Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Dingin atau Panas, Anyaman Tikar Bawean Tetap Nyaman

Dingin atau Panas, Anyaman Tikar Bawean Tetap Nyaman

Posted by Media Bawean on Jumat, 17 Oktober 2008

Media Bawean, 17 Oktober 2008

Sumber : Jawa Pos
Menengok kerajinan Tangan Hasil Budaya Bawean, Gresik.

Selain kurang promosi, keterbatasan tenaga kerja menjadi kendala utama kerajinan Bawean diproduksi secara masal. Alhasil, untuk urusan promosi, para perantaulah yang menjadi ujung tombak. Tak heran, meskipun masih sedikit, anyaman maupun batu onix Bawean telah sampai ke Singapura dan Malaysia.

ADI TRI PRAMONO, Gresik

Meskipun masih kesulitan diproduksi secara masal, kerajinan asal Bawean cukup berkualitas. Sentra perajin anyaman bambu ada di Desa Gunungtegu, sedangkan onix di Desa Sungaiteluk, dekat pelabuhan kapal. "Beberapa kali kami mendapatkan penyuluhan dari pemerintah. Selain memastikan kualitas produk, juga mengembangkannya," tutur Zubaidah, ibu kepala desa Gunungtegu yang menghimpun perajin anyaman pandan.

Meski demikian, Zubaidah kini masih kesulitan untuk menambah produksi anyamannya dalam jumlah besar. "Permintaan sebenarnya banyak, terutama asal Jawa. Namun, kami takut tidak bisa memenuhi pesanan," lanjutnya. Menurut Rukena, perajin yang ditemui Jawa Pos di rumah Zubaidah, kerajinan anyaman pandan sebenarnya pekerjaan waktu luang kaum perempuan. Biasanya, mereka menganyam di dapur sambil memasak.

Namun, bila ada pekerjaan yang mendatangkan pemasukan lebih besar, menganyam ditinggalkan. "Karena itu, kami tidak berani memproduksi masal kerajinan tersebut," tutur Rukena.

Selain persoalan itu, tanaman pandan yang menjadi bahan utama kini mulai jarang ditemui. Dulu, setiap rumah pasti memiliki pohon pandan di sekitarnya. "Nenek moyang kami selalu meminta menyisihkan sejengkal tanah di sekitar rumah guna ditanami pohon pandan," kenangnya. Namun, sekarang tanaman tersebut mulai berkurang. Daun pandan yang digunakan untuk menganyam bukanlah daun pandan wangi untuk memasak. Melainkan, daun pandan liar yang panjangnya bisa mencapai 2 m per lembar. Biasanya, tanaman itu tumbuh subur di daerah sejuk. Tak heran, kebanyakan perajin tinggal di Gunungtegu yang memang terletak di bukit.

Untuk membuat anyaman tersebut, daun pandan mula-mula dijemur terlebih dulu hingga kering. Untuk menghasilkan warna-warni, barulah pandan yang telah kering direbus dengan bahan-bahan alami sekaligus ditambah dengan sedikit pewarna kimia. Untuk warna hitam, pandan yang telah kering direbus dengan daun jati. Selanjutnya, pandan direndam dalam lumpur, baru dicampur dengan pewarna ungu, merah, dan hijau. "Warna kimia ungu, merah, dan hijau itu digunakan untuk mengkilatkan warna hitam dari lumpur," jelasnya. Penggunaan bahan alami memang mendominasi dalam pembuatan anyaman. Selain memakai bahan alami, anyaman Bawean kaya motif. Antara lain, corak mata lembu, seksek bange, dan peti tumpuk. Corak-corak itu ada dalam semua jenis anyaman Bawean. Yakni, tikar, sajadah, tas, maupun dompet. "Tas dan dompet baru dibuat setelah dapat penyuluhan dari disperindag. Ada beberapa ibu-ibu yang diikutkan dalam penyuluhan di Tasikmalaya pada 1994 tersebut," imbuh Rukena.

Selain penyuluhan, ibu satu anak itu menambahkan, pengembangan bentuk maupun motif didapatkan dari pelanggan. Seperti saat puasa dan Lebaran lalu, anyaman Bawean dipastikan laris. Sebab, banyak perantau (TKW/TKI) yang membeli kerajinan itu untuk dibawa ke negara rantauan. Bulan puasa juga merupakan waktu penghasil anyaman terbanyak. Sebab, para ibu memiliki waktu luang lebih banyak daripada hari biasa.

Saat ini setiap anyaman yang dihasilkan oleh ibu-ibu dikumpulkan di rumah Zubaidah. "Yang berminat bisa datang ke rumah Bu Lurah. Untung, ada Bu Lurah yang tanggap dengan kerajinan tersebut," tutur Rukena.

Untuk selembar tikar, Zubaidah biasanya menjual dengan harga Rp 35 ribu. Sedangkan sajadah dihargai Rp 30 ribu. Harga bervariasi dikenakan untuk jenis anyaman tas dan dompet, berkisar antara Rp 7 ribu hingga Rp 30 ribu.

Di hari selain puasa dan Lebaran, papar Zubaidah, penganyam biasanya akan menimbun bahan pandan saat musim hujan. "Jika musim hujan, susah menjemur. Karena itu, pandan ditimbun, baru dikerjakan pada musim panas," ungkapnya. Dia lantas mengeluh bahwa cuaca makin tidak menentu.

Cara itu juga cukup efektif untuk menyiasati kelangkaan pandan. Yang jelas, lanjut Zubaidah, produk anyaman di desanya bisa menyesuaikan dengan cuaca. Jika panas, tikar Bawean akan terasa dingin. Sedangkan saat dingin, tikar akan menghangat. Itulah yang membuat anyaman-anyaman Bawean nyaman dipakai. (end)

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean