Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Berbuka dengan Kela Kuning, Sahur dengan Rajungan

Berbuka dengan Kela Kuning, Sahur dengan Rajungan

Posted by Media Bawean on Selasa, 07 Oktober 2008

Media Bawean, 7 Oktober 2008

Sumber : Jawa Pos
Mengunjungi Pulau Bawean Menjelang Lebaran (2-Habis)


Meski bulan puasa, wisata kuliner di Bawean tetaplah sebuah kewajiban. Persoalan mengisi perut ini baru bisa ditunaikan saat makan sahur dan buka puasa. Ada menu kela kuning untuk berbuka, sedangkan rajungan kuah bali untuk santap sahur. Keduanya makanan khas Bawean.

Adi Tri Pramono, Bawean

Menikmati makanan khas sudah ada dalam rencana kunjungan Jawa Pos ke Bawean. Awalnya, agak risau juga, apakah rencana ini dapat terealisasi mengingat kunjungan itu bertepatan dengan bulan puasa.

Gayung bersambut saat ajakan menyantap makanan khas datang dari keluarga Rusdy. Guide Jawa Pos ini menawarkan untuk berbuka dan makan sahur bersama di rumah keluarganya di Desa Sawahmulya.

Warga Bawean biasanya langsung makan besar sebelum menunaikan salat Tarawih. Saat itu, keluarga Rusdy menyuguhkan segelas es teh cincau untuk membatalkan puasa. Setelah itu, Rusdy langsung menyodori saya sepiring nasi. "Etika makan di sini tidak boleh banyak ngomong," begitu kata Rusdy.

Meski demikian, etika itu tetap saya langgar. Saya tak bisa menahan diri untuk menanyakan menu yang ada di hadapan. "Ini namanya kela kuning kerapu, bali ikan kerapu, ayam bakar, dan kerapu goreng," jelas Agustina, kakak perempuan Rusdy.

Selesai menyantap bali ikan kerapu, Rusdy segera menawarkan kela kuning. "Yang ini tidak akan sampeyan temui selain di Bawean," ujar Rusdy.

Dari tampilannya, warna kuning kunyit mendominasi. Kuahnya kuning bening, daging ikan kerapu juga berwarna kuning. Itu menandakan bumbu telah meresap ke dagingnya. Begitu mencicipi kuahnya, rasa pedas merica langsung menyengat lidah. Tampilan kalem kuning makanan tersebut, ternyata, menyimpan rasa pedas yang nendang.

Untuk menyantap makanan yang dibuat Agustina itu, Jawa Pos menikmatinya dengan nasi putih yang terpisah. Bukan karena tak cocok, melainkan sayang bila tidak mengistimewakan masakan tersebut. Apalagi, kela kuning hanya ada di Bawean.

Menurut Cuk Sugrito, budayawan Bawean, kela kuning merupakan jenis makanan parau (perahu). Maksudnya, masakan tersebut awalnya dibuat di kapal oleh para lelaki yang sedang melaut. Karena itu, bumbu dan cara memasaknya sangat sederhana. "Tinggal campur-campur saja. Selain karena tergolong praktis, bahan masakan ini mudah dijumpai di laut," jelasnya.

Menurut Agustina, bumbunya hanya bawang merah dan putih yang dihaluskan bersama merica dan direbus dengan daun serai. Ikan dimasukkan saat rebusan kuah sudah mendidih. Karena itulah, daging kerapunya masih bagus, kenyal, dan tidak hancur.

Santap buka puasa itu akhirnya ditutup dengan koncok-koncok dan ketan srikaya. Koncok-Koncok adalah makanan yang, baik bentuk maupun rasanya, sangat mirip dengan empek-empek Palembang. Bedanya, koncok-koncok dibuat dengan daging ikan tongkol yang memang lebih mudah ditemui di Bawean dibandingkan ikan tengiri.

Ketan srikaya merupakan ketan kukus yang di atasnya diberi gula merah dan buah srikaya Bawean. Beda srikaya Bawean dengan srikaya lain adalah warna buahnya yang merah. Buah itu semakin menegaskan bahwa ketan srikaya hanya dapat dijumpai di Bawean.

Hidangan santap sahur yang disajikan keluarga yang terdiri atas lima orang ini berbeda dengan saat berbuka puasa. Yang pasti, semua makanannya masih berbahan dasar ikan laut. "Bawean memang kaya dengan ikan, namun tidak demikian dengan sayur-sayuran," kata Rusdy.

Menu sahur saat itu adalah rajungan kuah bali, tongkol bakar, dengan pencuci mulut sepiring lopis. Dari deretan menu tersebut, rajungan kuah bali paling memikat.

Baru kali ini, Jawa Pos menjumpai kuah bali yang khas Jawa Timur dipadukan dengan rajungan. Rasanya? Luar biasa. Daging rajungannya manis. Jika diguyur dengan kuah bali, gurihnya terasa pas.

Menikmati hidangan itu, ternyata, tidak sesulit menikmati kepiting. Cangkang rajungan relatif mudah dikelupas. Tak perlu beradu dengan gigi untuk menikmati daging yang terkumpul di cangkang badannya. Ukurannya yang pas dengan mulut membuat daging di tengah cangkang nikmat jika diseruput.

"Jangan diambil dengan tangan, tapi langsung dari mulut saja. Jangan lupa pula, daging di cangkang kaki. Di situ dagingnya juga banyak," saran Rusdy.

Setelah kenyang dengan santap sahur. Aroma ikan memang masih tercium di sekitar wajah dan tangan. Mungkin karena itu, ada sebuah pemeo di Bawean, janganlah makan ikan dengan sendok, nikmatnya akan hilang. (ib)

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean