Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Pengadilan Anak

Pengadilan Anak

Posted by Media Bawean on Minggu, 26 Oktober 2008

Media Bawean, 26 Oktober 2008










Oleh: A. Fuad Usfa


1. Anak

Anak adalah tunas pemangku tongkat estafet masa depan nagara, bangsa, maupun agama, oleh sebab itu perhatian yang besar terhadap anak berarti perhatian yang besar pula terhadap nagara, bangsa maupun agama.

Anak dilahirkan dalam keadaan suci, orang tuanya (lingkungan) akan membentuknya. Manakala anak hanya hidup bersama orang tuanya saja, maka referensi utamanya adalah orang tuanya, mana kala dengan komunitas adat saja, maka komunitas adatpun menjadi referensi utamanya, demikian selanjutnya, makin kompleks lingkungan akan makin kompleks pula referensinya.

Pada diri manusia terdapat aspek fitrah dan aspek bentukan, perilaku manusia didominasi oleh aspek bentukan. Terbentuknya perilaku manusia melalui proses; dominan melalui proses panjang, melalui berbagai pengalaman baik pengalaman fisik maupun psikis.

Dalam hidup manusia terdiri dari kelompok dan individu, dalam perjalanan hidupnya individu berkembang melalui proses. Proses perkembangan berjalan beriringan antara perkembangan fisik, jiwa dan akal-pikir, hanya saja perkembangan fisik terdapat masa berhenti, sedang perkembangan jiwa dan akal-pikir terus berjalan seiring dengan berbagai pengalaman yang dilaluinya.

Masa kematangan jiwa dan akal-pikir bukan berarti berhentinya perkembangan jiwa dan akal-pikir. Sebelum masuk pada masa kematangan jiwa dan akal-pikir tersebut individu melalui suatu masa labil, yang mana pada masa ini terjadi pergolakan dalam diri individu, pada masa ini individu ingin menemukan identitas diri, pada masa ini ia sedang aktif mencari figur di luar dirinya, pada masa ini pulalah keakuan mengedepan, orang-orang sekitar ‘tersisihkan’. Pada masa ini terjadi kesenjangan antara perkembangan fisik dan jiwa serta akal-pikirnya. Secara fisik individu sudah sama dengan orang dewasa, perhatikan tubuh dan segala yang melekat padanya, termasuk organ sexualnya. Perhatikan pula lambing-lambang kedewasaan, seperti rambut pada bagian-bagian tertentu seperti kumis, jenggot, bagian ketiak dan sebagainya sudah sama dengan orang dewasa, sementara pada jiwa dan akal-pikir masih tertinggal di belakang. Di masa itu jiwa individu merasa sebagai ‘aku’, ‘aku’, ‘aku’, sedang dalam kenyataannya ia masih sangat tergantung pada orang lain, misalnya perlu uang, bergantung pada orang tua, perlu ilmu pengetahuan bergantung pada guru, ustadz, dan sebagainya.

Dalam pencarian identitas diri itulah ia mesti menampilkan dirinya, individu tidak memperhitungkan apakah yang ia lakukan itu positif ataukah negatif dalam pandangan orang di luar dirinya, yang terpenting baginya ‘tampil’ dan ‘tampil’. Dalam posisi inilah individu memerlukan perhatian. Perhatian yang berupa penghargaan akan prestasi sekecil apapun amatlah bermakna baginya, katakan suatu misal, ia tidak pandai tapi pasti ia memiliki kelebihan lain, taruhlah suatu misal ia mempunyai kemampuan kearifan dalam berkomunikasi, maka berilah penghargaan dalam hal itu dan dorong serta bantulah ia untuk mengembangkan kelebihannya itu; suatu misal lain, ia tidak pandai, tapi mempunyai keahlian dalam olah raga sepak bola, maka hargailah ia di bidangnya itu, dan seterusnya.

Dalam masa itu perhatian dan penghargaan amatlah ia butuhkan, bila itu dirasa tidak didapatkan, maka akan mencari, dan individu bisa berjalan menurut jalannya sendiri. Oleh sebab itu bantulah ia dalam menemukan dan menentukan identitas diri. Jauhkanlah dari sikap memanjakan, karena bukan itu yang dibutuhkannya.

Pada masa itulah yang dikenal masa remaja; adapun dalam istilah hukum yang termaktub dalam berbagai perundang-undangan di Indonesia masa itu juga masih disebut sebagai anak.

2. Anak dan Hukum
Pada usia tertentu anak tidak dibebani tanggung jawab hukum, tapi ada masa yang mana anak dapat dibebani tanggung jawab hukum. Dalam hukum pidana anak sebelum usia 8 tahun tidak dapat dibebani tanggung jawab hukum, tapi bagi anak usia 8 tahun hingga 12 tahun dapat dibebani tanggung jawab hukum, artinya bagi anak sebelum usia 8 tahun bila melakukan tindak pidana tidak boleh dijatuhi hukuman, ia dianggap belum dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Sedang anak berusia 8 tahun hingga 12 tahun dapat dibebani tanggung jawab hukum hanya sebatas pada penjatuhan tindakan, dan anak usia 12 tahun hingga 18 tahun dapat dibebani tanggung jawab hukum baik berupa tindakan ataupun pidana.

Dalam sanksi hukum pidana terdapat istilah tindakan dan pidana. Secara teoritis tindakan dan pidana dapat dibedakan, yang mana tindakan semata-mata untuk melakukan pendekatan persuasi-dedaksi, sedang pidana (dalam konteks teori modern) adalah untuk melakukan pendekatan pembinaan.

Dalam bentuknya yang tertuang dalam undang-undang, tindakan berupa:
1. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
2. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja, atau;
3. Menyerahkan kepada Departemen Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.

Tindakan sebagaimana tersebut di atas dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim. (Pasal 24 UU No. 3 tahun 1997).

Sedang pidana berupa:
I. Pidana Pokok:
1. Pidana Penjara;
2. Pidana Kurungan;
3. Pidana Denda;
4. Pidana Pengawasan.

II. Pidana Tambahan:
1. Perampasan Barang-barang Tertentu;
2. Pembayaran Ganti Rugi.(pasal 23 UU no. 3 tahun 1997)


3. Penjatuhan Sanksi Pidana

Dalam persoalan penjatuhan sanksi pidana ini pada perinsipnya terdapat tiga teori, yaitu teori pembalasan, teori tujuan, dan teori campuran. Teori pembalasan berpendapat, bahwa seseorang yang melakukan tindak pidana harus diberi pembalasan, misalnya mata dengan mata, telinga dengan telinga, dan sebagainya. Teori tujuan berpendapat, bahwa penjatuhan pidana harus didasarkan pada tujuan tertentu, misalnya setelah dipidana akan menjadi orang baik, dan sebagainya. Sedang teori campuran adalah gabungan keduanya.

Teori yang berkembang sebagai teori modern adalah teori pembinaan, sebagai pengembangan dari teori tujuan. Teori pembinaan ini berpendapat seseorang yang melakukan tindak pidana disebabkan berbagai factor yang mempengaruhinya, oleh sebab itu maka harus dilakukan pembinaan (kontra pengaruh), agar ia menjadi manusia yang positif.

Teori hukum pidana ini didasarkan pada pertanyaan, apakah seseorang itu in determinant (merdeka dalam menentukan segala sikapnya) ataukah determinant (banyak faktor yang dapat mempengaruhi, yang seringkali manusia tidak dapat menghindar di luar kemampuan pengendalian dirinya). Pertanyaan tersebut jawabnya pada filsafat indeterminisme dan determinisme. Indeterminisme berpendapat, bahwa manusia sepenuhnya dapat menentukan perilakunya, sedang determinisma berpendapat, bahwa banyak faktor yang mempengaruhi pada perilaku manusia, misalnya faktor keluarga, anak menjadi nakal disebakan ditinggal bapak-ibunya ke Malaysia, sedang anak diasuh oleh neneknya, dan sang nenek selalu memanjakan, sehingga ia mudah terpengaruh untuk hal-hal yang negatif. Determinisme mempunyai pengaruh besar terhadap teori modern dalam hukum pidana khususnya.

4. Anak dan Hukum Pidana Indonesia

Dalam penjelasan atas Undang-undang noomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pada bagian umum disebutkan, ‘……terdapat pula anak yang karena satu dan lain hal tidak memperoleh kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental maupun sosial. Karena keadaan diri yang tidak memadai tersebut, maka baik sengaja maupun tidak sengaja sering juga anak melakukan tindakan atau perilaku yang dapat merugikan dirinya dan atau masyarakat. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hokum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negative dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan social yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih saying, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya’.

Pernyataan di atas menunjukkan kuatnya pengaruh determinisme. Atas kenakalan anak masyarakat dan Negara tidak boleh lepas tangan dari tanggung jawab, maka itu sesungguhnya anak adalah merupakan pelaku yang sekaligus korban dari kondisi di luar dirinya. Kondisi jiwa dan akal-pikir yang masih labil dan sedang mencari identitas diri harus di jaga dan jangan sampai dilanda trauma, stigma serta putus asa, sehingga bukan justru mengarahkan anak pada masa depan yang positif. Seharusnyalah peradilan yang diterapkan bagi mereka tidak ‘mematikan’ masa depannya.

Dalam peradilan anak tidaklah boleh disamakan dengan peradilan pada orang dewasa, baik pada aspek hokum materiil maupun hokum formilnya. Undang-undang no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah memberi berbagai pengecualian yang mendasar, dan dipertegas lagi dengan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tersebut telah pula mencabut keberadaan pasal 45, 46, 47 KUHP. Sanksi hukum yang diterapkan terhadap anak hanya separuh daripada orang dewasa. Dalam hal melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, maka hanya dijatuhi pdana paling tinggi 10 tahun penjara, dan bila usianya belum mencapai 12 tahun hanya boleh dijatuhi tindakkan.

Dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditentukan, bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi; penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dilakukan sebagai upaya terakhir.

Hukum acara terhadap anak harus dilakukan secara persuasi. Mulai dari tingkat penyidikan sampai dengan pengambilan putusan. Penyidik , Jaksa Penuntut Umum ataupun Hakim harus dilakukan oleh orang-orang yang secara khusus dan mempunyai kepedulian terhadap anak. Dalam setiap tahapan proses para petugas hukum tidak menggunakan baju seragam, dan hakim tidak menggunakan toga. Pada perinsipnya hakim tunggal. Dalam semua tingkatan proses anak didampingi oleh penasehat hukum dan pendamping lainnya seperti orang tua atau wali, ataupun pembimbing kemasyarakatan. Mereka ikut dalam semua tingkatan pemeriksaan. Semua komponen, baik keluarga, masyarakat pada umumnya serta Negara diwajibkan mengawal dalam rangka perlindungan terhadap anak, demi masa depannya, dan bahkan media massa tidak boleh menulis nama pihak-pihak yang terlibat, melainkan hanya dengan menulis inisial/singkatan saja.

Dengan mengacu pada semangat undang-undang tentang Pengadilan Anak, tentang Perlindungan Anak dan perinsip Hak Azazi Manusia, maka pihak-pihak yang terlibat dalam penanganan kasus anak hendaknya dari mereka-mereka yang amat mempunyai kepedulian terhadap anak. Lakukanlah pendekatan secara persuasi, dan bilamana anak terpaksa harus dilakukan penahanan, dan tidak ada jalan lain, maka sediakan tempat penahanan yang sangat kondusif untuk menghindari terjadinya trauma, stigma serta hilangnya rasa percaya diri.

5. Kasus Anak di Pulau Bawean

Mengingat Pulau Bawean merupakan bagian dari wilayah hukum Pengadilan Negeri Gresik, dan biasanya siding-sindang selalu dilakukan di Pengadilan Negeri Gresik.

Beberapa waktu yang baru lalu di Pulau Bawean terdapat kasus yang menimpa anak, dalam informasi yang dapat penulis baca di Media Bawean terdapat lima anak yang terlibat, yaitu dengan usia 18 tahun, 16 tahun, 15 tahun, serta dua anak berusia 14 tahun.

Bila kasus anak tersebut terpaksa terus berlanjut, maka gelar sidang di Pengadilan Negeri Gresik tentu tidak mendukung terhadap semangat undang-undang dan prinsip Hak Azazi Manusia, dalam hal ini terhadap anak, maka selayaknyalah Negara mampu menunjukkan tanggung jawabnya dengan cara memfungsikan ruang siding yang telah dibangun di Pulau Bawean yang terletak di wilayah Desa Sawah Mulya Kecamatan Sangkapura.

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean