Media Bawean, 29 Agustus 2008
Seminggu yang lalu saya makan di warung pecel lele Lamongan di daerah Pegangsaan, Jakarta. Seperti biasa, menikmati hidangan sambil ngobrol santai sama Mas Jito, si empunya warung. Ngobrol banyak hal, dari soal pengamen sampai presiden, dari soal sepele sampe pengembangan ekonomi. Walaupun sibuk ngurusi warung , Mas Jito termasuk orang yang well informed . Suka mengikuti perkembangan berita. Tapi jika biasanya mas Jito pertanyaanya tergolong biasa, hari itu cukup luar biasa. “apa sih mas keuntungannya kita jadi warga negara Indonesia?”, demikian pertanyaan Mas Jito mengagetkan saya.
“emang kenapa mas?”, saya menimpali. Mas Jito menjawab dengan nada dongkol: “kita kan selama ini cari penghidupan sendiri-sendiri, sama sekali nggak ada dukungan dari pemerintah, malah pemerintah sering merugikan kita yang pedagang kali lima, kita sering digusur.
Pertanyaan Mas Jito ini bukan pernyataan politis, tapi pertanyaan yang benar-benar mewakili kesadaran yang jujur tanpa basa-basi, apa adanya, bukan by design. Pertanyaan rakyat biasa. Pertanyaan yang sangat mendalam menghunjam kedalam kesadaran banyak orang, sebagai melumernya kesadaran akan persamaan nasib sebagai satu bangsa, satu negara. Dengar porsi yang agak berbeda, pertanyaan yang sama bisa sedikit digeser dalam spektrum kesadaran masyarakat Bawean. “apa keuntungan kita menjadi warga Bawean?”
Pertanyaan ini adalah pertanyaan muhasabah atau introspeksi. Mungkin jika pertanyaan itu diajukan kepada kita masing-masing, jawabannya bisa macam-macam. Tapi dari sekian list jawaban itu, adakah yang membedakan atau bahkan memiliki nilai lebih dengan jawaban atas pertanyaan lainnya? Misalnya, “apa keuntungannya jadi warga madura?”, “apa keuntungannnya jadi Orang Jawa”, dll.
Orang bisa bilang saya paranoid , kampungan, dan sektarian. Tapi saya memiliki alasan, bahwa sama dengan keindonesiaan, kejawaan, kemaduraan, kesundaan, dll, kebaweanan adalah kekayaan dan modal sosial kultural yang harus dikonversi (diubah) menjadi kekuatan yang produktif. Jadi ke-Bawean-an, menurut orang-orang sekolahan, harus dipahami bukan sebagai kata benda yang statis, tetapi sebagai kata kerja yang dinamis. Sehingga ke-Bawean-an benar-benar bergerak produktif sebagai kesadaran obyektif menyangkut kehidupan nyata masyarakat Bawean. Dengan kata lain, ke-bawean-an hanyalah obyektivikasi. ke-Bawean-an memang tidak perlu di-kultuskan sebagai satu-satunya, karena dia hanyalah salah satu pintu min abwaabin mutafarriqah menuju cita-cita membangun Bawean yang lebih baik.
Biar lebih gamblang mengejawantah dalam kenyataan hidup sehari-hari, pertanyaan itu bisa lebih dikhususkan lagi. “Apakah keuntungannya sebagai petani Bawean”; “apa keuntungan sebagai nelayan Bawean”; “apa keuntungan sebagai guru Bawean”; ”apa keuntungan sebagai Kiai Bawean”, “apa keuntungan sebagai pedagang Bawean”dst.
Jika kita masih melihat Petani Bawean sengsara, masih melihat nelayan Bawean tak bisa beli solar untuk melaut, guru masih nyambi ke sawah, Kiai tak bisa menyekolahkan anaknya, pedagang di serbu oleh pedagang kelana dari jawa, dll. Itu semua masih pertanyaan yang harus kita jawab dengan konsepsi ke-bawean-an tadi.
Karena itu, Ke-Bawean-an bisa dikonsepsi sebagai skala prioritas perjuangan, memulai dari yang terdekat, tidak hanya berhenti secara genealogis (faktor keturunan), tapi juga teritorial ,kultural dan psikologis. Quu anfusakum wa-ahliikum naara adalah konsepsi yang melampaui pengertian-pengertian harfiah ahlun sebagai keluarga karena garis keturunan, melainkan bersifat sosiologis (kemasyarakatan) sebagaimana tugas kerasulan.
Hanya masalahnya, dulu sebelum era otonomi daerah banyak orang punya pikiran yang sama, Otonomi Daerah diperlukan sebagai jawaban atas sentralisasi kekuasaan yang bersifat top-down, bahwa kalau orang daerah bisa menentukan nasib-nya sendiri pasti nasib rakyat akan lebih baik. Apalagi kalau yang memimpin daerah adalah putra daerah sendiri. Istilah otonomi daerah dan putra daerah populer disuarakan dimana-mana. Tapi sejauh yang kita lihat dari banyak evaluasi perjalanan otonomi daerah, yang terjadi hanyalah otonomi kekuasaan, berpindahnya korupsi ke daerah, bukan otonomi rakyat. Putera daerah yang diharapkan dapat mengawal daerahnya sendiri ternyata menjalankan kepemimpinan tidak dengan cara lebih baik. Rakyat tetap saja sengsara. Kalau di Bawean sekarang semakin banyak orang (petani, nelayan, guru, kiai, pengusaha, dll) mengeluh karena beban ekonomi yang kian berat, jadi “apa keuntungannya menjadi warga Bawean”? Toh sekarang jabatan-jabatan penting di Bawean sudah banyak di pegang orang Bawean sendiri.
Masalah lainnya, saya masih belum banyak ketemu dengan anak-anak muda Bawean yang sekolah dan kuliah sambil kerja, sekolah dengan modal kemampuan dan biaya sendiri. Pendek kata, Generasi Bawean umumnya konsumtif. Berbeda misalnya dengan teman-teman saya yang dari Jawa yang jauh lebih mandiri dan produktif. Mereka banyak yang kuliah sambil jual koran, jual jajan gorengan, dll. Padahal, yang saya tahu, orang tuanya jauh lebih berada.
Hemat saya, kita harus dekatkan ke-bawean-an sebagai commonsense (kesadaran umum),sebagai konsepsi persaudaraan sosial yang luas. Sehingga masing-masing diantara kita warga Bawean, terutama yang memiliki jabatan publik (camat, lorah, guru, anggota DPR, dll ) bersatu padu sebagai keluarga besar Bawean dan memiliki kesadaran yang sama membangun Bawean. Pendek kata, modal sosial ke-Bawean-an harus didaku menjadi modal sosial yang produktif, bukan sebaliknya.
Jadi jelas sekali konsepsi perjuangan seperti ini bukanlah kampungan. Negara-negara maju, Amerika dan Eropa, dalam konteks ini sangatlah primordial. Pemerintahnya sangat melindungi kehidupan dan penghidupan rakyatnya. Mereka memberikan proteksi terhadap setiap Petani dan produk-produk dalam negeri lainnya. Sementara kita, rakyat kita sama sekali tanpa perlindungan. Na’udzubillah.
Jika kita mengenal ada dua model perjuangan, kultural dan struktural. Kedua-duanya harus sama-sama berjalan seiring. Pendekatan kultural lebih pada penciptaan kesadaran yang berdampak jangka panjang pada setiap warga dan generasi Bawean. Pendekatan kultural sangat efektif jika dilakukan melalui pendidikan dan pesantren. Pendidikan dan pesantren bergerak sebagai design perjuangan yang total untuk pewarisan nilai-nilai kemandirian, kewirausahaan, pencerdasan, kebersamaan, keadilan, keuletan, dll. Dalam konteks ini sejak kecil saya terkesan dengan jiwa kewirausahaan dan kemandirian yang berkembang di daerah Bawean bagian selatan (Pudhakek, komalasa, & sekitarnya) yang terus saya temukan bahkan ketika saya kuliah di Jogja. Komunitas Bawean yang berasal dari Komalasa, Suwari dan Podhakek yang ada di Jogjakarta, Solo, Kediri, & beberapa daerah lain di jawa benar-benar mengembangkan kesadaran komunalitas sebagai modal sosial yang kuat. Secara ekonomi kebanyakan mereka terbilang sukses tanpa kehilangan akar tradisi, tanpa malu mengaku orang Bawean. Luar biasa.
Sedangkan perjuangan struktural bergerak pada ranah penguasaan posisi-posisi strategis ( di bidang politik, birokrasi, ekonomi ,dll.) dan penciptaan kebijakan yang berpihak pada warga Bawean. Sekarang, sudah banyak warga Bawean yang sarjana dan pinter-pinter serta memiliki jabatan strategis. Itu harus dilakukan jejaring yang kuat sehingga suatu saat dengan kekuatan jaringan masing-masing kita perlu, misalnya, menginvestasikan kemampuan kita masing-masing secara by design untuk penguatan SDM Bawean. Investasi SDM ini adalah amal jariah yang sustainable (tidak akan putus-putus).
Untuk itu, di atas dua model perjuangan itu, saya membayangkan yang paling mendesak perlu dikembangkan adalah penguatan dan pemberdayaan SDM Bawean, melalui:
1. Pengembangan Lembaga scholarship / beasiswa untuk siswa-siswi bawean yang benar-benar cerdas, bukan karbitan. Ini sudah mulai dikembangkan oleh Bawean Institute di Jakarta. walaupun metode rekruitmen-nya perlu lebih diperketat dan bisa bekerjasama dengan lembaga-lembaga atau instansi yang relevan dan strategis.
2. Pihak Kecamatan Tambak dan Sangkapura atas dukungan Pemda Gresik perlu proaktif melakukan kerjasama dengan Perguruan-Perguruan Tinggi Favorit, seperti UNAIR, ITS, UGM, IPB, dll. misalnya membentuk laboratorium budidaya di bidang perikanan dan pertanian yang dikembangkan di Bawean atau menjadikan Bawean sebagai binaan salah satu Perguruan Tinggi dimaksud.
3. Pengembangan Pendidikan keterampilan, Kedinasan dan khusus.
Saya yakin 3 hal ini dapat kita lakukan, terlebih jika selama ini orang-orang Bawean memiliki jaringan di sejumlah tempat, baik di Indonesia maupun di Luar negeri. Bisakah modal sosial ke-Bawean-an ini dikonversi menjadi kekuatan untuk membangun Bawean? Jawabnya, BISA. Walaupun tidak mudah.
*) Direktur Eksekutif Bawean Institute Jakarta; Direktur Utama PT. MADAH ARBATA Jakarta; Tenaga Ahli Anggota DPR-RI Fraksi PKB; Pengurus PP-LKKNU Jakarta; Mantan Ketua Senat Mahasiswa Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta; Mantan Presidium Forum Mahasiswa Syari’ah se-Indonesia (FORMASI); dan Mantan Ketua PB-PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan Mantan Koordinator KOBAR (Komite Bawean untuk Reformasi).
Posting Komentar