Media Bawean, 17 Oktober 2008
Oleh: Musyayana
Birokratisme pelayanan publik menimbulkan implikasi yang panjang yaitu berupa penurunan posisi tawar masyarakat terhadap birokrasi. Sudah menjadi kenyataan di daerah bahwa banyak masyarakat yang mengalami hambatan ketika berhadapan dengan birokrasi dalam hal pelayanan publik. Hambatan-hambatan tersebut meliputi tidak transparannya prosedur dan tata cara perijinan, termasuk jenis ijin yang harus dimiliki, persyarakat yang memberatkan dan inkonsisten, waktu pelayanan yang berbelit-belit serta biaya pelayanan yang tidak pasti (fluktuatif).
Dalam tataran empiris bahwa birokratisme pelayanan publik juga melahirkan praktek-praktek klientelisme dan rente (rent seekers) antara birokrasi di daerah dengan beberapa kelompok masyarakat, khususnya kelompok dari sektor bisnis. Kecenderungan yang terjadi di daerah dimana pengusaha yang mendapatkan kemudahan dan fasilitas adalah mereka yang menjadi patronase politik dengan birokrasi. Kedekatan personal dengan orang dalam adalah jaminan yang pasti untuk mendapatkan kemudahan dalam pelayanan publik maupun distribusi sumber daya ekonomi.
Semakin pentingnya kedekatan personal dalam hubungan birokrasi dengan kalangan bisnis, tentu saja bermuara pada lahirnya politik penyingkiran (political exclution) secara sistematis bagi kelompok masyarakat yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dan kedekatan dengan aparat birokrasi atau masyarakat yang tidak sanggup membayar biaya-biaya birokrasi. Tidak transparannya informasi mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan peraturan serta rumitnya aturan-aturan yang dikeluarkan oleh birokrasi akhirnya akan melahirkan praktek-parktek pencaloan dalam pelayanan publik. Bahkan sebagian besar broker ini berasal dari aparat birokrasi sendiri atau setidaknya orang yang mempunyai kedekatan personal dengan orang dalam lembaga birokrasi. Menjamurnya praktek memburu rente memberikan kontribusi terhadap munculnya ekonomi biaya tinggi dalam masyarakat.
Diskursus mengenai reformasi birokrasi dan pelayanan publik menyangkut dua level pembicaraan; pertama, bagaimana mengurangi peran monopolistik negara terhadap pelayanan publik. Dalam isu ini termasuk bagaimana menghapus peran monopoli negara dan membuka kran bagi pihak swasta untuk masuk pada industri pelayanan publik. Kedua, bagaimana merubah karakter birokrasi dari kecenderungan omnipotent menjadi berorientasi publik.
Untuk mewujudkan perubahan pada dua level tersebut akan selalu berhubungan dengan konteks perkembangan ekonomi masyarakat. Ada sejumlah hipotesa yang bisa menjelaskan korelasi antara tingkat perkembangan ekonomi dengan pelayanan publik yang ada di suatu daerah. Hipotesa pertama, dalam masyarakat yang tingkat ekonominya rendah maka pelayanan publik yang tersedia sebagian besar dilakukan oleh negara dan atau lembaga-lembaga non profit. Sebaliknya, pada masyarakat yang tingkat ekonominya semakin tinggi diikuti munculnya pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pihak swasta. Dengan demikian, besarnya intervensi negara dalam pelayanan publik akan ditentukan oleh tingkat kehidupan ekonomi masyarakat. Sehingga, berkurangnya intervensi pemerintah dalam pelayanan publik akan pararel dengan semakin meningkatnya tingkat ekonomi masyarakat.
Hipotesa kedua melihat pelayanan publik dalam logika “pasar” yaitu supply and demand. Apabila tuntutan pelayanan (demands) semakin besar yang diakibatkan oleh semakin tinggi tingkat kehidupan ekonomi masyarakat maupun kesadaran masyarakat terhadap haknya, diikuti dengan semakin meningkatnya (kuantitas maupun kualitas) pelayanan publik oleh negara terhadap masyarakat, maka masalah pelayanan publik tidak akan muncul di masyarakat (Paul A.Samuelson, Economics). Sedangkan apabila demands lebih besar dari supply, maka hasil akhirnya akan memunculkan beberapa aktivitas dalam pelayanan publik. Yang pertama; ketidakmampuan negara untuk memberikan pelayanan publik bisa digantikan oleh pihak swasta dan lembaga non profit. Yang kedua, ketidakmampuan negara justru mengakibatkan hadirnya “black market bureucrcy”

Birokratisme pelayanan publik menimbulkan implikasi yang panjang yaitu berupa penurunan posisi tawar masyarakat terhadap birokrasi. Sudah menjadi kenyataan di daerah bahwa banyak masyarakat yang mengalami hambatan ketika berhadapan dengan birokrasi dalam hal pelayanan publik. Hambatan-hambatan tersebut meliputi tidak transparannya prosedur dan tata cara perijinan, termasuk jenis ijin yang harus dimiliki, persyarakat yang memberatkan dan inkonsisten, waktu pelayanan yang berbelit-belit serta biaya pelayanan yang tidak pasti (fluktuatif).
Dalam tataran empiris bahwa birokratisme pelayanan publik juga melahirkan praktek-praktek klientelisme dan rente (rent seekers) antara birokrasi di daerah dengan beberapa kelompok masyarakat, khususnya kelompok dari sektor bisnis. Kecenderungan yang terjadi di daerah dimana pengusaha yang mendapatkan kemudahan dan fasilitas adalah mereka yang menjadi patronase politik dengan birokrasi. Kedekatan personal dengan orang dalam adalah jaminan yang pasti untuk mendapatkan kemudahan dalam pelayanan publik maupun distribusi sumber daya ekonomi.
Semakin pentingnya kedekatan personal dalam hubungan birokrasi dengan kalangan bisnis, tentu saja bermuara pada lahirnya politik penyingkiran (political exclution) secara sistematis bagi kelompok masyarakat yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dan kedekatan dengan aparat birokrasi atau masyarakat yang tidak sanggup membayar biaya-biaya birokrasi. Tidak transparannya informasi mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan peraturan serta rumitnya aturan-aturan yang dikeluarkan oleh birokrasi akhirnya akan melahirkan praktek-parktek pencaloan dalam pelayanan publik. Bahkan sebagian besar broker ini berasal dari aparat birokrasi sendiri atau setidaknya orang yang mempunyai kedekatan personal dengan orang dalam lembaga birokrasi. Menjamurnya praktek memburu rente memberikan kontribusi terhadap munculnya ekonomi biaya tinggi dalam masyarakat.
Diskursus mengenai reformasi birokrasi dan pelayanan publik menyangkut dua level pembicaraan; pertama, bagaimana mengurangi peran monopolistik negara terhadap pelayanan publik. Dalam isu ini termasuk bagaimana menghapus peran monopoli negara dan membuka kran bagi pihak swasta untuk masuk pada industri pelayanan publik. Kedua, bagaimana merubah karakter birokrasi dari kecenderungan omnipotent menjadi berorientasi publik.
Untuk mewujudkan perubahan pada dua level tersebut akan selalu berhubungan dengan konteks perkembangan ekonomi masyarakat. Ada sejumlah hipotesa yang bisa menjelaskan korelasi antara tingkat perkembangan ekonomi dengan pelayanan publik yang ada di suatu daerah. Hipotesa pertama, dalam masyarakat yang tingkat ekonominya rendah maka pelayanan publik yang tersedia sebagian besar dilakukan oleh negara dan atau lembaga-lembaga non profit. Sebaliknya, pada masyarakat yang tingkat ekonominya semakin tinggi diikuti munculnya pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pihak swasta. Dengan demikian, besarnya intervensi negara dalam pelayanan publik akan ditentukan oleh tingkat kehidupan ekonomi masyarakat. Sehingga, berkurangnya intervensi pemerintah dalam pelayanan publik akan pararel dengan semakin meningkatnya tingkat ekonomi masyarakat.
Hipotesa kedua melihat pelayanan publik dalam logika “pasar” yaitu supply and demand. Apabila tuntutan pelayanan (demands) semakin besar yang diakibatkan oleh semakin tinggi tingkat kehidupan ekonomi masyarakat maupun kesadaran masyarakat terhadap haknya, diikuti dengan semakin meningkatnya (kuantitas maupun kualitas) pelayanan publik oleh negara terhadap masyarakat, maka masalah pelayanan publik tidak akan muncul di masyarakat (Paul A.Samuelson, Economics). Sedangkan apabila demands lebih besar dari supply, maka hasil akhirnya akan memunculkan beberapa aktivitas dalam pelayanan publik. Yang pertama; ketidakmampuan negara untuk memberikan pelayanan publik bisa digantikan oleh pihak swasta dan lembaga non profit. Yang kedua, ketidakmampuan negara justru mengakibatkan hadirnya “black market bureucrcy”
Posting Komentar