Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » , » Aslinya TUNGTUNG, Bukan PATROL

Aslinya TUNGTUNG, Bukan PATROL

Posted by Media Bawean on Minggu, 04 Juni 2017

Oleh : SUGRIYANTO (Guru SMA Negeri 1 Sangkapura)



Ketertindihanan istilah kata kedaerahan semakin terasa. Banyak istilah daerah secara perlahan namun pasti mengalami pelenyapan atas santernya informasi melalui berbagai media. Betapa tidak, peninggalan kosa kata kedaerahan banyak terhapus dengan hadirnya istilah yang dianggap lebih populer selama ini. Suatu misal, dulu warga Pulau Bawean menyebut istilah tuyul atau celeng oreng berubah dengan menyebut babi ngepet akibat keseringan menonton sebuah tayangannya. Pada bulan puasa terdapat istilah ”nyare malem” mulai meredup seirirng ramainya tayangan di stasiun televisi dengan istilah ”ngabuburet.” Khusus untuk puasa memasuki waktu imsak istilah Bawean ”dukduk” sudah tak kebagian tempat di hati warga pemiliknya. Termasuk kegiatan membangunkan umat Islam untuk makan sahur dengan parade musik tradisional berupa ”Tungtung” berubah menjadi musik patrol. Ini menjadi sebuah fenomena rapuhnya budaya daerah setelah tergenjet dalam pergumulan simpang siur informasi baik melalui media televisi atau media sosial lain dengan dominasi mayoritas penduduk sebagai penggunanya. Meminjam istilah dalam kosa kata bahasa Madura bahwa budaya kita adalah budaya ”oghe-oghe” yakni mudah runtuh dan lepas seperti gigi yang mudah tanggal setelah kehilangan ketahanannya. Ibaratnya budaya kita mudah kehilangan kepribadian aslinya. Di sinilah pentingnya keteguhan dan jiwa konservasi untuk keajegannya.

Pada sesi usaha menangisi budaya atau tradisi perlu kiranya melakukan gerakan konservasi untuk mengelabuhi lebih dalam seluk-beluk musik ”Tungtung” yang pernah berkibar kemasyhurannya di masa-masa silam. Permainan musik tradisional menjelang sahur ini benar-benar memiliki keunikan dalam kisahnya tersendiri. Alat-alat musik yang dimainkan berupa dhung-dhung, yakni jenis ketipung yang kerap dipakai dalam acara ketoprak atau pewayangan. Alat ini berbahan kayu pohon nangka dimodel tabung atau silinder yang ciut di kedua tepinya. Di bagian tengah dibuat lubang kecil selebar jempol tangan orang dewasa. Senar atau tangsi (nilon sintetik) yang melintang zig-zag di sekujur jenis ketipung ini terpasang pula beberapa kayu sebesar buah domino balok sebagai pengencang dan pengendor setelan. Alat musik ini bunyinya khas karena kulit lembu yang dipakai merupakan kulit pilihan dengan beberapa syarat dan ketentuan. Bahkan, para petungtung konon melibatkan pawang perkulitan untuk menentukan karakter kulit lembu yang layak pakai. Dhungdhung yang sudah jadi biasanya dipakai dengan cara menggantungkan di leher pemain berikat sarung pengikat yang terselempang. Sepanjang perjalanan keliling untuk membangunkan umat Islam yang hendak santap sahur tetap menjadi kesenangannya yang tak terbeli dengan apapun.

Tidak hanya itu, alat-alat musik kuno yang menjadi pasangan ”dhungdhung” adalah bas alami yang berupa ”bhujung”. Alat ini biasanya dipakai warga untuk mengisi gentong air yang diangkut dari sumur. Kaum wanita mengemban bhujung biasanya di pinggul kemolekan tubuh seksinya. Bentuknya percis buah labu kolak. Ukuran bhujung kurang lebih sepelukan orang dewasa. Jenis gerabah ini menjadi barang buatan kerajinan rumah tangga warga Dusun Disallam Desa Patar Selamat Kecamatan Sangkapura Gresik. Di dusun lain bukan tidak ada yang memproduksi melainkan kualitas suara yang dihasilkan jelas beda. Di bagian mulut ”bhujung” yang menganga lebar ke atas dipasang ban lentur atau karet sebagai pusat cubitan untuk menghasilkan bunyi bas. Lembut dan menggetarkan lubuk sanubari suara bas yang dihasilkan. Kadang, anak-anak masa lalu bila ketiadaan ban lentur atau karet, mereka bergegas menuju kantor meteorologi di Dusun Boom Desa Sawahmulya untuk meminta ke Papi atau Mami balon udara yang kerap kali dijadikan benda percobaan penentu arah dan kecepatan angin itu. Balon itu dibedah atau (Bawean: dikorak) menjadi dua bagian. Satu dipasang di mulut alat musik bas ”bhujung” dan belahan separuhnya buat cadangan. Pemegang bas ini biasanya membawa dengan balutan sarung yang juga menggantung di leher. Gerabah tersebut rentan pecah karena berbahan tanah liat melalui proses perapian atau pembakaran. Unik dan menarik alat musik yang pernah dipakai untuk ”Tungtung” masa lalu. Bila tidak mendapatkan balon atau karet maka pemain cukup memukul mulut bhujung dengan terompah atau sandal jepit yang sudah dibuang ras atau tali sandalnya. Walau dengan terpaksa menggunakan sandal jepit sebagai pemukulnya namun bunyi bas yang dihasilkan juga terasa. Tentu mereka menggunakan sandal jepit bekas yang lembut dan lentur buat pemukulnya.

Alat lain sebagai penyerasi permainan musik tradisional ”Tungtung” berupa kersak-kersing atau tamborin. Orang-orang masa lalu tidak menggunakan tamborin yang ada seperti sekarang ini tetapi berkreasi sendiri seadanya dan sedapatnya. Tamborin ini modelnya seperti cetakan batu bata terbuat dari kepingan papan kecil. Sekitar lima tusukan kawat kaku membagi ruang gerak lingkar seng bekas batu bateray dipasang di bagian ruang tengahnya. Pemegang kersak-kersing atau tamborin ini memainkan dengan cara menggoyang di atas bahu secara turun naik mengikuti irama ketukan lagu. Gerakan membunyikan tamborin atau kersak-kersing laksana orang memainkan barbell dengan angkat-turun naik lengan tangan. Minimal pemegang tamborin kuno ini terdiri atas dua personil. Tanpa kehadiran kersak-kersing ini kerancakan musik belum terasa. Biasanya yang dijadikan simbal penyeimbang adalah mata cangkul berbahan baja bekas buangan rumah tangga yang tidak terpakai lagi. Untuk menghasilkan bunyi dentingan dan cempreng dipakai pemukul berupa baut bekas lepasan dari ujung dermaga tua yang sudah mangkrak lama. Terkadang pula mengambil sisa-sisa baut cikar atau dokar masa lalu yang sudah tidak terpakai lagi. Sebagai penyedap irama permainan musik ”Tungtung” hadir pula sang peniup buluh perindu berupa seruling bambu. Penyanyi atau vokalis dipilih orang yang piawai dalam membawakan lagu bernuansa pantun daerah atau menguasai lagu-lagu lama tanpa pelantang suara elektronik. Mereka cukup menggunakan corong minyak tanah ukuran besar atau memesan ke tukang patri untuk dibuatkan corong seng seukuran corong konvensional pada umumnya. Suara yang keluar benar-benar alami dan merdunya asli.

Bila dicermati lebih dalam permainan musik tradisional ”Tungtung” yang kerap dimainkan oleh anak-anak zaman lampau benar-benar memiliki karakter tersendiri yang bersifat unik dan eksotik. Keberadaannya cukup memukau , baik dari sisi alat dan jenis musik maupun syair lagu yang dibawakannya. Saat ini atau era kekinian telah terjadi kemerosotan atau degradasi dalam permainan musik tradisional untuk membangunkan umat Islam dalam santap sahur di bulan puasa. Sembarang alat bisa terpakai asal menghasilkan bunyi. Pukulan puluhan kentongan bambu yang dipadu dengan tim atau blek bekas minyak goreng pun jadi. Keprak-keprok…Keprak-keprok… Keprak keprok …lagunya beda namun pukulannya tetap itu saja. Mungkin ini yang tergolong musik patrol, sedang musik ”Tungtung” tradisional asli Pulau Bawean beda. Baik dari sisi komposisi alat musik dan jenis lagu serta syair yang dibawakan pun tidak sama.

Timing atau jadwal waktu permainan ”Tungtung” masa lalu sangat diperhitungkan dengan mateng tentang awal jalan keberangkatannya. Mengingat, di Bulan Puasa umat Islam banyak melakukan kegiatan di malam hari perlu hingga larut malam maka mereka juga butuh waktu istirahat yang cukup. Waktu yang diambil untuk bertungtung setelah melewati pukul dua dini hari. Kini, sudah tidak beraturan. Lepas di atas pukul dua belas dini hari mereka melakukan patrol sekadar memenuhi hasrat kesenangannya sendiri tanpa mempertimbangkan lebih jauh waktunya orang tengah mau lelap dalam tidurnya. Padahal dalam sebuah keterangan dikatakan bahwa kegiatan membangunkan orang untuk memulai makan sahur merupakan sebuah amal ibadah. Kalau memang kenyataan di lapangan demikian, di mana letak nilai ibadahnya? Ditambah dengan kebisingan alat musik patrol yang dipukul tanpa aturan nada dan birama membuat suasana puasa laksana kehilangan nilai kesakralannya. Kejengkelan dan umpatan kerap kali keluar dari balik pintu atas terjadinya degradasi nilai seni dari yang aslinya ”Tungtung” yang tertib dari sisi manapun menjadi amburadul seperti gaya patrol anak-anak yang karut-marut dalam pembawaannya. Tidaklah mengherankan bila terjadi kekisruhan dari permainan patrol akibat ketersinggungan dari pola memainkan alat musiknya saat bersalipan. Sahur…Sahur…Sahur…tidak usah tempur…! Ingat, aslinya ”Tungtung” bukan Patrol ya Nak…! Kembalilah kepangkuan istilah yang benar sebagai milik asli daerah masing-masing. ”Tungtung tetap Tungung” cuitnya.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean