Media Bawean, 2 Juni 2013
Membangun Mentalitas Guru Maju
Guru
Oleh : Sugriyanto
Terkesima berat dengan statemen Kaisar Hirohito Jepang tatkala dua kota ternama yakni Hirosima dan Nagasaki diluluh-lantakkan dengan bom atom nuclear (baca: nuklr) oleh sekutu. Rumah dan bangunan rata dengan tanah. Radiasi nuklir terus mengalami perambatan. Hampir 73.000 penduduk kota itu hangus berkeping-keping akibat kedahsyatan dari bom atom. Hirosima dan Nagasaki menjelma menjadi kota mati yang menyisakan sebuah tragedi kemanusiaan. Meminjam istilah musisi legendaris John Lenon seolah-seolah hancurnya kedua kota di Jepang itu bagaikan syair dalam lagunya “The End of The World”.(baca: dunia telah berakhir). Kenyataan tidak demikian bahwa warga negara Sakura atau negeri matahari terbit itu justru menganggap meledaknya bom atom kiriman sekutu (Amerika dkk, dan kroni-kroninya) sama sekali tidak menyurutkan semangat berjibaku bagi Sang Kaisar. Gelora semangat dalam benak Kaisar Hirohito terbesit pertanyaan yang bersifat monumentalis “Masih adakah guru yang tersisa?” Bukan tentara atau yang lainnya. Hal ini sebagai indikator betapa berati dan pentingnya keberadaan guru di kala Jepang mengalami keterpurukan akibat “Litle Boy” dan “Fatman” (nama dua jenis bom atom yang diledakkan di Hirosima dan Nagasaki) pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945. (Rudi Darmawan : 2005: 22-23).
Lain Jepang, lain Indonesia, lain pula Pulau Bawean. Berbicara tentang keberadaan guru di Indonesia mengalami perjalanan yang panjang dan menukik serta berliku. Sosok guru yang semula panutan dan anutan sedikit mengalami pergeseran atas adanya strategi yang dianggap paling up to date atau bernuansa kebaruan yang harus diikutinya. Tindak-tanduk anak didik di sekolah selalu bercermin kepada perilaku Sang Guru. Bahkan kekuatan menanamkan keyakinan posisi guru acap kali lebih “dipercaya” tinimbang pendapat orang tuanya sendiri. Sampai orang tuanya yang berprofesi sebagai dosen pun tetap anak didik membenarkan ajaran gurunya. Terkadang tidak perduli dengan pendapat orang tuanya yang nyata-nyata benar hanya beda jalan dalam sebuah pekerjaan rumah tetapi tetap Pak Guru dan Bu Guru yang benar. Ini menandakan betapa kuat pengaruh guru dalam membangun mentalitas dan kepercayaan terhadap anak didiknya. Sungguh sayang tatkala terdapat cela atau kesalahan dari anak didik muaranya pasti ke guru. Sebagaimana ungkapan paten yang tidak boleh diamandemen samapai saat ini yakni “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Artinya segala perilaku baik buruk anak didik tentu meniru perilaku gurunya. Semua ini merupakan konsekuensi logis dari sebuah tanggung jawab yang harus dipikul di pundak seorang guru. Seperti untaian lagu dari Iwan Fals berikut ini.
Guru Omar Bakrie
Tas hitam dari kulit buaya
“Selamat pagi”, berkata bapak Omar Bakrie
“Ini hari aku rasa kopi nikmat sekali!”
Tas hitam dari kulit buaya
Mari kita pergi, memberi pelajaran ilmu pasti
Itu murid bengalmu mungkin sudah menunggu
Laju sepeda kumbang di jalan berlubang
Slalu begitu dari dulu waktu jaman Jepang
Terkejut dia waktu mau masuk pintu gerbang
Banyak polisi bawa senjata berwajah garang
Bapak Omar Bakrie kaget apa gerangan
“Berkelahi Pak!” jawab murid seperti jagoan
Bapak Omar Bakri takut bukan kepalang
Itu sepeda butut dikebut lalu cabut, kalang kabut, Bakrie kentut cepat pulang
Busyet...standing dan terbang
Reff.
Omar Bakrie...Omar Bakrie pegawai negeri
Omar Bakrie...Omar bakrie 40 tahun mengabdi
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati
Omar Bakri...Omar Bakri banyak ciptakan menteri
Omar Bakrie...profesor doktor insinyur pun jadi
Tapi mengapa gaji guru Omar Bakri seperti dikebiri
Omar Bakrie...Omar Bakrie pegawai negeri
Omar Bakrie...Omar bakrie 40 tahun mengabdi
Jadi guru jujur berbakti memang makan hati
Omar Bakri...Omar Bakri banyak ciptakan mentri
Omar Bakrie...bikin otak orang seperti otak Habibie
Tapi mengapa gaji guru Omar Bakri seperti dikebiri
(Iwan Fals)
Di awal “ramai-ramainya” pelaksanaan sertifikasi bagi guru hampir setiap kegiatan berupa pendidikan dan pelatihan (diklat) diburu walau sampai “keujung dunia” sekali pun. Tidak perduli dengan berbagai macam cara untuk mendapatkan selembar kertas sertifikat sebagai bukti autentik dalam pemenuhan target portofolio. Tak heran bila guru-guru kala itu adu “ketebalan” berkas supaya lolos dan lulus sertifikat via portofolio. Gencarnya proses pensertifikasian cara portofolio membikin banyak pihak menjelma menjadi makhluk yang cerdas dan pintar membaca keadaan dengan “menjual” kegiatan atas nama pendidikan dan pelatihan yang out put-nya masih tanda tanya besar. Pernah sesekali di lembaga tertentu di Bawean mengadakan diklat yang pesertanya hampir mencapai 800 guru dengan ongkos diklat secara akumulasi perolehan dananya cukup fantastis selama dua hari dengan hasil belum signifikan bahkan banyak di antara peserta yang mengalami kegagalan mengikuti sertifikasi jalur portofolio. Guru yang lolos dan lulus dapat dihitung dengan jari sebelah tangan. Efektif dan berfaedahkah diklat semacam itu bagi pengembangan profesionalitas seorang guru? Jawabnya ada pada guru masing-masing.
Tertarik dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 74 tahun 2008 tentang guru pada bagian ketigabelas yakni Pengembangan dan Peningkatan Kualifikasi Akademik, Kompetensi dan Keprofesian Guru pasal 46 berbunyi sebagai berikut.
“Guru memiliki kesempatan untuk mengembangkan dan meningkakan kulaifikasi Akademik dan Kompetensinya serta untuk memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.” Memang merupakan hak-hak guru sebagai sosok pendidik untuk mendapatkan kemudahan dalam pengembangan diri dan profesinya. Alangkah elegannya pola-pola pemerintah dengan memberikan ruang dan kesempatan kepada guru untuk terus mengembangkan diri dan profesinya melalui berbagai usaha yang dananya bersumber dari keuangan negara dalam takaran anggaran belanja pendidikan nasional 20 % dari dana APBN. Sungguh amat sempit pemikiran bila anggaran sebesar itu hanya disasarkan pada pengembangan pembangunan infrastruktur semata. Tak kan (baca: kata orang Malaysia) dana sebesar itu tidak ada untuk dana pengembangan diri dan profesionalitas guru?
Selama ini guru secara mandiri kerap kali mengikuti pelatihan dan sejenisnya berdasarkan cost yang dirogoh dari kocek peribadinya. Memang pihak tertentu sungguh pintar membaca pasar kaitannya dengan hangat-hangatnya guru baru menerima berbagai macam pencairan tunjangan dijadikan kesempatan atau peluang dalam kesertaan guru ikut pelatihan walau dengan bayar relatif mahal secara mandiri. Hal ini menandakan guru terus dan selalu dalam intaian. Terkadang pihak-pihak yang melaksanakan pelatihan dan sejenisnya dengan daya dan upaya serta aneka cara bagaimana kaum pendidik (guru) terjaring ikut dengan berbagai bentuk rangsangan yang kerap kali berada di luar akal sehat seorang guru. Guru-guru di Sekolah Dasar dijadikan sasaran cakupan dan “cokokan” agar mengikuti pelatihan dengan berbagai dalih. Seperti kejadian teranyar bahwa guru yang ikut pelatihan jika juara satu dalam kegiatan pelatihan itu akan dikirim ke Gresik atau ada juga yang “bermadzhab” lebih sesat lagi bahwa jika ada guru yang tidak ikut akan disuruh ikut ke daratan Gresik untuk pelatihan sendiri. Astaga kakak! Sebagai bentuk anjuran sungguh tidak “ellok” bila sebuah pelatihan atau apa pun bentuknya memakai trik atau cara “lagu lama” untuk menggaet peserta pelatihan. Bagi seorang guru pengembangan profesionalitas diri merupakan sebuah kebutuhan bukan keterpaksaan. Apalagi di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 74 tahun 2008 tentang Guru pada pasal 5 ayat (5) di sana ditegaskan “Pemerintah dan/ atau Pemerintah Daerah menyediakan anggaran untuk pengembangan dan peningkaan kualifikasi akademik dan kompetensinya sebagaimana dimaksud pada pasal (1), ayat (3), dan ayat (4).
Wal hasil, guru sudah bisa berhemat dan tidak selalu menjadi guru Omar Bakrie yang gajinya selalu dikebiri (Iwan Fals).
Sungguh aneh tetapi nyata bahwa pelatihan yang diselenggarakan kurang lebih selama 3 (tiga) jam berseliweran rumor sertifikatnya akan dijadikan lampiran dalam kenaikan pangkat. Alasan yang cukup primordial dan mengada-ada (bid’ah) dalam dunia Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan). Namun, dengan tidak mengurangi kepercayaan terhadap penyelenggaraan pelatihan atau apapun bentuknya ada benarnya juga bahwa di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 ayat (2) dikatakan bahwa kegiatan untuk memperoleh angka kredit jabatan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh guru sekurang-kurangnya melalui:
a. Kegiatan kolektif guru yang meningkatkan kompetensi dan / atau keprofesian guru;
b. Pendidikan dan pelatihan (Diklat);
c. Pemagangan;
d. Publikasi ilmiah atas hasil penelitian atau gagasan inovatif;
e. Karya inovatif;
f. Presentasi pada forum ilmiah;
g. Publikasi buku teks pelajaran yang lolos penilaian oleh Badan Standar Nasional Pendidikan;
h. Publikasi buku pengayaan;
i. Publikasi buku pedoman guru;
j. Publikasi pengalaman lapangan pada pendidikan khusus dan / atau pendidikan layanan khusus dan / atau
k. Penghargaan atas prestasi atau dedikasi sebagai guru yang diberikan oleh pemerintah atau pemerintah daerah.
Ada baiknya bila diperhatikan kembali sebuah statemen bermutu dari Kepala Badan
Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Surabaya yakni Yayuk Eko Agustin dalam tajuk berita
Pangkat Tinggi Belum Tentu Jabatan Tinggi dengan retorika logis sebagai berikut.
“Tingginya pangkat atau golongan bukan satu-satunya parameter untuk menentukan jabatan bagi pegawai. Bahkan, kata Yayuk, pangkat adalah parameter terakhir untuk menentukan jabatan. Menurut dia, sebelum menduduki jabatan strategis, seorang pegawai akan dinilai dari segi prestasi, dan lainnya. Setelah semua terpenuhi baru pangkatnya dilihat.( Jawa Pos : 20 April 2012).
Jadi, cukup realistis dan tidaklah berlebihan usaha yang dilakukan Bapak Bupati Gresik Dr. Ir. H. Sambari Halim Radianto.ST. M.Si. untuk melelang jabatan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau pejabat pada jenjang eselon I dan II demi kemajuan pemerintah Kabupaten Gresik melalui jalur fit and propertest. Sama sekali bukan tendensi politis atau “usaha bersih-bersih” dari pemerintahan baru. Masih banyak atasan yang kalah pintar dengan bawahannya. Langkah tersebut juga bukan mengekor pada gerakan gubernur DKI melainkan tuntutan untuk kemajuan dan prestai Gresik (Media Bawean: 29 Mei 2013).
Bagaimana esensi dan urgensi dari pelaksanaan Pendidikan dan pelatihan di negara lain? Mari jelajahi bersama beberapa negara yang melaksanakan program sejenis sebagai bahan komparasi agar para guru di Indonesia atau di kabupaten Gresik khususnya di Pulau Bawean memiliki wawasan yang tidak terlalu menyakitkan dan mengecewakan sebagai abdi negara (PNS) selama ini. Perlu kiranya dikutip utuh tulisan dari Muchlas Samani dkk dalam bukunya yang berjudul “Mengenal Sertifikasi Guru di Indonesia” pada Program Pengembangan Profesionalitas Guru (2006: 33-34) dikatakan bahwa setelah guru bekerja, tentu diperlukan upaya untuk peningkatan profesionalitasnya. Kedelapan negara yang distudi, semuanya memiliki program untuk pembinaan guru. Di Amerika serikat setiap guru mengikuti workshop atau program pembianaan dalam beberapa hari, dalam satu tahun. Pada umumnya program tersebut berisi kurikulum dan standar kelulusan, peningkatan penguasaan materi ajar dan model-model pembelajaran yang mutaakhir, sistem evaluasi pembelajaran, dan pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran.
Di Jepang dan Korea Selatan pengembangan profesionalitas guru ditangani oleh provinsi / negara bagian dan kabupaten. Di Jepang dan Korea Selatan rata-rata guru mengikuti workshop sekitar 6 hari pertahun untuk pengembangan profesionalitas mereka. Di Australia bagian selatan, guru rata-rata mengikuti pengembangan diri sekitar 30 jam pertahun. Di Inggris, guru didorong (bukan ditekan atau dipaksakan) untuk mengikuti pengembangan profesionalitas selama sekitar lima hari kerja dengan biaya dari pemerintah, di Singapura selama 100 jam kerja, dan di Belanda selama satu bulan.
Di beberapa negara, program tersebut bukan merupakan keharusan, misalnya di Hongkong dan Australia hanya guru yang ingin naik jenjang yang ikut pengembangan diri. Kalau di Pulau Bawean sungguh luar biasa dengan waktu kurang lebih 3 jam mampu menghasilkan energi positif yang berdampak pada peningkatan mutu bukan sekadar formalitas semata. Semoga pengalaman yang telah berlalu menjadi guru utama untuk kemajuan ke depan. Kesadaran untuk terus mengembangkan profesionalitas diri menjadi modal utama. Ke depan sudah tidak ada lagi elegi seorang guru laksana “kerbau” dicocok hidung alias di-tongar atau laksana barisan bebek dihalau sang peternak kemana arah hendak pergi. Jika masih ada yang demikian adanya separuh roh kita hilang yakni tidak adanya pikiran kritis dan kreatif. Pantaslah jika murid-murid dan warga di Jepang berucap Arigato Sensei yang artinya Terima Kasih Bapak dan Ibu Guru. Mari kita bangun bersama mentalitas guru yang maju. Antara Jepang dan Pulau Bawean sama-sama Pulau Matahari Terbit hanya beda penghargaan terhadap Sang guru. Cloteh: Sakukurata, Takasih mura. Haik!