Media Bawean, 26 Agustus 2012
Tulisan : Abd. Rahman Mawazi
(Wartawan Tribun Batam)
“Ini sekolah kita dulu,” kata Pipi yang sengaja memelankan motor ketika melintas di depan sekolah yang sedang libur hari Minggu.
“Masih adakah guru-guru yang pernah ngajar kita?” tanya Eson pula.
“Kalau gak salah sudah gak ngajar lagi. Aku pernah liat ibu Muslimah saja, tetapi gak tau juga lah,” katanya seraya melanjutkan, “kau masih ingat dengan pak Wahid, kepala sekolah, yang dijuluki mata [ikan] golok itu?”
“Ha ha ha…. Ingat lah. Bapak itu sekarang di mana?” tanyanya lagi. “Eh kita berhenti dulu yuk,” pinta Eson pula.
Sekolah itu dulu dikenal dengan sekolah impres. Bagi masyarakat Buloar, ada dua pilihan sekolah dasar, yakni SD impres itu dan Madrasah Ibtida’iyah (MI) di Buloar Dejhe. Banyak warga Buloar memilih menyekolahkan anaknya di MI. Mereka berharap anak-anak mendapatkan bekal pendidikan agama yang lebih baik. Sedangkan di SD Impres, pelajaran agama hanya satu pelajaran saja. Sebagian besar siswa SD itu berasal dari kampung Buloar, Rojhing, Arkoneng, dan Ghunung Lanjheng. Mereka jalan kaki menempuh jarak sekitar satu kilometer. Di SD inilah Eson dan Pipi sekolah. Di sekolah ini pula Eson pernah berkelahi berebut buku cetak dengan Laklang.
Sekolah adalah idaman setiap anak. Mereka begitu senang jika memasuki masa-masa sekolah. Ada spirit yang menggerakkan mereka untuk mengenakan seragam dan menerima pejaran dari guru. Pendidikan memang hak bagi setiap anak. Tidak boleh anak-anak terhalang bersekolah karena keterbatasan biaya. Semangat mereka adalah semangat para pemenang, seperti ketika setitik benih dari air mani berebut memasuki ovum dan sukses mengalahkan jutaan benih lainnya. Janin yang lahir ke dunia adalah pemanang.
“Masih sama kayak dulu ya?” komen eson setelah melihat ruang kepala sekolah di bagian ujung. Kedua terus saja berjalan sambil menguntip ke dalam ruang dari cela jendela berkawat. Meja dan bangku berjejer empat. Satu meja di tempati dua orang siswa. Meja itu pun tampak seperti meja lama, meja yang mirip digunakan semasa Eson.
“Kau dulu suka duduk di meja nomor dua dari depan. Dari kelas satu sampai kelas enam pun, engkau selalu memilih meja kedua,” kata Pipi sambil menoleh ke Eson. Eson hanya tertawa sambil menggeleng. Teman itu ternyata masih ingat juga dengan kebiasaan-kebiasaan masa kecil dulu. Sedangkan Pipi lebih sering memilih duduk di belakang Eson. Ia enggan untuk duduk berdampingan karena bagi Pipi itu akan menyulitkan ketika akan nyontek.
“Berapa ya jumlah muridnya sekarang?” tanya Eson pula.
“Mana aku tahu lah,” ujar Pipi cepat.
Meja kedua itu, bagi Eson, ialah tempat paling favorit. Tempat yang memberikan semangat, tempat untuk mengantar impian, sekaligus tempat untuk sedikit bermalas-malasan. Di meja kedua, Eson masih sempat bercanda dengan teman saat guru menuliskan materi pelajaran di papan. Jika berada di pinggir, maka akan mendapatkan dua sandaran, sandaran meja dan juga sandaran ke dinding. Itulah saat bermalas-malasan ketika bosan mengikuti pelajaran atau detik-detik menjelang istirahat.
Sedang meja pertama, biasanya banyak diisi oleh siswi perempuan. Dan meja bagian belakang, diisi para bengal. Di retan belakang, atau kedua dari belakang, biasa menjadi tempat favorit juara, juara tidak naik kelas. Mereka yang jarang naik kelas itu bukan karena kemampuan, tapi lebih karena kenakalan. Kelas empat adalah kelasnya para bengal. Mereka baru baru mulai merasakan hawa sekolah dengan perkenalan pada senior, tidak heran bila ketika ada tiga orang yang tidak naik kelas bersamaan. Bahkan satu diantara sudah dua kali tidak naik kelas.
“Engkau masih ingat dengan Iril?” tanya Pipi di penghujung kelas, tepatnya di kelas depan ruang kelas enam.
“Iril mana?” Eson bertanya balik sambil mengeryitkan dahi. Ia berusaha mengingat nama itu. Dan hanya bisa menyerah dan menggelek dengan ingatannya. “Gak tau,” ujarnya pula.
“Itu loh, anak Ghunung Lanjheng. Namanya Khairil. Masak kau tidak ingat. Dia yang berhenti di kelas lima itu?” terang Pipi mencoba memancing memori Eson. “Yang sukanya ngerjain cewek-cewek itu loh. Ah, masak gak ingat sih,” ujarnya.
“Ah, aku lupa lah. Emang kenapa dengan dia?” Eson menyerah.
“Kau ingat tak, waktu dia dimarahi sama pak Tarmizi karena buka angkat rok anak-anak?” ucapnya lagi.
“O itu, iya, iya. Aku ingat. Dia dijewer sampai mukanya merah. Tapi memang dasar dia, biar habis itu ya tetap saja berbuat lagi. He he he,” kata Eson yang sudah ingat orang yang dimaksud.
“Di sekarang sudah dia sudah kaya. Sudah punya motor gede. Dia pulang dari Malaysia langsung bawa motor,” terangnya lagi.
Bagi sebagian masyarakat Bawean, pendidikan sangat penting meski tidak harus di sekolah formal. Tidak sedikit anak-anak Bawean yang belajar membaca, menulis dan berhitung melalui sekolah non formal yang disebut madrasah diniyah. Sekolah ini diadakan sore hari dengan kurikulum berbasiskan agama. Semua mata pelajarannya layaknya pelajaran yang diterima layaknya kurikulum di pesantren, seperti tajwid (ilmu baca Al-Qur’an), aqidah (teologi islam), fiqh (hukum islam), nahwu dan shorof (ilmu tata bahasa arab), dan sebagainya. Anak-anak yang tidak menamatkan sekolah SD biasanya lebih memilih sekolah ini. Begitu juga dengan desakan orang tuanya.
Bagi orang tua Bawean, pendidikan diniyah (keagamaan) lebih penting dibandingkan pendidikan formal. Dasar agama merupakan pegangan bagi kearifan masa depan. Nilai kearifan tertinggi ada pada agama. Nilai agama pula yang membentuk karakter. Bagi masyarakat Bawean, agama adalah segala. Ritual-ritual keagamaan secara jamaah pun mejadi tolok kepedulian sosial. Warga yang jarang ikut pengajian atau jarang menghadiri undangan tanpa alasan yang jelas, akan sering dicueki ketika mengundang warga lainnya.
Sekolah dasar adalah tangga dari cita-cita. Pada masa angkatan Eson, tidak ada taman kanak-kanan (TK) yang akan mengenal huruf dan angka. Orang tua pun jarang yang mempedulikan hal itu, apalagi membelikan mainan buat anaknnya untuk membantu perkembangan pengetahuan dan otak. Belajar adalah sewaktu di bangku sekolah. Itulah yang menjadi spirit bagi anak-anak Bawean untuk sekolah. Spirit untuk memiliki bekal dasar membaca, menulis dan berhitung.