Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Menjadi Penumpang ‘Hantu’ Kapal

Menjadi Penumpang ‘Hantu’ Kapal

Posted by Media Bawean on Minggu, 03 Juli 2016


Anis Hamim*)

Dua kali lebaran, dua kali pulang kampung (pulkam), dua kali pula menjadi penumpang ‘hantu’ kapal. Ini bukan tentang berteman jin atau setan, melainkan tentang pengalaman menjadi penumpang kapal tanpa tiket yang sah alias penumpang ‘hantu’. Bagaimana ini bisa terjadi? Sebagai perantau yang tinggal di sekitar Jakarta, kami bertiga (saya, isteri dan anak) termasuk kelompok orang yang ingin bisa pulkam setiap musim lebaran. Dengan posisi Bawean yang terpisah dari pulau Jawa, perjalanan Jakarta-Bawean melibatkan jenis transportasi yang komplit; taxi, pesawat terbang, kapal laut, dan terakhir angkutan van (pick up) ke kampung di pulau Bawean. Agar tidak terlalu lama waktu dihabiskan untuk perjalanan, saya upayakan merancang semua jenis transportasi yang perlu kami tumpangi dalam paket jadwal yang berurutan. Semua nya relative bisa saya ‘kontrol’ dengan baik, jauh-jauh hari, kecuali jadwal kapal laut. Yang terakhir ini betul-betul ‘gambling’ (spekulasi), tidak ada yang bisa dilakukan kecuali berharap datang nya keberuntungan dan bantuan teman baik atau toghelen.

Perjuangan mendapatkan tiket kapal laut Gresik-Bawean benar-benar menguras energy dan emosi saya. Sudah sampai di pelabuhan Gresik, tidak ada informasi yang pasti tentang jadwal kapal. Di hari yang kami inginkan, beberapa orang bilang ada kapal, beberapa yang lain bilang tidak.

Walau dengan kabar yang simpang siur, pagi itu banyak pemudik memilih berspekulasi, datang ke pelabuhan, terseok-seok dengan barang bawaan nya yang menggunung, berharap bisa ikut antre membeli tiket untuk kemudian bisa cepat naik ke kapal. Malang nya, setelah sekitar satu jam ikut antrean, di bawah panas matahari yang sudah terik, tersiar kabar, entah dari mana, bahwa “tidak ada kapal berangkat hari ini.” Maka dengan energy yang sudah terkuras banyak, keringat disekujur tubuh, kami kembali ke penginapan dengan barang-barang bawaan masing-masing.

Baru sekitar 60 menit sebelum detik keberangkatan, tersiar kabar lagi (itupun dari mulut ke mulut) bahwa kapal hari itu ‘jadi’ diberangkatkan. Bisa dibayangkan, suasana hati siapa yang tidak akan merasa ‘galau’ dan ingin cepat-cepat pergi dari ketidak pastian ini.

Atas bantuan saudara dan teman di pelabuhan Gresik, kami termasuk yang beruntung mendapatkan tiket untuk pulang. Tapi yang tidak seberuntung kami, mereka dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama ‘buruk’; kembali ke pelabuhan tanpa kepastian tentang jadwal pulang, atau menyerobot tempat sempit di kapal walaupun tanpa tiket, alias menjadi penumpang ‘hantu’.

Ketika masa pulkam habis, dan harus kembali ‘berlayar’ ke perantauan, cerita horror dalam mencari tiket kapal kembali terjadi. 10 hari sebelum jadwal ‘pelayaran’ yang saya inginkan, saya sudah berinisiatif datang langsung dan memesan tiket ke agen penjual tiket di pelabuhan Sangkapura. Kami memilih jadwal pelayaran yang relative mendekati jadwal penerbangan lanjutan kami ke Jakarta. Di sana saya diminta menuliskan nama-nama yang ingin mendapatkan tiket dan memberikan uang muka 50% dari total harga tiket. Dengan semua itu, saya berkeyakinan bahwa tiket kapal kami sudah aman dan tinggal datang pada hari ‘pelayaran’ untuk berangkat.

Ternyata pada hari pelayaran yang dijadwalkan, saat kami ingin mengambil tiket di agen tersebut, kami diberitahu bahwa tiket sudah tidak ada lagi; mereka bilang kami akan tetap ‘dibantu’ untuk naik ke kapal. Tanpa tahu apa artinya ‘dibantu,’ saya hanya berharap bahwa kami bisa berlayar hari itu sehingga bisa mengejar jadwal penerbangan yang sudah kami pesan. Jika tidak, situasi akan jadi lebih sulit, karena tiket penerbangan kami bisa hangus.

Sampai di dermaga pelabuhan, drama makin menjadi-jadi; ditengah lalu lalang calon penumpang yang sudah menaiki kapal, kami diminta menunggu di ujung dermaga, sampai situasi ‘memungkinkan’ untuk naik ke kapal. Nampak terjadi sandiwara kucing-kucingan atau saling pengertian antara penjual tiket dan segelintir petugas pelabuhan. Sesudah petugas pelabuhan turun dari kapal, kami diminta naik dan mengambil tempat di koridor pemisah antar ruangan. Si penjual tiket membisikkan sesuai pada salah satu kru kapal; tidak jelas apa, nampaknya sedang menitipkan kami.

Lama sekali menunggu, kapal belum juga diberangkatkan. Tersiar kabar bahwa kapal tidak diizinkan berangkat, karena kelebihan penumpang. Kabarnya, petugas akan segera melakukan pengecekan (inspeksi) ulang dengan mengeluarkan mereka yang tidak ber tiket dari kapal. Ini berarti, termasuk kami. Suasana hati jadi semakin gelisah, kami dan penumpang tak bertiket lainnya hanya bisa pasrah.

Beberapa bentar kemudian, tersiar kabar kembali bahwa pemilik dan kru kapal sedang bernegosiasi dengan otoritas pelabuhan agar kapal dibolehkan berangkat walaupun dengan jumlah penumpang yang lebih dari ketentuan. Rupanya, negosiasi ini berhasil dan jadilah kapal diberangkatkan dengan semua penumpang, baik yang resmi maupun hantu. Ada sedikit rasa bersyukur atas keberhasilan negosiasi ini. Tetapi, rasa kesal tetap terasa sebagai penumpang hantu, kami tidak mendapatkan kursi, air minum, dan hanya bisa berdiri atau duduk sekena nya. Lima jam perjalanan terasa lama sekali. Perasaan saya jadi semakin pilu mendapati anak saya dan banyak anak-anak yang tidak bertiket lainnya terkulai dan kehilangan keceriaannya selama perjalanan ini. Inilah konsekuensi menjadi penumpang hantu.

Semoga anak-anak itu mengerti bahwa kami sudah melakukan semua yang mesti dilakukan agar bisa menjadi penumpang normal, resmi. Nyatanya, walaupun sudah memesan tiket dalam waktu yang cukup dan membayar uang muka, kami tetap menjadi penumpang ‘hantu.’

***

Penumpang hantu adalah korban dari sistem pelayanan transportasi kapal tidak ber tatakelola standard, dijalankan serba tradisional/manual, oleh otoritas/petugas pelabuhan yang tidak berintegritas dan korup, bermitra dengan agen penjual tiket yang tamak. Selama faktor-faktor ini tidak dibenahi, setiap pelayaran kapal ke dan dari Pulau Bawean pada musim lebaran akan selalu melahirkan penumpang-penumpang hantu.

Menjadi penumpang hantu di dalam pelayaran sebuah kapal yang over-capacitated (lebih muatan) memiliki risiko berlipat; kapal berisiko tenggelam, dan jika tenggelam, bukan saja tidak ada perlindungan asuransi, tapi akan jadi sasaran caci maki; orang-orang bodoh lah, tidak berpikir waras, bondo nekat, tidak mau ikut aturan, dan seterusnya, anda bisa daftar lebih panjang lagi. Untungnya, kapal bisa berlayar dan kami tiba di dermaga Gresik dengan selamat.

Menjadi penumpang resmi atau hantu, warga Bawean yang pulkam akan selalu dinantikan oleh keluarga besar dan handai tolan nya di kampung. Saya percaya, mereka yang merindukan kedatangan nya akan senantiasa menyambut nya dengan gembira, menantikan cerita-cerita manis dan oleh-oleh ala kadarnya, untuk kemudian merayakan hari kemenangan ini secara bersama-sama. Selamat menyongsong hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin.

*) Penulis adalah putra Bawean, saat ini bekerja di badan kerjasama pembangunan Jerman, GIZ Jakarta, mendapatkan gelar master dari Mahidol Univerity, Thailand.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean