Media Bawean, 6 Oktober 2008
Sumber : Jawa Pos
Mengunjungi Pulau Bawean Menjelang Lebaran (1)
Mengunjungi Pulau Bawean menjelang Lebaran adalah perkecualian yang tidak akan didapatkan pada hari biasa. Tidak hanya hiruk pikuk pemudik yang terasa, predikat Pulau Putri seakan lenyap untuk sementara waktu.
Adi Tri Pramono, Bawean
Menjelang Lebaran, semboyan mangan ora mangan asal kumpul terasa sangat pas untuk menggambarkan suasana Pulau Bawean. Saat itu rasanya tidak ada yang lebih penting daripada bertemu sanak saudara untuk merayakan Idul Fitri.
Suasana tersebut sangat terasa, bahkan sebelum menjejakkan kaki di pulau yang terletak sekitar 80 mil sebelah utara Kota Gresik itu. Selama perjalanan bersama para pemudik, kemeriahan suasana Lebaran sudah terasa.
Sebagai pulau yang terpisah dengan induknya, yakni Kabupaten Gresik, perjalanan ke Bawean hanya bisa ditempuh lewat laut. Jawa Pos pun berangkat ke Bawean dengan kapal cepat Express Bahari. Jawa Pos berangkat Sabtu (27/9) sekitar pukul 09.00. Tiketnya Rp 160.000 sekali jalan.
Kapal tersebut mampu melaju dengan kecepatan rata-rata 23 knot sehingga perjalanan laut sejauh 80 mil bisa dijangkau dalam tiga jam saja. Bandingkan dengan kapal Dharma Kartika yang harus berlayar selama 8-9 jam.
Selain mampu mengangkut 344 orang plus barang bawaannya, kapal yang diproduksi pada 2005 oleh perusahaan galangan kapal Caterpilar asal AS itu memiliki standar keamanan laut kelas wahid. Kapal yang dinakhodai Yosis Dinun Sada tersebut dilengkapi peralatan EPIRB (emergency position indicating radio beacon).
Radio itu adalah semacam kotak hitam untuk kapal laut. Salah satu fungsinya, jika dalam kondisi berbahaya, kotak hitam tersebut tinggal dilempar ke laut dan langsung mengeluarkan sinyal SOS yang bisa diterima pusat kontrol lalu lintas kapal maupun kapal lain yang sedang lewat.
''Fasilitas inilah yang membuat nyaman penumpang, meski kapal melaju dengan kecepatan 23 knot," jelas Yosis.
Kapal Express Bahari memiliki tiga buah mesin dengan total 3.600 daya kuda. Torsi yang dihasilkan dengan kekuatan itu sebesar 2.300 rpm. ''Torsi inilah yang membuat kapal itu disebut kapal cepat," lanjut alumnus angkatan pertama SPIP Palembang tersebut.
Untuk konsumsi bahan bakar, dibutuhkan lima ton solar untuk perjalanan PP Gresik-Bawean. Saat beroperasi, Yosis dibantu tiga asisten kapten yang bergantian menakhodai kapal yang memiliki enam buah sekoci itu. Sekoci tersebut mampu menampung 65 orang dan digunakan jika kapal dalam keadaan bahaya.
Sepanjang perjalanan, ombak kala itu, menurut Yosis, masih tergolong normal. Meski begitu, ombak tersebut mampu mengombang-ambingkan isi perut penumpang. Tak ayal, beberapa penumpang tampak menjinjing tas kresek untuk wadah isi perut yang keluar akibat mual.
Jawa Pos sempat berkeliling untuk menilik kapal yang disesaki pemudik dan barang bawaannya itu. Di dek belakang kapal, Jawa Pos berkenalan dengan sejumlah pemudik dari negeri seberang, Malaysia dan Singapura.
Mereka berkumpul di dek belakang karena tidak kebagian kursi. Selain itu, mereka sengaja menikmati deburan ombak, semilir angin, dan panas matahari yang sudah lama dirindukan.
''Panasnya khas, tak sabar rasanya untuk segera sampai di rumah," kata Mustafi, pemudik yang empat tahun bekerja di Malaysia dan belum pernah pulang itu.
Perasaan rindu yang sama, agaknya, juga merayapi hati para pemudik. Sebab, rata-rata mereka baru bisa pulang setelah bertahun-tahun mengais dan menghimpun rezeki di negeri jiran.
Umumnya mereka ''belum berani'' pulang jika tidak membawa uang cukup atau oleh-oleh bagi sanak keluarganya di kampung. Oleh-oleh itu juga menjadi simbol keberhasilan dan kebanggaan di tanah rantau.
Jumlah uang mereka rata-rata bernilai puluhan juta rupiah. ''Dulu sebelum ada bank di Bawean, mereka langsung membawa uang hasil jerih payah secara cash," jelas Supardi, Kadishub Pemkab Gresik.
Bagi yang lajang, hasil memeras keringat di rantau itu biasanya digunakan untuk modal menaikkan ''status'' alias menikah. ''Saya merantau selama empat tahun untuk mengumpulkan biaya pernikahan dan saat itu tiba tahun ini," kata Hermas dengan wajah berbinar.
Rata-rata lelaki Bawean menikah saat umur mereka di atas 25 tahun. Mereka benar-benar ketat untuk urusan biaya hidup. Selain untuk menikah, uang jerih payah di tanah rantau biasanya digunakan untuk membangun rumah.
Syarat tersebut seolah telah menjadi hukum tak tertulis bagi pemuda Bawean yang ingin menikah. Karena itu, Lebaran adalah waktu yang mereka tunggu, waktu yang tepat untuk pulang dan memulai babak baru dalam rangka meneruskan generasi.
Bagi mereka yang sudah berkeluarga, Lebaran berarti memberikan adik bagi anak mereka yang lebih dahulu lahir.
Menurut budayawan Bawean Cuk Sugrito, merantau sudah menjadi tradisi masyarakat Bawean. Saat anak beranjak remaja, mereka sudah dipersiapkan untuk merantau. (ib)
Sumber : Jawa Pos
Mengunjungi Pulau Bawean Menjelang Lebaran (1)
Mengunjungi Pulau Bawean menjelang Lebaran adalah perkecualian yang tidak akan didapatkan pada hari biasa. Tidak hanya hiruk pikuk pemudik yang terasa, predikat Pulau Putri seakan lenyap untuk sementara waktu.
Adi Tri Pramono, Bawean
Menjelang Lebaran, semboyan mangan ora mangan asal kumpul terasa sangat pas untuk menggambarkan suasana Pulau Bawean. Saat itu rasanya tidak ada yang lebih penting daripada bertemu sanak saudara untuk merayakan Idul Fitri.
Suasana tersebut sangat terasa, bahkan sebelum menjejakkan kaki di pulau yang terletak sekitar 80 mil sebelah utara Kota Gresik itu. Selama perjalanan bersama para pemudik, kemeriahan suasana Lebaran sudah terasa.
Sebagai pulau yang terpisah dengan induknya, yakni Kabupaten Gresik, perjalanan ke Bawean hanya bisa ditempuh lewat laut. Jawa Pos pun berangkat ke Bawean dengan kapal cepat Express Bahari. Jawa Pos berangkat Sabtu (27/9) sekitar pukul 09.00. Tiketnya Rp 160.000 sekali jalan.
Kapal tersebut mampu melaju dengan kecepatan rata-rata 23 knot sehingga perjalanan laut sejauh 80 mil bisa dijangkau dalam tiga jam saja. Bandingkan dengan kapal Dharma Kartika yang harus berlayar selama 8-9 jam.
Selain mampu mengangkut 344 orang plus barang bawaannya, kapal yang diproduksi pada 2005 oleh perusahaan galangan kapal Caterpilar asal AS itu memiliki standar keamanan laut kelas wahid. Kapal yang dinakhodai Yosis Dinun Sada tersebut dilengkapi peralatan EPIRB (emergency position indicating radio beacon).
Radio itu adalah semacam kotak hitam untuk kapal laut. Salah satu fungsinya, jika dalam kondisi berbahaya, kotak hitam tersebut tinggal dilempar ke laut dan langsung mengeluarkan sinyal SOS yang bisa diterima pusat kontrol lalu lintas kapal maupun kapal lain yang sedang lewat.
''Fasilitas inilah yang membuat nyaman penumpang, meski kapal melaju dengan kecepatan 23 knot," jelas Yosis.
Kapal Express Bahari memiliki tiga buah mesin dengan total 3.600 daya kuda. Torsi yang dihasilkan dengan kekuatan itu sebesar 2.300 rpm. ''Torsi inilah yang membuat kapal itu disebut kapal cepat," lanjut alumnus angkatan pertama SPIP Palembang tersebut.
Untuk konsumsi bahan bakar, dibutuhkan lima ton solar untuk perjalanan PP Gresik-Bawean. Saat beroperasi, Yosis dibantu tiga asisten kapten yang bergantian menakhodai kapal yang memiliki enam buah sekoci itu. Sekoci tersebut mampu menampung 65 orang dan digunakan jika kapal dalam keadaan bahaya.
Sepanjang perjalanan, ombak kala itu, menurut Yosis, masih tergolong normal. Meski begitu, ombak tersebut mampu mengombang-ambingkan isi perut penumpang. Tak ayal, beberapa penumpang tampak menjinjing tas kresek untuk wadah isi perut yang keluar akibat mual.
Jawa Pos sempat berkeliling untuk menilik kapal yang disesaki pemudik dan barang bawaannya itu. Di dek belakang kapal, Jawa Pos berkenalan dengan sejumlah pemudik dari negeri seberang, Malaysia dan Singapura.
Mereka berkumpul di dek belakang karena tidak kebagian kursi. Selain itu, mereka sengaja menikmati deburan ombak, semilir angin, dan panas matahari yang sudah lama dirindukan.
''Panasnya khas, tak sabar rasanya untuk segera sampai di rumah," kata Mustafi, pemudik yang empat tahun bekerja di Malaysia dan belum pernah pulang itu.
Perasaan rindu yang sama, agaknya, juga merayapi hati para pemudik. Sebab, rata-rata mereka baru bisa pulang setelah bertahun-tahun mengais dan menghimpun rezeki di negeri jiran.
Umumnya mereka ''belum berani'' pulang jika tidak membawa uang cukup atau oleh-oleh bagi sanak keluarganya di kampung. Oleh-oleh itu juga menjadi simbol keberhasilan dan kebanggaan di tanah rantau.
Jumlah uang mereka rata-rata bernilai puluhan juta rupiah. ''Dulu sebelum ada bank di Bawean, mereka langsung membawa uang hasil jerih payah secara cash," jelas Supardi, Kadishub Pemkab Gresik.
Bagi yang lajang, hasil memeras keringat di rantau itu biasanya digunakan untuk modal menaikkan ''status'' alias menikah. ''Saya merantau selama empat tahun untuk mengumpulkan biaya pernikahan dan saat itu tiba tahun ini," kata Hermas dengan wajah berbinar.
Rata-rata lelaki Bawean menikah saat umur mereka di atas 25 tahun. Mereka benar-benar ketat untuk urusan biaya hidup. Selain untuk menikah, uang jerih payah di tanah rantau biasanya digunakan untuk membangun rumah.
Syarat tersebut seolah telah menjadi hukum tak tertulis bagi pemuda Bawean yang ingin menikah. Karena itu, Lebaran adalah waktu yang mereka tunggu, waktu yang tepat untuk pulang dan memulai babak baru dalam rangka meneruskan generasi.
Bagi mereka yang sudah berkeluarga, Lebaran berarti memberikan adik bagi anak mereka yang lebih dahulu lahir.
Menurut budayawan Bawean Cuk Sugrito, merantau sudah menjadi tradisi masyarakat Bawean. Saat anak beranjak remaja, mereka sudah dipersiapkan untuk merantau. (ib)
Posting Komentar