Media Bawean, 15 November 2008
Oleh : M. Riza Fahlevi (http://rizafahlevi.blogspot.com/)
Uniknya, dulu orang Bawean memiliki sebutan yang sama terhadap nama-nama tertentu. Misalnya;
Ismail: Ma-Eng
Hamid: Amek
Yusuf: Ucuk
Hasan: Acang
Muhammad: Mamat atau Mak Mak
Abdullah: Ullek
Nur: Nong
Rahman: Mak Mang
Taufiq: Upik
Semua nama yang berakhiran Dir atau Din: N’ding.
Semua nama yang berakhiran Far: eP-Pang.
***
Dari beragam etnis ini, yang menarik diulas adalah kaum Kemas. Dulu di masa penjajahan Belanda, orang-orang Kemas ini membentuk konglomerasi kerajaan bisnis di Bawean.
Di saat rumah orang-orang Bawean masih berbahan ijuk dan ayaman bambu, kaum Kemas ini telah memiliki cluster perumahan elit bernama kampung Tuku. Sekelilingnya terpagar tembok tinggi. Jalan masuk dan keluar daerah ini, melalui pintu gerbang kokoh berbahan besi dan tembok bata setebal 20 cm.
Fondasi rumahnyapun tinggi-tinggi. Minimal 1 meter. Arsitektur rumah di sini mirip karisidenan Balanda, dengan langit-langit hampir setinggi 5 meter, lengkap dengan teras dan jendela poanjang.
Bahkan, di saat orang Bawean masih mandi, cuci, kakus di Sungai, bangsawan kemas ini telah memiliki MCK yang baik dengan sistem kakus.
Ayahku almarhum pernah bercerita, dulu penduduk bawean susah masuk apalagi berbaur dengan warga ke kampung Tuku.
Strata mereka setara dengan kaum noni Balanda. Bahkan orang-orangnya tak pernah keluar rumah. “Yang Nyimas (perempuan) selalu berbicara dari balik jendela dengan tamunya,” kisah ayah.
Ayah juga sempat menyaksikan kemewahan interior dan perabot kaum Kemas ini. “Mejanya saja nak, dipaku dengan landasan uang siling Wilhelmena,” jelasnya.
Di sini ayah juga sempat mengisahkan masa kecilnya, ya sekitar tahun 30-an lah, sering bermain di truk-truk dagang kaum Kemas. “Prautu-nya (sebutan truk bak besar) besar-besar,” jelasnya.
Di Kampung Tuku ini pulalah, Belanda membikin tempat hiburan dan rumah wine khusus mereka.
Meski kini keemasan Kampung Tuku sudah hancur, namun sisa-sisa kejayaannya masih terasa. Khusunya bila kita melihat bangunan rumah yang masih tersisa.
Hingga kini, anak keturunan antaretnis ini tetap terjaga rukun. Mereka sudah berbaur sebagai orang Bawean, namun masih memegang teguh budaya ibunya.
Bersambung........
Oleh : M. Riza Fahlevi (http://rizafahlevi.blogspot.com/)
Uniknya, dulu orang Bawean memiliki sebutan yang sama terhadap nama-nama tertentu. Misalnya;
Ismail: Ma-Eng
Hamid: Amek
Yusuf: Ucuk
Hasan: Acang
Muhammad: Mamat atau Mak Mak
Abdullah: Ullek
Nur: Nong
Rahman: Mak Mang
Taufiq: Upik
Semua nama yang berakhiran Dir atau Din: N’ding.
Semua nama yang berakhiran Far: eP-Pang.
***
Dari beragam etnis ini, yang menarik diulas adalah kaum Kemas. Dulu di masa penjajahan Belanda, orang-orang Kemas ini membentuk konglomerasi kerajaan bisnis di Bawean.
Di saat rumah orang-orang Bawean masih berbahan ijuk dan ayaman bambu, kaum Kemas ini telah memiliki cluster perumahan elit bernama kampung Tuku. Sekelilingnya terpagar tembok tinggi. Jalan masuk dan keluar daerah ini, melalui pintu gerbang kokoh berbahan besi dan tembok bata setebal 20 cm.
Fondasi rumahnyapun tinggi-tinggi. Minimal 1 meter. Arsitektur rumah di sini mirip karisidenan Balanda, dengan langit-langit hampir setinggi 5 meter, lengkap dengan teras dan jendela poanjang.
Bahkan, di saat orang Bawean masih mandi, cuci, kakus di Sungai, bangsawan kemas ini telah memiliki MCK yang baik dengan sistem kakus.
Ayahku almarhum pernah bercerita, dulu penduduk bawean susah masuk apalagi berbaur dengan warga ke kampung Tuku.
Strata mereka setara dengan kaum noni Balanda. Bahkan orang-orangnya tak pernah keluar rumah. “Yang Nyimas (perempuan) selalu berbicara dari balik jendela dengan tamunya,” kisah ayah.
Ayah juga sempat menyaksikan kemewahan interior dan perabot kaum Kemas ini. “Mejanya saja nak, dipaku dengan landasan uang siling Wilhelmena,” jelasnya.
Di sini ayah juga sempat mengisahkan masa kecilnya, ya sekitar tahun 30-an lah, sering bermain di truk-truk dagang kaum Kemas. “Prautu-nya (sebutan truk bak besar) besar-besar,” jelasnya.
Di Kampung Tuku ini pulalah, Belanda membikin tempat hiburan dan rumah wine khusus mereka.
Meski kini keemasan Kampung Tuku sudah hancur, namun sisa-sisa kejayaannya masih terasa. Khusunya bila kita melihat bangunan rumah yang masih tersisa.
Hingga kini, anak keturunan antaretnis ini tetap terjaga rukun. Mereka sudah berbaur sebagai orang Bawean, namun masih memegang teguh budaya ibunya.
Bersambung........
Posting Komentar