamat dan sang ibu makan Umar pamit meninggalkan keduanya. Suami istri tersebut tidak mengetahui bahwa yang menolongnya adalah amirul mukminin.
Menjelang wafatnya, Umar menunjuk 6 orang formatur untuk dipilih menjadi penggantinya. Ke –enam orang itu adalah Ali bin Abi Thalib, Ustman bin ‘Affan, Abdurahamn bin ‘Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin ‘Awwam dan Sa’ad bin Abi Waqash. Ia menyatakan bahwa tiem formatur ini boleh memilih salah satu diantara 6 oarang itu atau orang diluar mereka. Yang tidak boleh dipilih adalah anaknya yaitu Abdullah bin Umar. Sikap kehati-hatian Umar ini bertujuan demi kokohnya persatuan muslimin. Umar ingin menunjukkan bahwa jabatan adalah beban berat yang harus dipertanggung jawabkan kepada muslimin dan Allah. Jabatan bukanlah warisan.
Waba’du. Ditengah rasa pesimisme yang membuncah di negeri ini kita harus meneladani Umar bin Khathab. Kepemimpinannya harum sepanjang masa melebihi Jengis Khan, Napoleon, Iskandar Agung dan Julius Caesar. Meski tidak 100 % paling tidak kita sudah bersungguh-sungguh berusaha. Jika kita mau meneladaninya maka perlahan tidak lagi kita jumpai pejabat yang ngotot minta rumah dinas, kendaraan dinas, tunjangan ini-itu, kunjungan kerja bodong, kaya mendadak, nepotism dan menghalalkan suap untuk meraih jabatan.
*Dosen STAIHA Bawean
2 comments
semoga di pulau bawean ada kader-kader yang bisa mengikuti jejak kepemimpinan umar bin khathab, sehinga pulau bawean bisa menjadi pulau yang islami dan masyarakat islami. aminnn
Alhamdulillah,Gus Ali Asyhar; tetapi andai Umar r.a. hidup dam menjadi pemimpin Idonesia, segala sifat-sifat terpuji / positifnya tidak bisa diterjemahkan, karena Umar berjalan dijalan Islam.(Perlembagaan islam yang berdasar kepada (Kebenaran walapun sedikit)yakni bukan myoritas, karena mayoritas manusia adalah fasik(Wainna ksiran minan-nasi lafasiqun).
Selain itu, walapun banyak umar2 sekarang ini, segala nilai positifnya tiada punya nilai jika redo dan selesa duduk didalam sistem kuffar. (Allahu A'lam bissawab).
Posting Komentar