Media Bawean, 3 Mei 2014
Tanggung jawab pembangunan karakter tak hanya terletak di bahu pemerintah, tetapi masyarakat semestinya juga turut serta.
Tanggung jawab pembangunan karakter tak hanya terletak di bahu pemerintah, tetapi masyarakat semestinya juga turut serta.
PEMBANGUNAN karakter menjadi fondasi dasar tercapainya tujuan pendidikan. Itu pula yang menjadi misi setiap pengajar muda, sebutan bagi sukarelawan program Indonesia Mengajar, saat dikirim ke sejumlah pelosok. Salah satu pengemban tugas tersebut adalah Wahyu Setiantoko, 24.
Pada Juni 2012 silam, ia dikirim sebagai pengajar muda ke Pulau Bawean, Jawa Timur, untuk bertugas selama setahun. Meski lokasinya relatif dekat dengan Pulau Jawa, kondisi pendidikan di sana terbilang memprihatinkan.
Masalah utamanya ada pada kualitas pendidikan, bukan pada fasilitas fisik.
“Aku bahkan menemukan kit peraga sains dari Jerman, komputer, laptop, LCD, proyektor, dan fasilitas lainnya. Perpustakaan pun sudah bagus dari segi fi sik dan isinya. Tapi, itu masih banyak yang terbungkus rapi dan tak tersentuh,” celoteh lelaki yang akrab disapa Koko ini kepada Media Indonesia di Jakarta, Rabu (30/4).
Latar belakang para guru di sana menjadi penyebabnya. Mereka kebanyakan adalah tenaga honorer yang diambil dari warga setempat dengan tingkat pendidikan mayoritas lulusan SMA.
Meski ada yang bertitel sarjana, kualitasnya diragukan. Pengalaman mereka mengoperasikan peralatan canggih masih minim sehingga peralatan itu dibiarkan saja tanpa pernah dicoba karena takut rusak.
Kondisi murid yang dihadapi tak jauh berbeda. Kebanyakan murid yang memang tinggal di dusun terpencil di atas gunung cenderung bersifat pemalu. Kesulitan berinteraksi diperparah dengan kemampuan berbahasa Indonesia yang minim.
Belum lagi persepsi orangtua yang tak jarang terlalu meremehkan anaknya sendiri. Para orangtua sering menganggap anak mereka bodoh, tak berprestasi, dan tak berbakat.
“Orangtua mereka berpandangan yang penting sekolah saja sampai lulus SD. Setelah itu, pergi ke Malaysia atau Singapura menjadi TKI. Ini mainstream banget di Pulau Bawean,” terangnya.
Persepsi para orangtua tak sepenuhnya salah. Mereka melihat banyak contoh dari para lulusan SD itu bisa pulang membawa kemewahan setelah bekerja menjadi TKI.
Padahal, ada warga Bawean yang bisa sukses karena jalur pendidikan, tetapi memilih untuk menetap di Jawa atau luar negeri dan tak kembali ke kampung halamannya sehingga warga tak punya bukti riil.
Berangkat dari temuan itu, Koko menyadari bahwa menanamkan motivasi positif adalah yang paling mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan.
Untung saja, para guru honorer dan kepala sekolah itu bersedia belajar dan terlibat dalam metode pembelajaran kreatif. Ia juga melibatkan sejumlah pejabat desa untuk turut serta dalam proses tersebut. Hal serupa juga berlaku bagi para murid. Terbukti, keterbatasan yang ada bisa teratasi dan bahkan mereka mulai berani berkompetisi.
“Murid-muridku yang hanya menjadi juara Olimpiade di tingkat kabupaten dan menjadi semifinalis Olimpiade Sains Nasional secara signifikan mampu menjadi motivasi bagi anakanak lain di dusunku. Orangtua juga jadi semangat memotivasi anaknya agar mencontoh muridku yang sukses menjadi juara tersebut,“ cetusnya bangga.
Sumber : Media Indonesia
Sumber : Media Indonesia