Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Size-Inggris, Saes-Bawean, Telusuri Asal Usul Kata Tinjauan Empiris

Size-Inggris, Saes-Bawean, Telusuri Asal Usul Kata Tinjauan Empiris

Posted by Media Bawean on Senin, 24 Juni 2013

Media Bawean, 24 Juni 2013

Oleh : Muhammad Zakki Ilham 

Setiap daerah memiliki kosa kata tertentu yang asalnya dapat ditelusuri berdasarkan kajian filologi (ilmu penelusuran berdasarkan naskah tua). Naskah yang dimaksud bisa berupa teks sejarah masa lampau atau peninggalan berupa artefak serta bentuk tulisan lainnya. Hampir setiap negara yang pernah hidup dalam hegemuni penjajahan akan menerima segala aspek yang dibawa oleh kaum penjajah baik aspek keagamaan, ekonomi, politik, sosial maupun kebudayaan. Kebudayaan secara luas dapat berupa beragam hasil cipta, karsa dan karya manusia. Termasuk bahasa itu sendiri merupakan manifestasi dari kebudayaan. Awal pemakaian bahasa oleh kaum penjajah masih mengalami pengadaptasian dengan bahasa daerah setempat. Hal ini dilakukan untuk menjalin komunikasi sebagai perantara (lingua franca) dalam propaganda atau usaha memperkenalkan maksud-maksud baru kedatangannya. Perlahan-lahan dalam kehidupan terjalin interaksi yang memungkinkan terjadinya akulturasi budaya antara budaya asing dengan budaya setempat. Termasuk masuknya kosa kata asing ke dalam bahasa daerah sebagai hasil kawin budaya (cultural merger).

Masuknya kata asing ke dalam bahasa daerah bukan sekenanya masuk melainkan melalui proses secara gradual. Menurut Imam Syafi’e dan Abdus Syukur Ghazali perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia diperkaya oleh serapan yang masuk dari berbagai bahasa asing , misalnya dari bahasa Ingris (imperialis kondang), Belanda, Jerman, Prancis dan Arab. Kata serapan itu masuk ke dalam bahasa Indonesia dengan empat cara yang lazim ditempuh, yaitu adopsi, adaptasi, penerjemahan, dan kreasi. Keempat proses penyerapan kata asing ke dalam bahasa Indonesia akan mudah dipahami bila didefinisikan satu-persatu agar mendapatkan kesepahaman yang sama.

1. Cara adopsi adalah penyerapan kata asing ke dalam bahasa Indonesia dengan mengambil bentuk dan makna secara keseluruhan. Kata supermarket, plaza, mall, hotdog, adalah contoh cara penyerapan adopsi. Kata tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia apa adanya. Betapa tidak nyamannya apabila kata hotdog diterjemahkan akan menjadi anjing panas padahal hotdog itu sejenis makanan yang terbuat dari daging sapi atau ayam. Justru inilah kata hotdog diadopsi ke dalam bahasa Indonesia berdasarkan bentuk dan maknanya semata.

2. Cara adaptasi adalah penyerapan kata asing ke dalam bahasa Indonesia dengan hanya mengambil makna dari kata asing itu, sedangkan ejaan atau cara penulisannya disesuaikan (diadaptasi) dengan ejaan bahasa Indonesia. Kata-kata seperti pluralisasi, akseptabilitas, maksimal, kado adalah contoh kata serapan adaptasi. Kata-kata tersebut mengalami perubahan dari bahasa asalnya (pluralization, acceptability, dari bahasa Inggris, maximaal, dari bahasa Belanda, dan cadeu Prancis).

3. Cara penerjemahan adalah proses penyerapan kata asing ke dalam bahasa Indonesia dengan mengambil konsep yang terkandung dalam bahasa asing itu, kemudian kata tersebu dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Kata-kata seperti tumpang tindih, percepatan, proyek rintisan, dan uji coba, adalah kata-kata yang lahir karena proses penerjemahan dari bahasa Inggris over lap, accelaration, pilot project, dan try out.

4. Cara Kreasi adalah proses penyerapan kata asing ke dalam bahasa Indonesia hanya mengambil konsep dasar yang ada dalam bahasa sumbernya, kemudian dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Meskipun sekilas mirip penerjemahan, namun cara kreasi tidak menuntut bentuk fisik yang sama. Seperti; berhasil guna= effective, ulang alik= shuttle dan sebagainya. (Depdikbud,1995:162-163). Jika kata asing tertulis dua kata maka setelah dikreasi ke dalam bahasa Indonesia tidak harus dua kata layaknya dalam proses penerjemahan.

Bagaimana dengan penyerapan kata asing ke dalam bahasa Malaju (Malaysia) dan bahasa Indonesia? Sudah lumrah negara yang menjadi penjajah atau imperialis akan menjajah segala bidang kehidupan. Termasuk interfensi atau gangguan ke dalam bahasa daerah jajahannya. Seringkali warga Malaysia untuk mengungkpkan rasa baik dikatakan dengan best. Bila tidak baik maka tak best yang artinya penutur Melayu (malaysia) menggunakan bahasa inggris. Untuk memperbaiki atau mereparasi sepeda motor atau sejenisnya yang rusak orang Malaju (Malaysia) mengatakan poyment (baca: pomen) atau Indonesianya servis. Apabila menjumpai seorang jejaka tampan warga Malaysia menyebut hand some (baca: hen sem) sedangkan orang Indonesia cukup mengatakan ganteng atau tampan saja. Bila menjumpai orang asing atau turis masuk ke negara Indonesia, warga Indonesia menyebut turis atau orang bule sedangkan warga malaysia menyebut mak sale. Beberapa contoh gambaran sekilas di atas seolah-olah yang terjadi pada warga malaysia dalam proses penyerapan kata asing lebih dominan cara adopsi sedangkan orang Indonesia lebih menggunakan cara penerjemahan.

Khazanah kosa kata dalam bahasa Bawean juga menyerap dari kata asing seperti dari Arab kata “La” dipakai dalam bahasa Bawean untuk menyatakan “tidak” dengan cara adopsi. Misalanya jika ada seseorang yang memberi sesuatu kemudian si pemberi menawarkan kepada penerima, penerima tidak mau akan mengatakan “La”. Sebaliknya kata “La” bisa berarti sudah dalam Bahasa Bawean. La tedung? Artinya sudah tidur? La ngakan? Artinya sudah makan? La asela? Artinya sudah bersila? La mate? Artinya sudah mati?Dan sebagainya. “La” yang demikian berasal dari bahasa lain, bukan dari bahasa Arab. Selain bahasa Arab bahasa Inggris juga memberi kontribusi terhadap kosa kata dalam bahasa Bawean. Seperti kata “On to” jika di artikan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia adalah menuju ke atas. Dalam bahasa Bawean menjadi “Ondhu” artinya apabila seseorang hendak mengambil atau mau menjatuhkan buah dari dahan dan rantingnya, maka dahan dan ranting itu dinaiki ke atas dan digoyang-goyang supaya buah jatuh. Apabila hendak memanggil orang untuk kemari dalam bahasa Bawean dikatakan “kanje” yang diserapa dari bahasa Inggris come here atau bacanya (kamhiye) melali proses adaptasi , entah karena pendengaran atau kecepatan mengucapkan atau dalam hal kemudahan penyebutan muncullah kata “kanje”. (fonim “e” pada kata “kanje” dibunyikan pepet seperti “e” pada kata “telah”).

Kontribusi kata dalam bahasa Bawean terhadap istilah dalam teknologi informatika juga banyak. Seperti kata “facebook” dalam bidang internet itu Bahasa Bawean sudah punya sejak zaman dahulu kala. Kata tersebut diambil dari kata “Pacebukan” yakni tempat mencuci tangan secara bersama-sama bergantian. Tak heran jika dalam kegiatan “face book”-an selalu mencari teman sebanyak-banyaknya (pertemanan). Termasuk kata undu atau dalam bahasa Bawean “ondhu” yang dalam bahasa Inggrisnya down load juga masih berkorelasi. Artinya apabila hendak mendown load berarti mengundu dari atas supaya jatuh ke bawah. Masuk akal tentang pemakaian kata dari bahasa asing yang bertimbal balik dengan bahasa daerah. Apabila jaringan internet lambat untuk pengaksesan atau penelusuran tentu menggunakan istilah lemut padahal dalam bahasa Bawean sudah punya yakni kata “lemmet” yang artinya lambat atau pelan. Dalam bahasa Jawa kata “lemmet” bisa bermakna makanan terbuat dari ubi kayu yang di dalamnya diberi gula merah dibungkus daun pisang menyerupai “lontong langsing” atau “lontong liliput” istilah Baweannya “paes-paes” ubi kayu.

Paling unik dan menarik setelah telusur demi lusur ditemukan kata yang hampir sama penggunaannya dalam bidang tertentu. Size dalam bahasa Ingris menjadi Saes kedalam bahasa Melayu (Malaysia) dan okoran dalam bahasa Bawean cukup nyambung dan mirip. Size ini biasanya digunakan dalam ukuran pakaian, baju, kaos, celana, seluar, sepatu, sandal, songkok dan lain-lain tidak jauh beda dengan saes yang dipakai dalam bahasa Bawean. Contoh: ukuran kecil dalam bahasa Inggris dilambangkan dengan huruf “S” dari kata “small”. Bahasa Bawean untuk ukuran kecil menggunkan simbol huruf “S” dari kata “serret” seperti di-skeng alias ukuran cekak. Seperti orang perempuan memakai rok panjang ukuran “S” akan “serpot” jalannya. Berjalan dengan tertatih-tatih karena rok panjang yang digunkan memang “serret”. Untuk ukuran menengah atau sedang dalam bahasa Inggris digunakan simbol “M” dari kata Medium. Untuk ukuran dalam bahasa Bawean sedang atau medium juga dilambangkan dengan huruf “M” dari kata moak (baca: bukan muak) artinya pas, tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar. Sehingga apabila ukuran “M” ini dipakai oleh seseorang kelihatan “maghes’maghes” karena pas. Tetapi kalau dipakai orang yang postur tubuh agak tinggi besar andai kata rok ukuran “M” pasti agak “mengkas” kelihatan seperti cacing takut tanah. Selanjunya untuk ukuran besar dalam bahasa Inggris dilambangkan dengan huruf “L” dari kata large artinya luas, lebar atau besar. Bahasa Bawean pun juga memiliki simbol yang sama untuk ukuran besar dengan simbol “L” dari kata lorbok artinya kebesaran atau “kedodoran”. Akibatnya jika ukran rok “L” dipakai orang yang postur tubuhnya agak pendek dan kurus akan kelihatan “landhung” atau “alendi-lendi” kain roknya mengusap debu atau jadi sapu jagat. Sedangkan untuk size atau ukuran sangat besar dalam bahasa Inggris disimbolkan dengan huru “LL” atau double “L” atau “XL”. Ke dalam bahasa Bawean “LL” yakni “lorbok bin lorka” sedangkan XL ukran ini huruf “X” terbaca sebagai angka Romawi yang artinya sama dengan angka sepuluh. Jadi, ukuran XL ke dalam bahasa Bawean menjadi (lorbok, landhung, lorka, Los-los, lopok, longger, lenggeng, loar, lor-lor, dan loas). Meminjam istilah panton Pak Bat’ul, S.Pd. warga Daun Sangkapura “Ngacepot ghulena merah, salah lopot nyo’on sapora.”

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean