Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Hukum Pidana Di Masyarakat Desa Suatu Pendekatan Sosiologis

Hukum Pidana Di Masyarakat Desa Suatu Pendekatan Sosiologis

Posted by Media Bawean on Senin, 03 November 2008

Media Bawean, 3 November 2008

Studi di Desa Kotakusuma Kecamatan Sangkapura Bawean Kabupaten Gresik

Oleh: A. Fuad Usfa

Ketika Gandhi menulis tentang karir awalnya sebagai seorang Pengacara. Setelah ia merampungkan kasus pertamanya yang besar, dan setelah ia menghimbau kliennya untuk menerima pembayaran dengan cicilan dari pihak lainnya --maksudnya agar pihak lain tersebut tidak bangkrut secara ekonomis--, ia merasa bahwa ia telah dapat mengatasi sifat hukum yang bermusuhan, “kegembiraan saya tidak terbatas”, katanya. “Saya telah belajar untuk menemukan sisi yang lebih baik dari sifat manusia”. “Saya menyadari bahwa fungsi yang benar-benar dari seorang Pengacara adalah untuk mempersatukan pihak-pihak yang telah dipisahkan satu sama lain”. (Node, dalam Peter AAG, at.all, 1998)

Bagi seorang Jepang terhormat hukum adalah sesuatu yang tidak disukai, malahan dibenci…, mengajukan orang ke Pengadilan untuk menjamin perlindungan atas kepentingan kita, atau untuk disebut di Pengadilan, meskipun dalam urusan Perdata adalah suatu yang memalukan. (Idem)

1. Pengantar

Tulisan ini adalah merupakan ringkasan daripada hasil penelitian penulis pada tahun 1997/1998, namun dirasa masih tetap relevan dan bahkan untuk masa kehadapan pengembangan hukum pidana adat lebih mempunyai prospek lagi. Berbagai perundang-undangan telah memberi jaminan eksistensi hukum pidana adat, namun masih bersifat pokok. Rancangan KUHP Baru telah tegas pula memberi pengakuan akan kekuatan eksistensi hukum pidana adat, namun masih harus melalui proses peradilan yang ada seperti sekarang ini, sehingga pranata adat tidak bisa berperan aktif dalam proses peradilan. Secara operasional, dalam masa sekarang ini khususnya, ketentuan yang bisa diharapkan ‘sedikit/banyak’ merangkul eksistensi hukum pidana adat adalah melalui pasal 18 Undang-undang No. 2 Tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu dalam hal diskresi, namun sifatnya hanya diskritif hukum saja.

2. Pendahuluan

Dalam pandangan hukum barat dikenal pembagian antara hukum publik dan hukum privat, sedang dalam hukum adat tidak dikenal adanya pembagian tersebut. Hukum pidana positip Indonesia (hukum Nasional) termasuk kategori hukum publik, sedang hukum pidana adat tidak demikian.

Induk daripada hukum pidana (materiil) Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) peninggalan Belanda (nama aslinya Wetboek van Strafrecht vor Netherland Indie, dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 kata Indie diganti menjadi Indonisich), sedang induk daripada hukum pidana (formil) adalah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu Undang-undang nomor 8 tahun 1981 sebagai pengganti HIR (het Herzine Inland Rechtlemen), adapun hukum pidana (materiil dan formil) adat adalah berdasar pada budaya hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

Antara kedua macam hukum tersebut sering dijumpai saling bertentangan, sehingga sering dijumpai penyimpangan dalam praktik.

Dari gambaran di atas dapat dipahami, bahwa di Indonesia terdapat dualisme hukum pidana. Hal tersebut juga tak terkecuali di jumpai di Desa Kotakusuma.

3. Permasalahan

Fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana budaya hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Desa Kotakusuma, pola penyelesaian, bentuk sanksi, keterlibatan Desa serta ‘pilihan’ hukum. Selanjutnya diajukan beberapa rekomendasi.

4. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologis. Pendekatan ini menyelidiki bagaimana dunia ini dialami orang, bagaimana imajinasi orang terhadap dunia ini. Jadi ingin memahami manusia dari kerangka pikir pelaku itu sendiri. Pendekatan ini mencari pemahaman lewat metode kualitatip seperti pengamatan peserta (partisipan observation) dan wawancara terbuka (endeed interviewing).

5. Hasil Penelitian

5.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Kotakusuma.

5.2. Karakteristik Masyarakat

Karakteristik daripada masyarakatnya adalah terbuka, suka menolong, akomudatif, orientasi damai, tidak toleran dendam, agamis, berpola pikir dan sikap positif.

5.3. Budaya Hukum

Budaya hukum masyarakat adalah menggunakan hukum tidak tertulis, baik dalam hukum materiil maupun hukum formilnya, namun berjalan secara riil dalam masyarakat. Masyarakat memandang suatu persoalan dari sudut pandang kolektif, artinya apa yang dihadapi individu bukanlah semata-mata persoalan individu itu sendiri, melainkan terkait dengan persoalan yang lebih luas, yaitu dengan keluarga batih maupun keluarga besar, dengan tetangga, dengan teman, dengan kedudukan individu sebagai anggota masyarakat maupun yang terkait dengan kedudukan sebagai manusia. Mengutamakan kesebandingan daripada sekedar kepastian hukum. Riil sifatnya, hal ini tentu juga berbeda dengan hukum Nasional yang bersifat abstrak. Reaksi terhadap terjadinya tindak pidana lebih bersifat tidak berlebihan (seperlunya). Masyarakat lebih melihat suatu kasus sebagai suatu perbuatan individual (personal), artinya pihak lain berada pada posisi di luar. Perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan yang mengganggu keseimbangan masyarakat (tindak pidana) tidak selalu terkait dengan konteks magis-religius, walaupun masyarakat Desa Kotakusuma adalah pemeluk agama Islam yang taat, namun dalam hukum pidana tidak berorientasi pada hukum pidana Islam. Pembedaan antara kaedah hukum dengan kaedah sosial lainnya amat longgar, dalam arti kaedah agama, kaedah kesusilaan dan kaedah sopan-santun, akan berujud sebagai kaedah hukum manakala kesadaran hukum masyarakat menghendaki. Adapun ukuran yang digunakan adalah apakah suatu perbuatan telah mengganggu keseimbangan dalam masyarakat ataukah tidak.

5.4. Pola Penyelesaian Perkara

Pola penyelesaian perkara pidana lebih berorientasi pada pola penyelesaian kekeluargaan. Proses penyelesaian secara kekeluargaan yang dilakukan terdapat beberapa jenjang, yaitu jenjang keluarga, dusun dan desa. Pada jenjang keluarga dan dusun biasanya tidak tertulis, sedang pada jenjang desa biasanya tertulis.

Kesan masyarakat terdap Lembaga Pemasyarakatan adalah negatif, hanya saja untuk kasus tertentu masyarakat terpaksa tidak dapat berbuat lain. Adanya rasa takut untuk berperkara ke Pengadilan Negeri disebabkan letak Pengadilan Negeri yang dirasa cukup jauh, yaitu di Kota Kabupaten Gresik telah menjadi kesan umum. Keadaan tersebut diperburuk oleh citra buruk badan peradilan dari semua tingkatan, yaitu dari tingkat penyidikan hingga proses akhir.

5.5. Sanksi

Dalam ‘Peradilan Desa’ tidak didapati sanksi yang terumuskan dengan tegas. Masing-masing kasus dipertimbangkan sendiri-sendiri (kasuistis). Biasanya sanksi ditetapkan berdasar hasil musyawarah. Sanksi dapat berbentuk permintaan maaf, denda, sumpah, pengusiran dari Desa untuk orang pendatang (penduduk tidak tetap), terhadap kasus perzinahan harus kawin. Sanksi tidak harus magis-religius, bagi mereka persoalan pelanggaran terhadap norma adalah merupakan persoalan individu atau keluarga atau komunitas tertentu, oleh sebab itu bila individu atau kolektifa telah diadili, para pihak semua menginsafi, pelaku dapat bertaubat serta pihak lain memaafkan, maka akan pulihlah keseimbangan dalam masyarakat.

5.6. Keterlibatan Pihak Desa

Desa selalu melibatkan diri dalam setiap terjadi kasus, ia berpendapat bahwa pihak Desa harus bertanggung jawab terhadap apa saja yang terjadi di Desanya. Oleh sebab itu menurutnya, pihak Kepolisian sekalipun harus memberi tahu baik secara langsung ataupun tindasan, tentu tidak demikian dalam hukum positip. Tindak pidana yang terjadi di Desa Kotakusuma terdiri dari tindak pidana dalam kategori tindak pidana sebagaimana ketentuan dalam hukum pidana Nasional dan adat.

Dalam masyarakat adat, hukum dipahami sebagai sarana untuk menciptakan suasana aman dan tentram. Jadi suasana aman di sini lebih berorientasai pada suasana kejiwaan. Amanah di sini bukan sekedar aman di masa kini saja melainkan juga di masa mendatang, hal itu ada dalam kebersamaan. Oleh sebab itu pendekatan secara individual dirasa kurang menjamin keadaan tersebut. Baik individu, keluarga dan masyarakat harus berada pada suasana aman itu. Berbeda dengan pola pendekatan pada hukum pidana Nasional yang note-bene pada prinsipnya berasal dari pola pendekatan barat yang individualistis, sehingga pola penanganannya indivialistis pula.

Berhadapan dengan situasi yang ambivalen itu tidak ada pedoman yang dapat dijadikan dasar manakala suatu tindak pidana harus diselesaikan berdasar hukum pidana Nasional ataukah berdasar hukum pidana adat. Adapun yang terjadi dalam praktik adalah tergantung pada ‘kekuatan’ Desa, dalam arti bila Desa ‘kuat’ maka kecenderungan diselesaikan di tingkat Desa adalah lebih besar.

6. Rekomendasi

Dalam rekomendasi terdapat pula rekomendasi yang bersifat general. Dalam pengambilan rekomendasi general tersebut peneliti mendasarkan pada dasar-dasar umum hukum adat Indonesia. Beberapa rekomendasi yang diajukan, yaitu mengingat letak pulau Bawean relatif jauh, yang membutuhkan waktu serta dana yang tidak sedikit, maka dirasa perlu ruang sidang yang telah dibangun digunakan secara efektif, baik untuk perkara pidana ataupun perkara perdata, khususnya terhadap kasus yang proses pembuktiannya mudah. Ini adalah merupakan tanggung-jawab pemerintah dalam rangka pelayanan publik yang berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Di samping itu pula, berhubung ‘peradilan adat’ cukup efektif maka perlu dihidupkan ‘peradilan adat’ (‘hakim perdamaian desa’) dan dapat diakui secara formal. Selama ini telah berjalan dalam praktik, bahwa Kepala Desa ikut terlibat dalam menangani berbagai kasus yang tejadi di Desanya, termasuk bila telah ditangani oleh pihak yang berwajib sekalipun, untuk itu perlu pula untuk dipertahankan dan diakui secara formal. Dengan demikian dapat sebagai pendamping yang lebih dekat dengan kesadaran hukum atau nurani rakyat sehingga rasa keadilan dapat dirasakan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, bukan sebagaimana hukum Nasional yang didasarkan pada abstraksi hukum yang ‘dipaksakan’.

Untuk kepentingan pembinaan dan pengembangan hukum, maka segala putusan ‘adat’ khususnya dalam hal ini yang berkaitan dengan hukum pidana adapt. Perlu di tumbuh-kembangkan sikap yang menciptakan simpati terhadap badan peradilan pada umumnya dan Kepolisian pada khususnya sebagai ujung tombak badan peradilan.

Akhirnya, perlu pengkajian dan pengembangan hukum adat-progresif, sehingga dengan demikian diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pengembangan hukum Nasional pada umumnya dan sedapat mungkin dapat pula digunakan dalam praktik peradilan.

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean