Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » MEMOAR : Sosok Kiyai Tak Suka Difoto Berpulang

MEMOAR : Sosok Kiyai Tak Suka Difoto Berpulang

Posted by Media Bawean on Sabtu, 21 Mei 2016


Oleh : Sugriyanto (Guru SMAN I Sangkapura)


Firasat apakah gerangan yang telah memberikan isyarat atas kepergian untuk selamanya dari seorang kiyai pengasuh pondok pesantren Islahul Muslim di kawasan sumber mata air panas Dusun Kebundaya.

Empat hari sebelum wafat, pada hari Senin, 16 Mei 2016 sesudah ashar saya sempat mengabadikan sosok kiai Abu Yazid bin Hasan duduk bersanding mesra dengan Kiai Abdullah Sodik pengasuh pondok pesantren Assakalain di kediaman temanten mempelay putri dari keluarga Bapak Fathori dan Ibu Nur Aini di Dusun Sokela Desa Patarselamat Kecamatan Sangkapura Kabupaten Gresik.

Kala itu Kiai Abu Yazid bin Hasan dipercaya untuk menyampaikan ceramah berkenaan dengan hikmah nikah. Beliau menyampaikan nasihat dalam berkeluarga kepada kedua mempelay dengan lantang dan penuh semangat. Sehari sebelum wafat, foto bareng kedua kiyai salaf itu saya hapus dari Hp saya karena nampak adanya blitz cahaya kilatan yang menghalangi di layar monitor. Padahal sebelum mengambil gambar, saya sudah meminta izin untuk memfoto kemesraan kedua kiai itu dalam satu jalinan ukhuah yang tak dapat dihalangi oleh apapun latar belakangnya.

Mendengar kabar kepulangan Kiyai Abu Yazid bin Hasan ke pangkuan Ilahi pada hari Jumat, 20 Mei 2016 sekitar pukul 11.00 WIB hingga diumumkan lewat pelantang suara kabar kepulangannya menjelang ashar saat itu pula adik saya Hidayati meneruskan kabar tersebut kepada saya via telepon selulernya. Saya setengah tidak percaya karena pada hari Senin, empat hari yang lalu itu banyak hal yang dibincangkan dengan saya. Bapak Nurhan Jamil sebagai saksi hidup dan para tetamu lainnya yang duduk berdekatan mendengar hal itu.

Sebagai santri pertama dalam mencerap ilmu dari beliau saya merasakan tempaan rohani yang mampu memberikan inspirasi dalam hidup ini. Beberapa kitab alat beliau ajarkan kepada para santri. Mulai dari Ilmu Sorraf, Nahu dari segala tingkatan hingga kitab Ibnu Aqil serta kitab-kitab hukum lainnya beliau sampaikan secara gamblang dengan bahasa amat nyaman dan komunikatif. Kandungan ilmu-ilmu agama itu memberikan warna dalam perjalanan hidup saya. Seringkali air mata menetes dengan serta-merta tatkala kiyai mulang tentang kitab Nasahiul Ibad yang isinya mengupas tuntas tentang kehidupan sesudah mati. Merinding seluruh jiwa ini bila mendengar sehelai rambut dibelah tujuh yang akan dilalui atas perbuatan manusia dengan tingkatan amalnya waktu hidup di dunia fana ini. Termasuk hukum-hukum lewat kitab takrib dan sejenisnya beliau asupkan penuh dengan ketulusan kepada para santrinya.

Beliau tidak hanya sekadar menyampaikan ilmu agama kepada para santrinya tetapi juga memberikan bebacaan berupa wirid dan dzikir sebagai amalan untuk keselamatan. Pernah suatu ketika saya dibekali doa sukses ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri yang notabene dengan banyak saingan oleh beliau, tentunya harus dibarengi dengan usaha belajar dan ikhtiar. Saksi hidup tentang doa mujarabat ini adalah Bapak Raden Abdul Aziz warga Dusun Kebun Laut Sangkapura yang tahu persis sango saya ketika hendak melanjutkan studi di daratan Jawa. Beliau sebagai kiyai saya, juga menasehati agar terlebih dahulu memohon rida dan doa kepada kedua orang tua sebelum jauh melangkah untuk menempuh pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Bahkan, saya dan para santri secara bersama-sama diajari hidup menderita melalui ritual puasa selama empat puluh hari dengan berbuka dan sahur nasi putih plus lauk tahu tempe. Khasiat dari berpuasa ini terasa meringankan fisik dan mental dari persoalan-persoalan duniawi yang kerap kali mendera dalam hidup ini. Para santri benar-benar merasakan nikmatnya hidup sederhana tanpa ada beban yang menindihnya.

Dulu, saya hanya kenal pondok pesantren air panas karena belum banyak bertebaran pondok lain di sebelah timur dekat jantung kota Sangkapura. Sepetak ruang kamar utara langgar utama pondok air panas menjadi base camp kiyai dalam melebarkan sayap dakwahnya. Dalam ruang kamar yang relatif sempit itu kiyai membujang dengan segala kitab-kitab yang pernah digelutinya semasa di pondok pesantren asalnya. Benar-benar ruang kamar yang melekat pada bagian utara langgar utama menjadi multi fungsi bagi beliau. Bila beliau tengah beristirahat atas kepenatan setelah proses mutalaah beberapa kitab, saya sering kali dipanggil masuk kamar pribadi beliau untuk membincangkan sesuatu. Saya suka curi-curi pandang terhadap tumpukan dan tatanan kitab dalam sebuah almari bawaan beliau. Tatanan kitab-kitab tebal itu menyerupai ensiklopedia dengan puluhan jilid. Kamar sekecil itu benar-benar menjadi sebuah gudang ilmu agama yang akan beliau tumpahkan kepada para santri. Ketertarikan saya kepada beliau atas penguasaan ilmu-ilmu alat yang kadang saat sekarang jarang dipelajarkan secara naknak (Indonesia: detil dan gamblang). Padahal kunci utama untuk menguasai kita-kitab kuning lainnya tentunya harus menguasai ilmu-ilmu alat tersebut terlebih dahulu.

Selama kurang lebih enam tahun saya nyantri di pondok air panas binaan Kiyai Abu Yazid bin Hasan, saya tidak pernah mendengar kasak-kusuk kiyai membicarakan persoalan biaya tetek bengek dalam pondok pesantren air panas tersebut. Heran, sungguh mengherankan. Ini terkadang yang tidak dapat dinalar dengan rasio manusia kebanyakan. Jiwa semangat dan ketulusan beliau dalam menyampaikan ilmu dan pendidikan inilah sebagai rahasia jawabannya. Selamat jalan wahai kiyai. Semoga ilmu yang telah kiyai pelajarkan kepada para santri menjadi amal jariyah sebagai buah dari kemanfaatan. Innalillahi wainna ilaihi rojioooon….

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean