Jika ingin merubah nasib, jangan cari mantra atau pergi ke dukun; raih lah lewat sekolah. Sudah menjadi fakta dunia. bahwa pendidikan (tinggi) adalah cara terampuh untuk hidup mulia dan berguna. Karena nya, memampukan anak Bawean agar bisa melanjutkan pendidikan adalah amal jariyah utama. Apalagi jika anak tersebut punya potensi akademik yang istimewa. Sekolah bisa mengasah nya menjadi sumberdaya andalan bangsa. Maka, beasiswa adalah program yang mesti ada buat mereka. Melalui beasiswa, setiap anak dengan minat dan bakat akademik istimewa diharapkan mampu lanjut bersekolah.
Pentingnya beasiswa sudah menjadi kesadaran umum di dunia sejak lama. Maka muncullah program-program beasiswa ternama seperti Fullbright dari Amerika, Chevening Award dari Inggris Raya, dan AAS (Australian Awards Scholarship) dari Australia. Semua beasiswa ini terbuka buat setiap siswa dari seluruh dunia, termasuk Indonesia. Karena beasiswa nya ternama, maka para penerima nya pun merasa bangga luar biasa. Sebab keterpilihan mereka juga bermakna pengakuan atas kemampuan mereka yang luar biasa.
Ada juga beasiswa lain yang tidak kalah ‘keren’ nya seperti StuNed (Studeren in Netherland) dari Belanda, DAAD Scholarship dari Jerman, SIDA Scholarship dari Swedia, dan banyak lagi lainnya. Bahkan, pemerintah Indonesia pun tidak mau ketinggalan juga. Melalui Lembag Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), pemerintah bikin program beasiswa bagi ribuan anak-anak bangsa yang memenuhi kriteria setiap tahun nya.
Beasiswa Anak Bawean
Atas kesadaran dan tujuan yang sama, dari dulu hingga sekarang, telah ada upaya dari beberapa warga Bawean terkemuka untuk juga membuat program beasiswa. Ada yang dilakukan ala kadar nya dengan bantuan sejumlah uang untuk biaya sekolah anak-anak di lingkungan keluarga dan sekitarnya, tapi ada juga yang mencoba mengalang dana secara terbuka untuk menyediakan paket khusus beasiswa. Tentu saja upaya ini sangat mulia. Tetapi walaupun mulia, program beasiswa lokal semacam ini banyak kelemahannya; paling tidak ada tiga;
Pertama, jangkauan. Walaupun sudah berjuang keras mengumpulkan dana, tetap saja jumlah nominal yang dihasilkan sebegitu saja; hanya cukup untuk satu dan dua anak saja; itupun yang bisa dicover hanyalah biaya SPP saja. Padahal untuk bersekolah, apalagi jika harus ke Jawa, anak butuh juga beli buku-buku, ongkos angkutan dari/ ke sekolah dan biaya hidup sederhana.
Pertama, jangkauan. Walaupun sudah berjuang keras mengumpulkan dana, tetap saja jumlah nominal yang dihasilkan sebegitu saja; hanya cukup untuk satu dan dua anak saja; itupun yang bisa dicover hanyalah biaya SPP saja. Padahal untuk bersekolah, apalagi jika harus ke Jawa, anak butuh juga beli buku-buku, ongkos angkutan dari/ ke sekolah dan biaya hidup sederhana.
Kedua, keberlanjutan. Beasiswa yang dikelola secara lokal umumnya tidak berlangsung lama. Sebab sumber dana nya tergantung sepenuhnya dari kemampuan ekonomi dan hubungan baik antara pengelola dan penyumbang dana. Hubungan baik ini biasanya bersifat pribadi dan mudah sekali berubah. Mereka yang sebelumnya semangat menyumbang, bisa tiba-tiba menarik diri hanya karena dia tidak merasa dihormati atau preferensi politiknya berganti. Maka, dana beasiswa yang dia janjikan akan langsung terhenti.
Ketiga, Kebanggaan (Prestige). Di masa sekolah dulu, kita selalu diajarkan bahwa anak-anak cerdas pantas mendapatkan beasiswa. Dengan kata lain, beasiswa adalah ganjaran bagi anak-anak dengan kemampuan istimewa. Ini memberikan motivasi ekstra agar anak-anak lebih giat berusaha. Tetapi, beasiswa yang disediakan untuk anak Bawean selama ini kurang terdengar dikaitkan dengan kecerdasan mereka, Lebih banyak kriteria nya menekankan pada aspek kemiskinan semata. Artinya, hanya anak dari keluarga miskin yang bisa mendapatkan beasiswa. Sedangkan anak cerdas yang tidak miskin tidak bakal dapat. Maka citra beasiswa beralih dari sebelumnya sebagai tanda kecerdasan menjadi tanda kemiskinan. Yang muncul lalu, penerimanya bukannya jadi bangga, malah tambah menghiba. Sebab dibenaknya yang melekat adalah kemiskinannya bukan kecerdasannya. Begitulah, program beasiswa yang dilekatkan pada kriteria kemiskinan hanya akan membuat rendah diri penerimanya. Jika penerima nya saja tidak bangga, maka bagaimana bisa program beasiswa akan jadi kebanggaan bersama.
Lalu Bagaimana?
Daripada menyusahkan diri dengan program beasiswa sendiri, lebih baik upaya-upaya membantu anak Bawean bersekolah dilakukan dengan cara berbeda. Saya usul menggantinya menjadi program ‘berburu’ beasiswa. Ia adalah program untuk membantu anak-anak Bawean ‘meraih’ beasiswa di luar sana. Program ini tidak memberi ‘ikan’ tetapi ‘pancing/kail;’tidak menyediakan beasiswa langsung, tetapi dukungan kegiatan yang memampukan anak-anak bawean yang cerdas untuk menang beasiswa di luar sana.
Walaupun caranya berbeda, tujuan nya sama yaitu membantu anak Bawean mendapatkan beasiswa sehingga bisa lanjut sekolah. Ibarat ingin berlayar, anak Bawean hanya perlu dibikinkan sekoci agar mereka mampu mencapai kapal besar. Dengan bergabung di kapal besar, anak-anak Bawean akan bisa mengarungi lautan. Membuat sekoci akan jauh lebih sederhana dan murah daripada kalau kita berniat membuat kapal besar sendiri.
Program dukungan ‘meraih’ beasiswa di luar sana bisa dimulai dengan langkah-langkah sederhana.
Pertama; menyediakan informasi tentang peluang-peluang beasiswa yang tersedia di berbagai tingkatan pendidikan; biasanya untuk jenjang S1, S2, hingga S3, Juga informasi tentang kriteria yang disyaratkan dan bagaimana cara melamar nya. Syarat mutlak nya biasanya total nilai indeks prestasi yang tinggi dan kemampuan bahasa Inggris yang mumpuni.
Pertama; menyediakan informasi tentang peluang-peluang beasiswa yang tersedia di berbagai tingkatan pendidikan; biasanya untuk jenjang S1, S2, hingga S3, Juga informasi tentang kriteria yang disyaratkan dan bagaimana cara melamar nya. Syarat mutlak nya biasanya total nilai indeks prestasi yang tinggi dan kemampuan bahasa Inggris yang mumpuni.
Kedua, menjaring siswa-siswa Bawean yang berpotensi memenuhi kriteria tersebut. Di tahap ini yang ditekankan adalah potensi akademik, bukan status ekonomi (kemiskinan) nya. Maka yang terjaring adalah anak-anak yang bekemampuan istimewa. Lalu, Ketiga, menyediakan kegiatan-kegiatan mentoring (pembinaan) secara berkala untuk siswa-siswa unggulan yang telah memenuhi kriteria tersebut. Kegiatan mentoring inilah kuncinya.
Melalui program mentoring, kemampuan anak-anak istimewa ini terus diasah hingga menjadi siap untuk memenangkan beasiswa. Tidak hanya teknis akademik, tetapi juga peningkatan wawasan dan cara mengungkapnya baik lewat lisan dan tulisan.
Walaupun formulasi pertanyaan nya mungkin berbeda, semua penyedia program beasiswa hampir pasti akan menanyakan tiga soal dasar: 1) Kenapa jurusan itu yang anda pilih(?), 2) Kenapa anda merasa layak diberi beasiswa(?), dan 3) bagaimana studi anda akan memberi manfaat bagi masyarakat dan bangsa(?).
Tiga pertanyaan inilah yang harus diisi oleh setiap pelamar beasiswa dalam formulir dan lalu dijawab pada saat wawancara di hadapan juri penyeleksi. Maka yang diberi beasiwa adalah mereka yang bisa menjawab ketiga soal ini dengan memuaskan para juri tersebut.
Dengan dana dan sumberdaya yang ada sekarang, ketiga langkah; yaitu (1) menyediakan informasi, (2) melakukan seleksi anak berbakat, dan (3) memberikan mentoring (pembinaan) sebenarnya sudah bisa dijalankan. Tinggal dibuat tim dari orang-orang Bawean yang berkomitmen atas masa depan pendidikan anak-anak Bawean. Tugasnya adalah menjaring dan membantu anak-anak jenius dari Bawean untuk memenangkan beasiswa. Sehingga mereka bisa menjadi penumpang kapal di lautan pendidikan tinggi yang beraneka warna. Dengan cara ini, akan lahir lebih banyak anak-anak Bawean yang mengerti masalah, bisa menghadirkan solusi nyata, dan berbicara di forum dengan kepala menghadap kemuka. Kalau sudah begitu, yang bakal berubah bukan hanya diri nya tetapi juga nasib dan rezeki masyarakat Bawean nya. Menarik bukan?