Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Insan Sejati
Di Zaman Materialistik

Insan Sejati
Di Zaman Materialistik

Posted by Media Bawean on Jumat, 27 Januari 2012

Media Bawean, 27 Januari 2012

Penulis : Hassan Luthfi


Ketika orang mulai terfokus pada pencitraan jati diri untuk mengganti status sosial, maka dalam fikiran akan terjebak pada unsur materi. Karena status sosial dalam masyarakat selalu identik dan berasumsi pada uang, kekuasaan atau jabatan. Bila materialistik telah menjadi mind set pada setiap orang maka nilai-nilai dalam ajaran agama akan menjadi kabur. Mengamalkan ajaran agama hanya sebatas kedok dalam bagian memanipulasi jati diri. Berhaji dan berumrah berkali-kali dijadikan aksesoris demi mengkamuflase sebuah identitas, yakni berstatus menjadi OKB (Orang Kaya Baru). Sementara anjuran beribadah yang tidak mengubah image tak begitu diprioritaskan bahkan terabaikan.

Fenomema gaya hidup materialistik dewasa ini telah membuat manusia semakin sulit untuk membedakan antara kebutuhan dengan keinginan, antara mengutamakan kewajiban ataukah haknya dalam hidup bertetangga maupun hidup bermasyarakat. Cara berfikir materialistik juga membuat manusia (“sebagian masyarakat Bawean”) mulai terkikis dari sifat keakraban dan egaliter. Perbedaan status sosial telah membentuk gap dalam perilaku keseharian, antara OKB dan orang-orang berekonomi menengah kebawah. 

Sikap hidup materialistik tanpa disadari telah menciptakan ruang gerak para misionaris yang mencari celah pada kesenjangan sosial. Suatu hal yang tabu bagi masyarakat Bawean ketika mendengar sentimen terhadap keyakinan, mendengar kata-kata Kristenisasi seolah-olah ada jihad di depan mata. Ironisnya cara-cara hidup yang tidak Islami seperti gaya hidup materialistik justru menjadi trend baru dikalangan masyarakat pada umumnya. Akibatnya banyak orang berprilaku seperti orang-orang non muslim, yang suka pamer harta benda, tidak berempati terhadap penderitaan saudara semuslim, serta semakin serakah melakukan segala cara demi memperoleh sebuah status menjadi OKB. Keserakahan telah menimbulkan rusaknya beberapa lingkungan alam di pulau Bawean. Pantai-pantai menjadi abrasi akibat penambangan ilegal, begitu pula banjir dan tanah longsor kerap terjadi akibat pembalakan liar. Keserakahan juga menyebabkan korupsi disetiap instansi semakin menjadi tradisi, hingga semua inventaris dan uang milik pemerintah dianggap seperti harta ghanimah (harta rampasan perang).

Dampak hidup materialistik bukan hanya menyebabkan rusaknya tatanan hidup dalam masyarakat tetapi juga dalam pemerintahan. Berdirinya beberapa LSM (lembaga swadaya masyarakat) di pulau Bawean pada mulanya menjadi angin segar bagi pengawasan pemerintahan daerah dan penyambung lidah rakyat yang tak terwakili. Namun dari sekian LSM yang eksis di Bawean terlihat masih banyak yang kurang independen, beberapa LSM seolah terhipnotis dan diperalat oleh para politikus hingga akhirnya menjadi kuda troya partai politik tertentu. Menjadikan LSM yang independen tentu sulit bila tidak didukung oleh sumber finansial yang kuat. Apalagi sebagian LSM masih terpancing untuk menerima sumbangan bersampul sosial yang berasal dari lingkaran partai politik, maka sudah barang tentu visi dan misinyapun terkontaminasi oleh kepentingan partai politik.

Saat ini yang dibutuhkan pulau Bawean adalah pejuang-pejuang sejati disegala bidang, mulai dari pemerintah daerah, LSM, birokrat, anggota DPR, pungusaha, serta segenap elemen masyarakat. Pejuang sejati akan memiliki jiwa seperti sahabat sejati, yang selalu ada pada saat dibutuhkan. Bawean membutuhkan wakil rakyat sejati, bukan yang hanya pandai beretorika belaka atau hanya sekedar berkata-kata normatif pada saat ada masalah. Seribu wakil rakyat selalu datang dan tertawa hanya pada saat kampanye pemilu, tetapi seorang wakil rakyat sejati akan selalu ada dikala warganya bergembira atapun berderai air mata.

Bawean mendambakan dermawan sejati, yang sanggup memberikan apa yang dimiliki meski hampir diluar batas kemampuannya, bukan dermawan pencari status sosial dengan harta dari merusak lingkungan serta menjual harkat dan martabat warga Bawean. Bawean mengidamkan dermawan sejati seperti kisah Ali bin Mowaffaq, seorang tukang sepatu di Damaskus. Walaupun dia gagal bergelar haji tapi para malaikat telah bercerita tentang haji mabrurnya karena telah rela menyerahkan seluruh biaya hajinya kepada tetangganya yang kelaparan. 

Bawean juga merindukan pemimpin sejati, bukan pemimpin-pemimpin karbitan yang cenderung oportunis. Menjadi seorang pemimpin sejati membutuhkan proses panjang diibaratkan besi menajamkan besi, dengan demikian kepekaannya akan tajam terhadap apa yang rakyatnya rasakan. Menjadi pemimpin dalam masyarakat memang tidak mudah, seringkali dihadapkan pada beberapa persoalan tetapi pemimpin sejati selalu bijaksana dalam mengatasi setiap persoalan bahkan tumbuh bersama karenanya. Bawean juga membutuhkan LSM atau aktifis sejati, bukan aktifis yang diperalat oleh penguasa, melainkan aktifis yang idealis dan berdedikasi tinggi dalam menyuarakan hak-hak kaum marginal.

Berharap masih ada insan-insan sejati ditengah derasnya arus zaman materialistik, insan-insan yang selalu ikhlas berjuang demi kebaikan dan kemajuan pulau Bawean. Mulai belajar dari hal-hal kecil dengan berbuat sesuatu yang berguna bagi orang lain dan lingkungan mungkin merupakan salah satu langkah terbaik, agar lahir insan yang memiliki cinta, jiwa dan kepribadian sejati. Insan-insan yang tidak hanya menuntut akan hak-haknya tetapi juga melaksanakan tanggung jawabnya. Seperti kata John F Kennedy (mantan presiden Amerika Serikat) “Jangan tanyakan apa yang telah diperbuat negara buatmu, tapi tanyakanlah apa yang sudah kau perbuat untuk negaramu?”. Wassalam…

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean