Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Maulid Nabi Mutaakhir Sudah "Apaccaliau"

Maulid Nabi Mutaakhir Sudah "Apaccaliau"

Posted by Media Bawean on Selasa, 05 Januari 2016

Oleh : SUGRIYANTO (Dosen STAIHA-Bawean)


Geram, gemes, bahkan menggelitik ( red: Bawean-guliyek ) dalam merespon dan menyikapi gaya pemuka kampung dalam memimpin dan mengambil keputusan terhadap rencana pelaksanaan peringatan Maulid Nabi sebagai tradisi khas yang dilakoni masyarakat Pulau Bawean. Hampir seluruh pemimpin kampung minim pengetahuan tentang sejarah dan latar belakang peringatan yang dianggap memiliki nilai-nilai kesakralan dan religi tersebut. Kerap kali yang digonjang-ganjingkan dalam rembug-rembug setiap menghadapi perhelatan Maulid selalu seputar angka’an (red: Bukan angkatan, semisal angkatan perang) namun hidangan yang menjadi seguhan bersama. 

Dalam istilah bahasa dikenal huruf hamzah atau glotal stop, sehingga penulis lebih cenderung menggunakan supra segemntal (‘) daripada (t) sebagai wujud kata “angkatan” –yang bisa bermakna periodisasi- meminjam istilah dalam dunia sejarah sastra. Dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. versi Bawean memiliki periodisasi yakni berdasarkan “angka’an”. Mulai dari peiode “angka’an” tandu bambu, teggu atau talam kuningan, bakul bambu, baldi atau timba hingga periode mutaakhir yang sudah tidak karu-karuan yang diangkatnya. Sedangkan esensi pembicaraan peringatan maulid itu sendiri hampir terabaikan. Jadi, yang selalu mengemuka di muka acara musyawarah selalu masalah “angka’an” atau “bherkat” yang menjadi branding utama. Ujung-ujungnya, semua peserta musyawarah “apaccaliu” diserap dari bahasa Cina Singkek (Tiongkok selatan), (red: Jawa : sak karepe dewe) atau bahasa Betawinya semau gue semua. Tak ayal lagi jika pelaksanaan musyawarah berjalan alot bahkan terkadang hasil keputusan mengambang menjadi apalah-apalah (meminjam istilah Shoimah dalam acara di sebuah stasiun televisi swasta).

Hal itu mestinya tidak perlu terjadi bila pemuka kampung sebagai pemegang otoritas keputusan bila dibekali dengan pengetahuan lewat budaya membaca sejarah kelahiran Nabi terparipurna yakni peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Beberapa waktu silam KH. Abdurrahman Navis, Lc, M.HI pengasuh Batsul Masail dalam majalah AULA menjelaskan dengan gamblang tentang “Hukum Maulid Nabi.” Dalam majalah Nahdhatul Ulama tersebut beliau mengulas secara detil bahwa menurut Imam As-Suyuthi, tercatat sebagai raja pertama yang memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW dengan perayaan yang meriah luar biasa adalah Raja Al-Mudhaffar Abu Said Kukburi ibn Zainuddin Ali bin Baktakin (lahir 549 H – wafat 630 H). Tidak kurang dari 300.000 dinar beliau keluarkan dengan ikhlas untuk bersedekah pada hari peringatan maulid tersebut. Bila disinkronkan dengan waktu kelahiran Nabi Muhammad SAW. pada 12 Rabiul Awal 571 M sekitar 6 abad setelah Rasulullah wafat baru ada perayaan. Sebelum-sebelumnya, baik Rasulullah sendiri, para sahabat, tabiin dan tabiin tidak merayakannya. Sehingga peringatan itu menurut beberapa ulama dianggap bid’ah dalam kategori yang hasanah.

Sebagai khazanah serta bekal bagi semua pihak terutama pengambil keputusan dalam menyikapi perayaan atau peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.ala Bawean, ada beberapa hal yang menjadi latar belakang tetap dan perlunya untuk melestarikan bid’ah hasanah tersebut dengan sedikit menguak rahasia sejarah kelahiran Rasullah SAW. Betapa tidak, seorang paman Rasulullah bernama Abu Lahab yang notabene kafir quraisy itu oleh Allah SWT. setiap hari Senin diberi keringanan siksaan kuburnya gara-gara hal sepele yakni tersenyum gembira mendengar kabar yang disampaikan oleh Sang budaknya bernama Suwaibatul Aslamiyah ikhwal kelahiran ponakannya bernama Muhammad. Saking, berbunga-bunganya hati Abu Lahab kala itu budaknya yang bernama Suwaibatul Aslamiyah itu dimerdekakan. Apalagi kita umat Islam yang gembira dan berbunga-bunga hatinya saat memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. apalagi kalau tidak mendapatkan syafaatnya di akhirat kelak, khususnya syafaat uzma. Amin ya mujibassailiiin…

Tidak hanya sampai di situ, penulis terus menelusuri berbagai sumber baik dari nara sumber dan buku bacaan sebagai referensi penyemprna tulisan ini. Ini sebuah kebetulan saja sebuah buku tersuguh lewat kepitan ketiak sang kyai yakni Bapak H. Baidawi berkebangsaan Sawahdaya Sangkapura memimjami sebuah buku berjudul “Salahuddin Al-Ayyubi Sang Penakluk Yerussalam” yang ditulis oleh Abdul Latip Talib dengan cuplikannya sebagai berikut. “Benar. Rasulullah SAW. Pernah berdoa tentang tiga perkara. Pertama, umat Islam tidak dimusnahkan dari muka bumi dan Allah SWT. menerimanya. Kedua, umat Islam tidak mati kelaparan dan doa tersebut dikabulkan oleh Allah SWT. Dan yang ketiga, adalah umat Islam jangan sampai terpecah belah. Tetapi, doa terakhir ini tidak dikabulkan” (hal: 321) Sebagai usaha sadar dan rasional bila peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. tetap perlu dan terus untuk dirayakan bersama dengan semangat kekompakan dan kebersamaan dalam mempersatukan umat. Bukan malah sebaliknya, semua pihak “apaccaliu” karena memang tidak tahu dan belum pahan esensi dari peringatan Maulid itu sendiri. Terutama soal tradisi “angka’an” atau “bherkat” yang saat ini sudah tercerabut dari akar budayanya. Ke depan sudah tidak patut dan layak dijadikan ikon “budaya” bila dalam perjalannnya peringatan Maulid Nabi dengan “angka’an” yang sudah supermodern dan mengabaikan filosofi yang memiliki nilai kesakralan dan relegi tersebut.

Salah seorang kyai kharismatik yakni Kyai Saka (sebutan latahnya warga Bawean dengan nama sebenarnya Kyai Zakariyah Buluar Bululanjang pernah dimintai fatwanya oleh penulis tentang “angka’an” Maulid yang semestinya tetap harus ada dan dipertahankan adalah makanan tradisional Bawean olahan warga di antaranya berupa rengginang (Red: Bawean-Rangghinang). Secara etimologi istilah nama makanan kuliner Bawean tersebut diambil dari Bahasa Arab yakni asal kata roi dan addinan. Bila dimaknai secara akar katanya roi artinya ngurus atau ngerokso sopo uwong dan addinan artinya agomo. Dengan demikian, orang yang masih giat memperingati kelahiran Nabi akhiruzzaman tersebut sama halnya dengan merawat atau memelihara agama khususnya agama islam terutama dalam hal persatuan umat tanpa harus melihat kelompok dan golongan dalam sebuah kampung atau lembaga hingga terkecil sekalipun untuk tetap bersatu dalam jalinan ukhuah sejati. Masih banyak kuliner khas Bawean yang dicampakkan dan sudah tidak dimuat dalam suguhan atau sajian “angka’an” Maulid. Apapun dalihnya, hal itu mestinya tetap dipertahankan. Termasuk cocok telur 12 butir pengitar “angka’an” dan “tongghul” (red: tunggul) yang mestinya tetap tertancap di tengah-tengah “angka’an” pun lenyap tergerus oleh kemajuan zaman. Sibuk dan malas menjadi argumen palsu-belakanya. Padahal, makna dan filosofinya tak akan muat bila diulas dalam tulisan kecil ini.

Dari sisi acara peringatan pun sudah keluar dari pakem budayanya. Tatkala bunda Rasulullah yang bernama Siti Aminah merasakan sakit perut menjelang kelahiran bayi yang dikandungnya, warga Bawean merayakan dengan acara “Budhuk” awalan acara Maulid. Ini pun mulai tumbang. Hanya beberapa dusun saja yang melakoninya. Termasuk, penampilan “dikker” dengan pembacaan barzanji yang diiringi terbang besar dari dusun tertentu sudah tidak mendapatkan tempat lagi dalam peringatan maulid Nabi mutaakhir ini. Semua sudah “apaccaliu” semaunya sendiri. Hanya, diambil perlu-perlunya saja untuk dipertunjukkan di tingkat kabupaten “dikker” itu dimainkan sebagai seremonal belaka. Etok-etok mawon! Mari belajar pada Sekaten di Jogja, tradisi pelak atau cuwek di Sidogiri dan Bangil serta tempat lain sebagai konservasi budaya yang menjadi karakternya untuk terus dipertahankan. Jangan “apaccaliu” sendiri. Ibarat samudra, pernik-pernik unik peringatan Maulid versi Bawean baru terkuak setetes dari yang semestinya terungkap. Meminjam istilah dari sebuah iklan sebuah produk “Kalau bukan kita yang menjaganya, siapa lagi!”.

Fenomena saat ini, peringatan maulid Nabi versi Pulau Bawean sudah mengalami metamorfosis yang kebablasan hingga kehilangan karakter dan hakikatnya. Level perayaan sudah menyelinap ke berbagai pojok atau hingga kepada tempat celket-celket. Meminjam istilah dalam pemasaran gaya Maulid versi Bawean menggunakan sistem MLM (red: Bukan Multi Level Marketing, melainkan Maulid Multi Level).Mulai dari Masjid jamik, kampung, masjid dusun-dusun, langgar-langgar, atau surau-surau, sekolah-sekolah, madratsah, diniyah, TPQ, TPA, bahkan hingga kelompok terkecil sekalipun ikut-ikutan merayakan dengan “angka’an” yang juga tak kalah neko-nekonya. Apa tidak sah bila dipustkan di alun-alun kota? Warga Bawean di daratan Gresik saja bisa mempertemukan seluruh umat Bawean rantau darai berbagai penjuru sepulau Jawa-Bali dan daratan lain terdekatnya di satu tempat. Kalau di Bawean kenapa tidak? Dan yang paling tragis dan menyedihkan peringatan Maulid Nabi di Pulau Bawean jadi ajang “penglegalan” usaha penarikan sumbangan atau urunan-urunan yang terkadang memberatkan para kaum duafa karena harus dipukul rata kontribusinya dengan meraka yang berkempuan menengah ke atas sekalipun baik maksud dan tujuannya. Adilkah? Padahal dalam peringatan sebelum-sebelumnya hanya ada istilahnya “sholawat” seikhlas dan semampunya untuk kepentingan bersama. Hal ini menjadi PR bersama untuk mengembalikan kemurnian peringatan Maulid Nabi yang benar-benar asli versi Bawean.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean