Media Bawean, 24 Oktober 2008
Sumber : Jawa Pos
Angkat dengan Ekskavasi, Sesalkan Pecahnya Prasasti
Makam panjang dan seni dikker merupakan beberapa contoh peninggalan budaya Bawean yang saat ini masih bisa dilihat. Itu tak lepas dari ekskavasi yang kini gencar dilakukan warga Bawean. Sayang, ekskavasi itu tidak dapat mengembalikan batu prasasti Hanacaraka yang telah dipecah karena digunakan untuk bahan baku jembatan.
Adi Tri Pramono, Gresik
Ekskavasi budaya adalah penggalian kembali budaya yang ada dalam sebuah komunitas. Banyak budaya yang terempas hanya karena ekskavasi yang jarang dilakukan oleh generasi penerus suatu budaya. Menghindari hal itu, beberapa tokoh Bawean sangat intens untuk urusan ekskavasi tersebut.
Saat mengunjungi Bawean menjelang Lebaran lalu, Jawa Pos tak melewatkan kesempatan untuk mengetahui proses ekskavasi itu. Jawa Pos berkesempatan mengunjungi salah seorang budayawan Bawean, yakni Cuk Sugrito. Dia adalah orang yang direkomendasikan beberapa tokoh budaya, baik di Gresik maupun Bawean, untuk dikunjungi Jawa Pos bila ingin menelusuri budaya Bawean.
Cuk Sugrito tampak sangat bersemangat menjelaskan budaya Bawean. Penjelasannya dimulai dengan menuturkan asal kata Bawean. Dulu, kata Cuk, Bawean bernama Majhethi. Kebudayaan Bawean mulai terlacak saat Aji Saka mengunjungi pulau itu.
"Sebelum menaklukkkan Jawa, Aji Saka singgah di Majhethi dengan dua orang punakawan (pengawal), yakni Duro dan Sembodo," jelas Cuk. Saat itu, tanah Jawa masih dikuasai seorang raja bernama Dewata Cengkar.
Saat hidup di Majhethi, Aji Saka yang berasal dari India sudah menyebarkan budaya Hindu India. Budaya itu pula yang disebarkan Aji Saka tatkala berhasil menaklukkan tanah Jawa. Situs budaya yang menunjukkan peninggalan budaya tersebut adalah Stupika berupa guci maupun kerajinan tembikar di Desa Batu Sendi yang berangka tahun lebih tua daripada Candi Borobudur.
Stupika itu sekarang berada di Jakarta. "Yang menemukan adalah anak-anak SD yang sedang menggali lubang untuk kegiatan Pramuka. Tiba-tiba mereka menemukan guci-guci tersebut. Setelah diteliti oleh arkeolog dari Jakarta, ternyata, berumur lebih tua dari Candi Borobudur," jelas Cuk.
Jejak tersebut dilanjutkan tatkala Aji Saka merasa sudah memiliki cukup kemampuan untuk menaklukkan Dewata Cengkar di Jawa. "Jadi, Bawean digunakan Aji Saka untuk menghimpun kekuatan dalam bentuk pusaka untuk menaklukkan Dewata Cengkar. Selain itu, dia meninggalkan budaya," lanjut mantan kepala sekolah Yayasan Pendidikan Umar Mas'ud itu.
Aji Saka pun bertolak ke tanah Jawa. Duo punakawan yang mendampinginya diberi tugas berbeda. Duro diajak menemaninya ke Jawa, sedangkan Sembodo tetap di Majhethi untuk menjaga pusaka-pusaka Aji Saka. Kepada Sembodo, Aji Saka berpesan bahwa satu-satunya orang yang berhak untuk mengambil pusaka-pusaka itu adalah dirinya. "Janganlah sampai diambil orang lain, kecuali Aji Saka," imbuh Cuk.
Dalam penaklukkannya, Aji Saka dikisahkan berhasil mengalahkan Dewata Cengkar. Teringat akan pusaka-pusakanya di Pulau Majhethi, Aji Saka lalu menyuruh Duro untuk mengambil pusaka tersebut. Merasa pesan yang dibawa Duro itu bertentangan, Sembodo menolak memberikan pusaka tersebut. Hingga akhirnya, dua punakawan itu terlibat pertarungan demi menjaga amanat Aji Saka.
Sayang, baik Duro maupun Sembodo akhirnya sama-sama mati. Mendengar peristiwa tersebut, Aji Saka lalu datang ke Majhethi dan memakamkan dua pengawalnya itu. Sembodo dimakamkan di makam yang saat ini dikenal warga Bawean dengan Makam Panjang di daerah pantai Desa Lebak, sedangkan Duro dimakamkan di bukitnya.
Peristiwa itulah yang mengilhami penciptaan sejarah tulisan Jawa hanacaraka datasawala podojoyonyo mogobothongo (ada dua kestaria, yang sama kuatnya, bertarung karena mengemban amanat, dan akhirnya mati dua-duanya). Tulisan inilah yang oleh Sultan Agung dijadikan abjad tulisan Jawa pada masa Mataram Islam.
Satu-satunya prasasti yang menunjukkan sejarah itu ada di Bawean, yakni dalam bentuk sebuah batu. Namun sayang, beberapa tahun lalu, untuk maksud pembangunan jembatan, kepala Desa Lebak yang saat itu dijabat Abdul Muin menyuruh anak buahnya memecah batu prasasti tersebut untuk digunakan sebagai bahan pembangunan jembatan.
Menurut beberapa warga, Abdul Muin beralasan, di atas batu tersebut sering dijadikan tempat menaruh bunga-bunga sesaji.(ib)
Sumber : Jawa Pos
Angkat dengan Ekskavasi, Sesalkan Pecahnya Prasasti
Makam panjang dan seni dikker merupakan beberapa contoh peninggalan budaya Bawean yang saat ini masih bisa dilihat. Itu tak lepas dari ekskavasi yang kini gencar dilakukan warga Bawean. Sayang, ekskavasi itu tidak dapat mengembalikan batu prasasti Hanacaraka yang telah dipecah karena digunakan untuk bahan baku jembatan.
Adi Tri Pramono, Gresik
Ekskavasi budaya adalah penggalian kembali budaya yang ada dalam sebuah komunitas. Banyak budaya yang terempas hanya karena ekskavasi yang jarang dilakukan oleh generasi penerus suatu budaya. Menghindari hal itu, beberapa tokoh Bawean sangat intens untuk urusan ekskavasi tersebut.
Saat mengunjungi Bawean menjelang Lebaran lalu, Jawa Pos tak melewatkan kesempatan untuk mengetahui proses ekskavasi itu. Jawa Pos berkesempatan mengunjungi salah seorang budayawan Bawean, yakni Cuk Sugrito. Dia adalah orang yang direkomendasikan beberapa tokoh budaya, baik di Gresik maupun Bawean, untuk dikunjungi Jawa Pos bila ingin menelusuri budaya Bawean.
Cuk Sugrito tampak sangat bersemangat menjelaskan budaya Bawean. Penjelasannya dimulai dengan menuturkan asal kata Bawean. Dulu, kata Cuk, Bawean bernama Majhethi. Kebudayaan Bawean mulai terlacak saat Aji Saka mengunjungi pulau itu.
"Sebelum menaklukkkan Jawa, Aji Saka singgah di Majhethi dengan dua orang punakawan (pengawal), yakni Duro dan Sembodo," jelas Cuk. Saat itu, tanah Jawa masih dikuasai seorang raja bernama Dewata Cengkar.
Saat hidup di Majhethi, Aji Saka yang berasal dari India sudah menyebarkan budaya Hindu India. Budaya itu pula yang disebarkan Aji Saka tatkala berhasil menaklukkan tanah Jawa. Situs budaya yang menunjukkan peninggalan budaya tersebut adalah Stupika berupa guci maupun kerajinan tembikar di Desa Batu Sendi yang berangka tahun lebih tua daripada Candi Borobudur.
Stupika itu sekarang berada di Jakarta. "Yang menemukan adalah anak-anak SD yang sedang menggali lubang untuk kegiatan Pramuka. Tiba-tiba mereka menemukan guci-guci tersebut. Setelah diteliti oleh arkeolog dari Jakarta, ternyata, berumur lebih tua dari Candi Borobudur," jelas Cuk.
Jejak tersebut dilanjutkan tatkala Aji Saka merasa sudah memiliki cukup kemampuan untuk menaklukkan Dewata Cengkar di Jawa. "Jadi, Bawean digunakan Aji Saka untuk menghimpun kekuatan dalam bentuk pusaka untuk menaklukkan Dewata Cengkar. Selain itu, dia meninggalkan budaya," lanjut mantan kepala sekolah Yayasan Pendidikan Umar Mas'ud itu.
Aji Saka pun bertolak ke tanah Jawa. Duo punakawan yang mendampinginya diberi tugas berbeda. Duro diajak menemaninya ke Jawa, sedangkan Sembodo tetap di Majhethi untuk menjaga pusaka-pusaka Aji Saka. Kepada Sembodo, Aji Saka berpesan bahwa satu-satunya orang yang berhak untuk mengambil pusaka-pusaka itu adalah dirinya. "Janganlah sampai diambil orang lain, kecuali Aji Saka," imbuh Cuk.
Dalam penaklukkannya, Aji Saka dikisahkan berhasil mengalahkan Dewata Cengkar. Teringat akan pusaka-pusakanya di Pulau Majhethi, Aji Saka lalu menyuruh Duro untuk mengambil pusaka tersebut. Merasa pesan yang dibawa Duro itu bertentangan, Sembodo menolak memberikan pusaka tersebut. Hingga akhirnya, dua punakawan itu terlibat pertarungan demi menjaga amanat Aji Saka.
Sayang, baik Duro maupun Sembodo akhirnya sama-sama mati. Mendengar peristiwa tersebut, Aji Saka lalu datang ke Majhethi dan memakamkan dua pengawalnya itu. Sembodo dimakamkan di makam yang saat ini dikenal warga Bawean dengan Makam Panjang di daerah pantai Desa Lebak, sedangkan Duro dimakamkan di bukitnya.
Peristiwa itulah yang mengilhami penciptaan sejarah tulisan Jawa hanacaraka datasawala podojoyonyo mogobothongo (ada dua kestaria, yang sama kuatnya, bertarung karena mengemban amanat, dan akhirnya mati dua-duanya). Tulisan inilah yang oleh Sultan Agung dijadikan abjad tulisan Jawa pada masa Mataram Islam.
Satu-satunya prasasti yang menunjukkan sejarah itu ada di Bawean, yakni dalam bentuk sebuah batu. Namun sayang, beberapa tahun lalu, untuk maksud pembangunan jembatan, kepala Desa Lebak yang saat itu dijabat Abdul Muin menyuruh anak buahnya memecah batu prasasti tersebut untuk digunakan sebagai bahan pembangunan jembatan.
Menurut beberapa warga, Abdul Muin beralasan, di atas batu tersebut sering dijadikan tempat menaruh bunga-bunga sesaji.(ib)
Posting Komentar