Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » "MENCATUT" AKI SOLAR SISTEM

"MENCATUT" AKI SOLAR SISTEM

Posted by Media Bawean on Minggu, 05 Desember 2021


Oleh: Sugriyanto

      Di dalam bahasa Bawean terdapat nama alat pengambil atau mencabut paku yang menancap di batang kayu dan sejenisnya. Alat tersebut diberi nama (baca, Bawean:catot) yang diadaptasi dari bahasa Indonesia kedalam bahasa Bawean dari kata "catut". Sebagaimana pengadaptasian kata "paku" dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Bawean menjadi "pako". Namun, tidak semua kata dapat diperlakukan dengan cara adaptasi bunyi fonem seperti itu. Antara bunyi huruf (u) dan (o) merupakan variasi bebas tanpa mengubah makna kata. Perhatikan kata lain seperti: kata "rujak" bila diadaptasi bunyinya ke dalam Bahasa Bawean akan menjadi "rojhek". Kadang justru sebaliknya dari sisi uniknya antara basa Indonesia dan Bahasa Bawean saling balik adaptasi. Seperti kata "soto" dalam Bahasa Indonesia akan berubah menjadi "sutu" ke dalam Bahasa Bawean. Unik kan? 

      Dulu, awal PT. PLN merambah Pulau Bawean dengan luas areal jaringan hanya meliputi empat desa yakni Desa Kotakusuma, Desa Sawahmulya, sebagian kecil Desa Sungaiteluk dan Desa Sungairujing hampir sepanjang jalan lintasan jaringan kabel listrik mendapat lampu penerangan dari PT. PLN sendiri. Konon biaya strum perbulan dibebankan kepada pemerintah daerah sebagai penerangan jalan protokol. Senyatanya diambilkan dari tagihan listrik pelanggan yang dipotongkan setiap pembayaran kwitansi perbulan. Lampu penerangan jalan umum itu terpasang di tiang listrik PT. PLN dengan jarak pasang dilangkah-langkah satu tiang. Waktu itu Desa Gunungteguh dan Desa Daun serta Desa Bululanjang yang menjadi desa terdekat dari pusat wilayah Sangkapura Kota terus gigit jari "kare terro, cone" atau menginginkan laksana "pungguk merindukan bulan" saja. 

      Warga Sangkapura Kota benar-benar menikmati aliran strum plat merah walau belum menyalah 24 jam kala itu. Rumah warga Pulau Bawean di dua wilayah tersebut di atas dapat menikmati terang lampu listrik, baik di rumah-rumah dan tempat ibadah serta di sepanjang jalan lingkar Sangkapura Kota. Warga Pulau Bawean sempat menggebyarkan semboyan "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang dipinjam dari kumpulan curhatan RA Kartini kepada Tuan Abendanon di Belanda yang pada akhirnya dibukukan oleh Sanusi Pane menjadi judul tersebut di atas. Program LSD (Listrik Masuk Desa,red) tumbang dan gulung tikar seketika karena sudah beralih ke setrum listrik plat merah. Justru pengelolah LSD dan masyarakat Pulau Bawean girang karena dianggap sebagai langkah maju. Negara ambil alih yang pada ujungnya tetap berpihak kepada kepentingan rakyat banyak.

      Dalam beberapa tahun terakhir ini, setelah jalan-jalan utama di hampir seluruh desa di Pulau Bawean dalam kepetangan muncullah inisiatif dari diri para warga dengan program neonisasi. Program neonisasi di sepanjang jalan warga di setiap dusun dari 30 desa se-Bawean sama berlomba-lomba dari sisi kabel, lampu, tiang, sampai ke model. Puluhan juta uang urunan warga terkumpul untuk program neonisasi partikelir ini. Istilah "selotnya" atau pelatnya lidah warga "ghebey tilik, angghuy tilik, telang tilik, bejel tilik" Terjemah bebasnya "Dibuat sendiri, dipakai sendiri, terang sendiri, dan bayar sendiri" itulah swasembada penerangan listrik semu atau maya alias fatamorgana. 

      Tiada seberapa lama program neonesasi jalan desa dan berjalan muncul program neonisasi dengan solar sistem dan penerangan dari ULP (Unit Layanan Pelanggan) PT. PLN di beberapa titik di Pulau Bawean. Program neonisasi partikelir meredup dan perlahan seperti tak terurus dalam perawatannya karena dianggap sudah diback-up oleh pihak PT. PLN. Pendapatan tukang las tiang besinya, penjual lampu, dan kapel serta penyedia instalasi lainnya hilang begitu saja setelah program "Solar Sistem" terus melebarkan sayap usahanya demi penerangan dan demi pendapatan sesaat. Program "Solar Sistem" atau listrik bertenaga Surya ini hanya bisa bertahan tak sampai seumur jagung hanya karena persoalan teknis. Para pemenang tender hanya bisa mewujudkan pengadaan namun belum sampai melakukan penjagaan dan perawatan (maintrnece). 

      Hal aneh yang sempat terekam dari keterangan Bapak Moh. Zen, mantan kepala UPT. Dinas Pekerjaan Umum Bawean bahwa kerusakan lampu listrik tenaga Surya bukan karena kwalitas barangnya melainkan karena mentalitas warga sendiri. Beliau menggelengkan kepala atas raibnya beberapa aki dari listrik tenaga Surya tersebut. Beberapa unit tenaga Surya mati karena memang akinya yang dicuri oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Beliau juga heran jam berapa gerangan aksinya dilakukan dalam terang dengan ketinggian tiang hampir melebihi tiang panjat pinang. Kemungkinan besar para peminat aki kering dari piranti listrik tenaga Surya ini dengan amphere berkisar 40-60 ohm menggunakan catut atau tang pemotong alias "palaes". Lumayan juga untuk harga jualnya! Untaian bahasa Baweannya "Tadek takatnya!" sulit diterjemahkan.

SHARE :
 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean