Media Bawean, 6 Juni 2013
Oleh : Sugrianto
Oleh : Sugrianto
Sebelum penelusuran lebih jauh akan peristiwa Isra’ Mi’raj Rasulullah Muhammad SAW perlu kiranya dipaparkan istilah dari kata isra’ yang dikutip dari Kamus Kontemporer Arab-Indonesia yang ditulis oleh Atabik Ali dan Ahmad Zundi Muhdlor terbitan Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta cetakan ke dua tahun 1997 mencantumkan kata “isra’-sara lailan” artinya berjalan di malam hari dan kata “asra-sayyara lailan” artinya meng-isra’-kan atau menjalankan di malam hari. Sedangkan istilah kata “mi’raj” berarti trap atau tangga dengan bentuk tunggalnya “almi’raj” berarti kenaikan nabi di malam hari. Jika diartikan secara umum istilah kata “isra’ mi’raj” berarti kurang lebih adalah kisah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Makkah Al-Mukarramah menuju Madinah Al-Munawwarah yang dilanjutkan naik ke sidratul munthaha (penghabisan) atau langit ke tujuh. Peristiwa maha dahsyat ini oleh Zainal Arifin Abbas dalam bukunya berjudul “Peri Hidup Muhammad Rasulullah S.A.W. Djilid I dicantumkan bahwa peristiwa isra’ mi’raj terjadi pada tahun 11 kenabian = 621 M (1955: 796).
Rasulullah Muhammad SAW. menerima wahyu pertama dan sebagai bukti kenabian berusia 41 tahun ( 40 tahun 6 bulan 8 hari) atau tanggal 17 Ramadhan tepatnya 6 Agustus 610 M (Zainal Arifin Abbas: 1955:497). Bila diakumulasikan dengan angka sebelas tahun dari kenabiannya berarti Rasulullah Muhammad SAW di-isra” mi’raj-kan oleh Allah SWT memasuki usia sekitar 52 tahun. Bila dihitung dengan menggunkan almanak Masehi peringatan isra’ mi’raj yang jatuh pada tanggal 6 Juni 2013 mendatang berarti memasuki peringatan yang ke 1392. Perhitungan ini sebelum terjadinya hijrah Rasulullah Muhammad SAW. dari Mekkah ke Madinah karena itu peristiwa isra’ mi’raj tidak mencantumkan tahun Hijriyah tetapi menggunakan tahun Masehi sebagaimana kelahiran Beliau (12 Rabiul Awal 570 M (pada tahun fiil atau tahun gajah). Kerap kali kaum muslimin hanya tahu dan mendengar setiap tanggal 27 Rajab diperingati hari Isra’ Mi’raj.
Kemenarikan dalam peristiwa yang banyak menyedot energi (pikiran, otak, akal) yang terkadang berbenturan dengan iman atau keyakinan seseorang tentang jasad atau roh Rasulullah Muhammad SAW. yang diperjalankan bukan menjadi persoalan substansial atau utama dalam tulisan ini. Justru usaha sadar akan esensi tarekh atau sejarah Islam yang nampaknya secara perlahan akan memudar tergerus kemajuan zaman dan segala kerepotan hidup yang mejadi prespektif. Tentang peristiwa isra’ mi’raj yang bersifat debatabel mengenai jasad atau roh Rasulullah Muhammad SAW yang diperjalankan merupakan suatu khilafiah dalam memperkaya wawasan berpikir dan benalar. Dengan tidak atau tanpa skeptis lagi bila dinukilkan ayat Al-Qura’an yang menegaskan tentang peristiwa yang maha dahsyat itu adalah sebagai berikut.
“Maha suci Allah SWT,yang telah memperjalankan Hamba-Nya pada suatu malam dari Al-
masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami
perlihatkan dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.Sesungguhnya Dia (Allah SWT) adalah
Maha mendengar lagi Maha Melihat (QS Al-Isra’: 1).
Gampangannya, bila Nabi Adam, AS dan Ibu Hawa yang semula mendiami surga karena peristiwa memakan buah khuldi (buah keabadian) itu tidak rumit atau ruwet untuk diturunkan ke dunia atau bumi fana ini apalagi Rasulullah Muhammad SAW yang namanya sudah dipersandingkan dengan nama Allah di tiang arsy sebagai kalimat tauhid “Lailahaillallah Muhammadurrasullah” tidaklah mustahil bagi Allak dengan kehendak dan kuasanya untuk dinaikkan atau di-mi’raj-kan (Ibnu Katsir).
Tidaklah berlebihan pula bila dalam tulisan ini dicantumkan pula syair lagu yang membicarakan tentang kisah perjalanan isra’ mi’raj Rasulullah Muhammad SAW sebagai berikut.
Perjalanan Baitul Maqdis
Kuda itu (buraq) telah ditambatkan
Di luar masjid paling jauh ke utara
Malam pun berselubung di atas terjal
Dinding gapura
Di atas Betlehem yang pulas
Ibrahim menyilakan lelaki itu
Memimpin ibadah sholat dua rakaat
Seluruh Nabi dan Rasul bershaf-shaf
Dalam jamaah rohaniyah
Meluruh abad demi abad
Dan berangkatlah Muhammad
Diapit Jibril dan Mikail
Sebagai pelengkap atau penyempurna atas perjalanan isra’ mi’raj Rasulullah Muhammad SAW. perlu juga dinukilkan kisahnya yang tertera dalam kitab Terjemah Maulid Al-Barzanji sebagai berikut.
“Kemudian beliau SAW, diisra’kan dengan jiwa dan raganya, dalam keadaan jaga dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.Dan dimi’rajkan ke langit berlapis tujuh. Di langit pertama beliau bertemu dengan Nabi Adam, AS. Yang telah diagungkan kemuliaan dan ketinggian derajatnya. Di langit kedua beliau bertemu dengan Nabi Isa, AS bin Maryam seorang gadis yang suci dari perbuatan noda, lagi bertakwa kepada Allah Ta’ala. Dan di sana juga bertemu dengan Nabi Yahya, AS, saudara sepupu Nabi Isa, yang ketika alim sejak kecil. Di langit ketiga, beliau bertemu dengan Nabi Yusuf, Nabi yang sangat elok dan baik hati. Di langit keempat, beliau bertemu dengan Nabi Idris, Nabi yang ditinggikan derajatnya di hadapapan Allah Ta’ala. Di langit kelima, beliau bertemu dengan Nabi Harun, Nabi yang amat disukai oleh kaum bani Israil. Di langit keenam, beliau bertemu dengan Nabi Musa, nabi yang ahli munajat kepada Allah Ta’ala dan pernah berbicara langsung dengan-Nya. Di langit ketujuh, beliau bertemu dengan Nabi Ibrahim, AS, nabi yang selamat hatinya dan yang mempunyai sebutan baik (halilurrahman).Nabi yang dijaga oleh Allah Ta’ala dari sengatan api namrudz. Kemudian Rasulullah Muhammad SAW dinaikkan ke Sidratil Muntaha, sehingga beliau dapat mendengarkan goresan kalam di Lauhil Mahfuzh. Sampai kepada tempat yang dinamakan mukafahah, di mana beliau SAW. Menghadap langsung dan munajat kepada Allah. Dengan demikian, beliau SAW. dapat memandang-Nya dengan mata kepalanya sendiri apa yang dapat dilihatnya dari sifat ketuhanan-Nya. Dan terbentang baginya hamparan kasih mesra pada tempat kenyataan Dzat-Nya. Dan Allah Ta’ala mewajibkan kepadanya dan kepada ummatnya melakukan sholat lima puluh kali (waktu). Kemudian turunlah kemurahan Tuhan, akhirnya dikurangi hingga hanya tinggal lima kali (waktu) yang wajib diamalkan. Namun, pahalanya tidak berkurang dari pahala sholat lima puluh kali, sebagaimana apa yang telah dikehendaki dan dihukumkan Allah Ta’ala pada zaman azali dahulu kala. Kemudian beliau SAW. pulang kembali pada malam itu juga sedangkan orang yang mau membenarkan peristiwa isra’ mi’rajna itu hanya Abu Bakar Shiddiq. Dan orang-orang yang mempunyai pikran yang sehat. Sebaliknya, kaum Quraisy sendiri mendustakannya dan bahkan orang yang disesatkan dan ditipu oleh syetan makin menjadi murtad.”(KH. Ahmad Said Asrori:84-90).
Sungguh luar biasa sahabat Abu Bakar yang mantab keyakiannya atas peristiwa isra’ mi’raj Rasulullah Muhammad SAW. Beliau sebagai sahabat Rasulullah Muhammad SAW menjadi pioner atau orang pertama yang membenarkan peristiwa isra’ mi’raj itu. Penyandangan gelar kepada sahabat Abu Bakar r.a sebagai “As-Shiddiq” (pembenar) berawal dari peristiwa isra’ mi’raj itu. Berbeda dengan salah seorang yang murtad setelah mendengar kisah perjalanan isra’ mi’raj adalah Muth’im yang dengan terang-terangan berkata dalam buku Peri Hidup Muhammad Rasulullah SAW. yang ucapannya cukup pedas dan menafikan.
“Ya Muhammad, sebelum ini pekerjaan tuan agak mudah djuga bagi kami, selain dari perkataan tuan hari ini saya menyaksikan bahwa tuan berdusta kami pukul hati unta sebulan baru sampai ke Baitul Maqaddas dan sebulan pula kembalinya. Tuan mengatakan sudah mendatanginya dalam satu malam saja. Demi lata dan Al-Uzza, saya tidak dapat membenakan tuan.”(Zainal Arifin Abbas: 1955). Termasuk yang mengolok-olok terhadap peristiwa isra’ mi’raj adalah paman Nabi sendiri bernama Abu Lahab. Setelah pamannya sendiri (Abu Lahab) melakukan testimoni atas kepergian Beliau dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang disaksikan oleh kaum Quraisy dengan berbagai macam pertanyaan terkait dengan pengalaman yang dialami Nabi mereka tercengan karena Rasulullah Muhammad SAW mampu menjawab dengan sempurna segala rupa pertanyaan yang dicercakan. Namun, karena pintu hidayah belum terbuka untuk pamannya sendiri dan kaum Quraisy maka mereka tetap dalam kesesatan.
Sungguh bukanlah hal yang mustahil bila dalam tulisan ini penulis berusaha mencoba menguak tabir rahasia di balik peristiwa yang banyak menyita perhatian umat manusia yakni peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW dalam perspektif atau sudut pandang tarekh Islam. Selama ini nampak adanya fenomena menipisnya semangat keislaman dalam mempelajari dan mendalami tarekhnya sendiri. Belajar tarekh Islam amat penting dalam melestarikan dan membumikan fondasi peletakan sendi-sendi ajaran Islam yakni shalat dan lainnya.Bisa dibuktikan dengan contoh yang amat sederhana bahwa kebanyakan generasi penerus (baca: Bawean-karotosan) saat ini sudah tidak peduli bahkan tidak tahu menahu dengan nama-nama bulan dalan tahun Islam Hijriyah (Muharram, Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sakban, Ramadhan, Sawal, Dul Qaiddah, Dzul Hijjah). Kalau sudah menjelang penentuan awal Puasa dan Idul Fitri atau 1 Syawal hampir semua pihak pasang badan mulai ramai memperdebatkan, sedangkan dalam keseharian jarang bahkan hampir sama sekali tidak dibicarakan. (lihat dalam sidang isbath). Sungguh amatlah ironis umat Islam yang besar memiliki pemikiran yang kerdil. Atau mungkin orang tua-tua yang kental dengan budaya lisannya tidak pernah berbagi atau menitipkan petatah petitih tertulis yang dapat menjadikan generari sekarang paham dan mengerti hakikat penghitungan penanggalan dalam tahun Hijriyah.
Peristiwa maha dahsyat yang dialami baginda Muhammad SAW dalam perjalan sucinya dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha lalu menuju langit ke tujuh (sidratul munthaha) mengemban misi untuk menyederhanakan rakaat shalat dari lima puluh waktu dalam sehari semalam menjadi lima waktu. Sungguh hal ini sebagai suatu bentuk “dispensasi” atau kemurahan Allah SWT terhadap umat Nabi Muhammad SAW dalam kewajiban menjalankan perintah ibadah sholat. Dapat dibayangkan betapa mampat rentang waktu yang tersedia sehari semalam hanya 24 jam harus dibagi dengan waktu sholat 50 waktu dalam sehari semalam. Andai saja menggunakan sistem absensi, sholat 5 waktu saja masih terdapat keterangan sakit, izin, bahkan alpha atau tanpa keterangan berlimpah apalagi dengan kewajiban sholat 50 waktu dalam sehari semalam. Namun, pada kajian kali ini tidak akan membahas lebih jauh tentang sholat secara hukmiyah. Kajian kali ini sebagai fondasi utama yang menerangkan tentang hambanya (Muhammad SAW) yang telah diperjalankan di malam hari. Sungguh ayat tersebut di atas (QS. Al-Isra’) menegaskan batapa besar keagungan Allah SWT dan betapa luar biasanya peristiwa itu yang akan menguji posisi keimanan umat manusia karena secara akal seolah-olah amat imposibel untuk dilakukan manusia kebanyakan kecuali Rasulullah Muhammad SAW yang teramat diistimewakan. Peristiwa diperjalankannya Rasulullah Muhammad SAW dalam isra’ Mi’raj sebagai tengara tanda-tanda umat Islam akan menjadi besar.
Pertanyaan unik yang menyelinap di setiap benak kaum muslimin adalah rasa ingin tahu kapan shalat itu diwajibkan bagi ummat Muhammad. Di kala memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW sering mendengar untaian hadits yang artinya bahwa Nabi diutus sesunggunya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia bukan shalat yang diwajibkan. Mungkin ada benarnya pandangan yang mengatakan bahwa sebelum peristiwa isra’ mi’raj posisi shalat masih berhukum tidak wajib (sunnat). Perubahan lima puluh waktu menjadi lima waktu pun bukan sudah dikerjakan sebelumnya melainkan rencana Allah Ta’ala yang sudah tertuang dalam kitab di Lauhil Mahfuzd. Pandangan ini sebagai wawasan dalam sudut pandang sejarah atau tarehk Islam.
Rahasia ilahi tentang peristiwa isra’ mi’raj ini banyak mengandung hikmah yang dapat menyibak tabir rahasia. Ada beberapa latar belakang yang melandasi kenapa Rasulullah Muhammad SAW harus segera di-isra’ mi’raj-kan (sudah dinaskan) dalam Al-Quranul Adzim dalam suarat Al-Isar’ ayat 1. Di balik semua itu ada beberapa hal yang mendasari:
1. Wahana penghibur bathin Rasulullah Muhammad SAW yang teramat sedih alias “ngestawa” atau “ngastabe” atas dua kejadian yang memilukan. Di tengah gencarnya kebesaran syi’ar Islam beliau ditinggal oleh pamannya sendiri yang amat menyayangi dan membela mati-matian yakni Abu Thalib. Kesedihan semakin menumpuk di benak beliau Rasulllah Mhammad SAW atas dipanggilnya istri terkasihnya yakni Siti Khadijah binti Khuwailid menghadap Sang Khaliknya. Termasuk menghibur rasulullah Muhammad SAW dalam perjuangannya yang penuh dengan serangan dan tantangan yang maha berat setelah ditinggal pulang ke rahmatullah oleh orang-orang terdekatnya.
2. Peristiwa isra’ m’raj juga sebagai barometer penguji keimanan seseorang atau sebagai bentuk penggeladahan bathin dalam rongga nurani untuk mempercayai atau tidak kejadian maha sahsyat itu. Di sinilah perang antara akal pikiran dengan iman dan keyakinan. Hidayalah yang akan menuntunnya.
3. Sebagai pengistimewaan kepada Rasulullah Muhammad SAW yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi-nabi sebelumnya. Tentu ini merupakan hak prerogatif Allah SWT untuk memanggil beliau menghadapnya. Sehingga mengenai keyakinan adanya alam gaib (surga dan neraka) yang termaktub dalam kitabnya bukan isapan jempol belaka. (pengalaman guru yang utama) dalam menguak tabir rahasia. Masih banyak hikmah yang rasanya tidak cukup untuk disingkap hanya dengan tulisan dalam lembaran ini.
Terakhir sekali sebagai sebuah sudut pandang dalam tarekh Islam tentang isra’ mi’raj yang terjadi pada tanggal 17 rajab 621 M memberikan inspirasi terhadap keberadaan sahalat, khususnya pahala shalat jama’ah 27 derajat menurut hadits (Bukhari, Muslim, Tirmidi, dan Nasa’i-At-Targhib) dalam buku Himpunan Fadhilah Amal oleh ustadz
A. Abdurrahman Ahmad dkk (2006:30) memiliki korelasikah dengan peristiwa Isra’ mi’raj yang terjadi tepat pada tanggal 27 Rajab? 27 versus 27. Artkel ini masih jauh dari kebenaran yang hakiki. Ibarat luasnya tarekh Islam tulisan ini tak ubahnya setetes air di lautan . Semakin merasakan tetesan air laut semakin pula rasa haus mendahaga untuk mencari tahu sejarah Islam lebih jauh. Wallahu a’lam bissawaf!