Media Bawean, 6 Mei 2013
Lomba Menulis Opini Dan Artikel
Kategori Umum
Nama Penulis : Jamaluddin, S.Si, M.Pd.I
Pekerjaan : Pelaku Pendidikan di Bawean
Alamat : Sungaitirta-Sungairujing-Bawean
Setiap orang asing yang datang ke Pulau Bawean baik yang domistik maupun nondomistik, mayoritas berdecak kagum dan ketagihan untuk datang kembali ke Pulau Bawean, karena terpesona dengan keindahan alam Bawean yang penuh eksotis dan alamiah, ditambah kultur masyarakat yang ramah, sopan, santun dan bersahabat. Kesan mereka jika ada di Pulau Bawean seperti ada dalam alam merdeka yang tidak ada kesan menakutkan dan seperti hidup dalam lingkungan yang sudah teradaptasikan dengan dirinya. Peradaban budaya santun dan ramah yang melekat pada masyarakat Bawean ini tidak terlepas dari tatanan kehidupan masyarakat yang konsisten menjunjung dogma ajaran syariah Islam yang diamalkan dalam kehidupan seharian masyarakat Bawean.
Persoalan yang sudah terjadi adalah Pemerintah Kabupaten Gresik sudah gencar menginformasikan pencanangan Pulau Bawean sebagai Pulau wisata, sudah banyak langkah yang diupayakan secara pelan-pelan tapi sepertinya akan pasti, termasuk pembangunan infrastruktur. Apa dan bagaimana cara masyarakat Bawean menerima dan akan mengawal kenyamanan wisatawan di Bawean ?. Sudahkah masyarakat Bawean siap menjadi tuan rumah yang baik bagi bangsanya sendiri. Jika dicari jawabannya atas pertanyaan di atas, memang tidak akan menemukan titik temu yang sepakat dan sepaham. Harus ada jihad dan ijtihad dalam memikirkan ketahanan budaya religius masyarakat Bawean yang dapat memfilter aliran arus beraneka ragam kemajemukan budaya yang dibawa oleh wisatawan dari berbagai manca negara.
Di masa yang serba modern saat ini, apakah segala hal yang mengandung masa lalu (tradisi) masih diperlukan?. Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan yang demikian. Di satu sisi, masyarakat harus menyesuaikan diri dengan kondisi zaman yang senantiasa, bahkan begitu pesat pergerakannya. Di lain sisi, masyarakat tidak lahir dari kultur yang kosong. Sulit untuk dipungkiri bahwa jika kenyataannya masyarakat memang membutuhkan pijakan kultur. Mau tidak mau, kultur yang pernah tumbuh di belakang masyarakat, yakni masa lampau, harus ditoleh oleh masyarakat itu sendiri. Ya, semacam cermin untuk menata diri dalam menyikapi masa depan (masa kini). Namun, tidak dapat pula dibantah bahwa kearifan tradisi kerap pula diabaikan masyarakat modern. Segala hal yang sangkut-menyangkut dengan tradisi dianggap sekedipan mata. Padahal, ibarat pakaian, tentu kultur masa lampau tidak serta merta harus dikenakan secara terus-menerus. Dengan kata lain, masa lampau (tradisi) adalah harus tetap dilestarikan.
Dalam romantika kehidupan alam wisata dan era globalisasi, tidak akan bisa lepas dari kehidupan kebebasan, terutama pergaulan kehidupan yang tanpa nilai normatif-religius, wisatawan bebas bergerak berbuat merdeka atas dirinya, mereka berdiri di atas hak daripada kewajiban, ditambah di jaman teknologi yang semakin canggih, nilai-nilai luhur kultur Bawean bisa saja akan semakin menjadi barang langka karena tergeser oleh pilihan-pilihan hidup yang pragmatis, yaitu kepintaran manusia modern yang hanya akan menjadikan dirinya sebagai robot-robot penggerak mesin kapitalisme, yang tidak akan mampu lepas dari ketagihan dan ketergantungan dengan produk tekhnologi yang memberikan kenyamanan sumber inspirasi informasi dan komunikasi.
Lantas di era globalisasi yang serba modern ini, apakah warga Bawean akan larut dengan perilaku yang bebas nilai tersebut. Tentunya, semuanya sudah harus memikirkan dan mengevalusi diri secara dini untuk menciptakan ketahanan budaya masyarakat yang normatif-religius yang dapat abadi, yang tidak mampu digeser oleh peradaban dari Negara manapun. Biarlah badai peradaban yang begitu majemuk dan bebas nilai bergumul, asalkan peradaban Bawean tidak bergeser dan tetap eksis mampu membentengi diri. Sudah harus ada iktikad dan kesadaran dari masyarakat Bawean terutama yang berstatus sebagai orang tua, untuk membuat ketahanan peradaban masyarakat normatif-religius, dengan cara membentengi anak-anaknya dengan ajaran syariah Islam yang mapan. Tradisi mengaji di langgar-langgar ba’dha magrib dan ba’dha subuh, jelas sudah banyak yang meninggalkannya, kelihatan sekali jika sudah terkikis dengan kultur hedonis yang notabene hidup ketergantungan dengan tekhnologi informasi dan komunikasi. Sepertinya sudah menganggap biasa anak-anak asyik bermain playstation, pegang handphone super canggih, dan istiqomah duduk mantap dengan aneka menu acara televesi.
Jaman sekarang membina generasi muda tidak dapat dilakukan dengan cara-cara biasa, santai dan asal-asalan, harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan terprogram. Mengingat pengaruh lingkungan yang semakin kuat terhadap degradasi moral generasi muda, antara lain:
• Persaingan yang semakin ketat di berbagai bidang kehidupan menjadikan generasi muda lebih aktif mengejar status duniawi dan mengabaikan urusan agama.
• Menyebarnya gaya hidup modern yang bebas dan mengagungkan nilai materialime membuat orang tua lebih bangga anaknya sukses menuai banyak uang daripada menjadikan seorang anak yang alim (dibekali ilmu agama).
• Pengaruh buruk hiburan dan pornografi melalui berbagai media menjadikan generasi muda terlena dan melalaikan kewajiban ibadah dan mencari ilmu agama.
• Pergaulan bebas di lingkungan dapat mengikis keimanan dan kefahaman agama generasi muda.
Kondisi masa depan Bawean akan tergambar dari pembinaan generasi muda saat ini, kelalaian membina generasi muda akan berakibat semakin pudarnya nilai-nilai agama di masa depan.
Jika kultur ngaji agama tetap dibiasakan kepada anak-anak sejak usia dini sampai dengan usia remaja, maka setidaknya ada upaya menanamkan nilai-nilai luhur budaya spiritualitas pada anak, maka dapat diharapkan generasi mendatang memiliki karakter manusia seutuhnya dan mempunyai prinsip yang kokoh diantara arus deras globalisasi. Kultur berupa tanggung jawab kepada dirinya, alam dan sesama manusia akan menjadi jati diri masyarakat Bawean. Daerah wisata harus dikawal oleh budaya yang berperilaku normatif-religius dan tatanan masyarakat damai yang menjunjung sikap toleransi dan kejujuran. Tidak boleh ada kejahatan fisik dan perasaan, citra tenggang rasa antara tutur kata dan perilaku harus balance dalam pergaulan. Jika sikap seperti ini sudah menjadi kepribadian masyarakat Bawean, maka tidak ada yang namanya pencurian terselubung atau terang-terangan (seperti pencopetan atau perampokan), larut dalam pergaulan bebas dan kehidupan glamor dari budaya hedonisme.
Menjadi gaun yang tetap tergantung di lemari kemodernan, yang dapat dipakai sekali waktu. Namun, andai tiba masa mengenakan baju budaya masa lalu, sudah barang tentu tidak sekadar bertengger di tubuh, tetapi rohnya menyusup juga sampai ke jiwa pemakainya. Inilah sebenarnya hakikat pelestarian. Hampir dipastikan, hakikat pelestarian demikian yang tampaknya menjadi pijakan Persatuan Kerukunan Keluarga Bawean dalam menggelar budaya “Mulod Bawean Meretas Kota Berentang Banua” di Alun-alun Sangkapura. Bagaimanapun kegiatan tersebut telah mampu untuk mengajak masyarakat Bawean sejenak mengenakan pakaian masa lalu (tradisi), mengasa romatisme kebersamaan, merajuk tali persaudaran, mengikat ukhuwah islamiyah warga Bawean dari berbagai penjuru benua, dan yang jelas terpancar mercusoar jati diri kepribadian masyarakat Bawean dengan busana melayu yang islami.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni bahasa. Sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Nilai tawar wisata Bawean tetap harus berlabelkan Islami, karena seratus persen masyarakat Bawean adalah menganut ajaran Islam. Lihatlah semua aneka ragam seni dan budaya yang ada di Bawean, semuanya tidak lepas dari nuansa islami, baik sisi seninya maupun sisi penampilanya. Seni dan budaya hasil warisan dari nenek moyang, yang sampai saat ini masih eksis dan masih dilestarikan oleh masyarakat Bawean baik yang masih tradisional maupun yang sudah dipoles lebih modern seperti: hadrah, korcak, kercengan, albanjari, zamrah, terbang dekker, mandailing, samman, dhungkah, pencak silat, dan masih banyak lagi yang lainnya. Budaya yang berupa adat seremonial yang sering dilakukan, misal : angkatan molod, nyalam-nyalaman silaturrahmi hari raya, rasol saat selesai turun ke sawah, dan lain-lain. Belum lagi karya berbudaya yang punya nilai seni islami, diantaranya: kerajinan tradisional tikar pandan, rumah adat Bawean, dhurung, dan lain-lain.
Baik seni maupun budaya kedua-duanya saling ada keterkaitannya, hal ini dapat kita lihat dari beberapa budaya maysarakat yang ada di tengah-tengah kehidupan masyarakat Bawean yang beraneka ragam saling mengisi dan memberi. Terlepas dari anggapan yang mengatakan bahwa seni-budaya Bawean hasil adopsi dari seni-budaya rumpun Sumatera, yang jelas dapat dilihat dari kometmen dalam melestarikannya, seni-budaya Bawean adalah kekayaan khasanah Bawean tersendiri, karena kecirikhasannya dapat dilihat dari nilai-nilai seni dan budaya Bawean yang sesuai dengan roh kultur masyarakat yang islami.
Seperti kata pepatah: “ lain lubuk lain pula ikannya”, dimana keaneka ragaman seni dan budaya Bawean, bila terus dijaga, dikembangkan dan dilestarikan tentunya akan menumbuhkan suatu nilai yang baru yaitu nilai ekonomi yang sangat tinggi, apalagi saat nanti Bawean sudah menjadi sentral wisata di Propinsi Jawa Timur. Tentunya akan membuka peluang lapangan kerja baru sehinga akan mampu mengurangi pengangguran dan beban pemerintah di sektor lapangan tenaga kerja, bila dikelola secara profesional, terorganisir dan mempunyai kekuatan hukum di mata dunia, maka seni-budaya Bawean yang selama ini sudah dilestarikan tidak bisa akan dicaplok (diklaim) oleh bangsa atau negara manapun.
Mengenang kilas balik dari pertunjukan “Molod Bawean Meretas Kota Berentang Banua”, membentangkan kenyataan bahwa para warga Bawean senantiasa menjunjung nilai-nilai kebaweanan yang satu meskipun berangkat dari keberagaman. Seperti yang terungkap dalam narasi pertunjukan, terlihat kultur masa lampau Bawean’ yang penuh ragam warna kebudayaan. Tentu, ragam warna tersebut tidak boleh hilang begitu saja. “Bawean memiliki keragaman budaya perilaku yang luar biasa. Semuanya merupakan kekayaan yang tak ternilai harganya. Kita sebagai warga Bawean harus memelihara keragaman budaya tersebut sebagai rasa cinta kita kepada tanah air Bawean. Namun sangat disayangkan seperti pergerakan perjuangan paguyuban yang mengatasnamakan ‘Bawean Serambi Madina’ yang hanya seumur jagung saja, padahal betapa mulianya dalam visinya, yang ingin menjadikan tatanan pergaulan kehidupan masyarakat Bawean yang islami, setidak-tidaknya harus ada pengawalan yang konsisten terhadap rencana pencitraan dalam berpakaian, agar ke depan terwujud konsistenitas kehidupan bermasyarakat Bawean yang berbusana Islami.
Sesungguhnya, pengabaian terhadap ‘penyesuaian’ tersebutlah yang kerap menggagalkan unsur tradisi untuk tetap diterima masyarakat. Tidak dapat dihindari, pelestari budaya harus pandai-pandai menarik-ulur keteguhan unsur leluhur dan tuntutan kemodernan. Tarik-ulur ini harus terus dilakukan. Namun, risiko bahwa keaslian tradisi bakal terkikis harus tetap diperhitungkan. Yang pasti, penyesuain semacam ini harus dieksplorasi dalam produk-produk pelestarian jati diri Bawean yang islami, termasuk produk kesenian. Kebudayaan asli Bawean dimana kebudayaan ini belum terjamah oleh kebudayaan asing merupakan keharusan yang tetap kita pertahankan karena ini merupakan suatu kebanggaan atau kekayaan budaya Bawean.
Seiring dengan kemajuan jaman, tradisi dan kebudayaan Bawean yang pada awalnya dipegang teguh, dipelihara dan dijaga keberadaannya oleh setiap lintas masyarakat, kini gaungnya sudah mulai redup, yang lambat laun bisa saja menjadi punah. Banyak faktor yang menyebabkan budaya Bawean mulai dilupakan di masa sekarang ini, yaitu:
Pertama, Kurangnya kesadaran masyarakat. Kesadaran masyarakat untuk menjaga budaya Bawean masih terbilang minim. Masyarakat lebih memilih budaya luar yang dianggap lebih praktis dan sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini bukan berarti budaya Bawean tidak sesuai dengan perkembangan zaman, tetapi banyak budaya luar yang tidak sesuai dengan kepribadian Bawean telah mengkontaminasi keberadaan seni-budaya Bawean, seperti penampilan pelakunya yang mengobral aurat. Budaya Bawean juga dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman, asalkan masih tidak meningalkan ciri khas dari budaya tersebut.
Kedua, Minimnya komunikasi budaya. Kemampuan untuk berkomunikasi sangat penting agar tidak terjadi kesalahpahaman tentang budaya yang dianut. Minimnya komunikasi budaya ini sering menimbulkan perselisihan antarkepentingan yang akan berdampak turunnya ketahanan budaya Bawean. Masyarakat harus kometmen dalam mengedepankan hiburan yang berupa seni-budaya Bawean. Perlu untuk diapresiasi dan mengacungi jempul kepada masyarakat Dusun Menara Desa Gunungteguh yang konsisten dalam mengawal kemeriahan prosesi adat mantenan yang hanya memperbolehkan mengadakan hiburan berupa seni-budaya Bawean saja.
Ketiga, Kurangnya pembelajaran budaya. Pembelajaran tentang budaya, harus ditanamkan sejak dini. Namun sekarang ini banyak yang sudah tidak menganggap penting mempelajari budaya lokal Bawean. Padahal melalui pembelajaran budaya, kita dapat mengetahui pentingnya budaya Bawean dalam membangun budaya bangsa serta bagaimana cara mengadaptasi budaya lokal Bawean di tengah perkembangan zaman.
Kesadaran masyarakat untuk menjaga budaya Bawean perlu terus ditingkatkan. Kadangkala masyarakat lebih memilih budaya luar yang lebih praktis dan sesuai dengan perkembangan zaman. Budaya Bawean kadang dianggap tidak sesuai dengan zaman (kadang ada yang menganggap klenik). Pembelajaran tentang budaya, perlu ditanamkan sejak dini. Melalui pembelajaran budaya, dapat diketahui pentingnya budaya Bawean dalam membangun budaya bangsa serta bagaiman cara mengadaptasikan budaya Bawean di tengah perkembangan zaman. Mari berintropeksi diri dalam menata tatanan berbagai lini kehidupan dalam menyongsong dikukuhkannya Bawean sebagai pulau wisata. Semoga kultur dan seni-budaya Bawean yang berlabelkan islami tetap lestari dijaga dan menjadikan ketahanan dalam menjual wisata Pulau Bawean.