Media Bawean, 5 Desember 2008
Oleh: M. Romandhon HK.*)
Kurban, merupakan aplikasi dari kata udhhiyah, yang menurut para ahli fikih adalah binatang piaraan yang disembelih pada hari raya iedhul adha, guna mendekatkan diri kepada Allah SWT. Peringatan setahun sekali ini terbilang sebagai seremonial umat islam yang tak pernah dilupakan. Sejarah kurban sebenarnya berawal dari kegelisahan yang dialami oleh Ismail, yang mendapat sebuah ilham dari Allah SWT, lewat sebuah mimpi, namun mimpi tersebut menyerukan agar anak kesayangannya, bernama Ibrahim harus dijadikan kurban. Berawal dari kisah Ismail inilah sebenarnya Allah menyerukan agar sesuatu yang berhubungan dengan barang yang dicintai harus direlakan atau dikhlaskan demi kemaslahatan umat, bukan semata diatas kepentingan pribadi (individu).
Imam Nawawi berkata, "Udhhiyah yang berarti penamaan untuk hewan yang disembelih pada hari nahar, memiliki empat bentuk bahasa; pertama udhhiyah, kedua idhhiyah dengan bentuk jamaknya adhhaahi, ketiga dhahiyyah dengan bentuk jamaknya dhahaayaa, dan keempat adhhaahatun dengan bentuk jamaknya adhi. Maka oleh karenanya dinamakan Yaumul Adhha.". yang mempunyai makna secara epistimologi sesuatu yang disembelih pada hari nahr, yang disebabkan hari raya sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah.
Kemudian udhhiyah di pakai dalam bahasa kita dengan istilah kurban yang artinya mendekatkan diri kepada Allah. Terkait esensi dan eksistensi kurban sendiri merupakan, proses legitimasi ketundukan seorang hamba secara totalitas kepada sang pencipta.
Kurban dan Pemanasan Global
Hari raya kurban erat sekali sekali hubungannya dengan penyembelihan binatang peliharaan. Namun sempat berfikirkah kita, imbas yang akan terjadi setelah kita mengkonsumsinya?. Berapa banyak daging yang dihasilkan ketika dilaksanakannya penyembelihan tersebut. Sehingga dalam konteks ini, sangat eret sekali hubungannya antara pemanasan global dan mengkonsumsi daging.
Dari data yang cukup menyengangkan, bahwasannya mengkonsumsi daging memiliki pengaruh besar terhadap esensitas pemanasan global (global Warming). Dimana, seperti yang telah kita tahu pemanasan global memiliki implikasi yang sangat buruk bagi keberlangsungan bumi, manusia, tumbuhan, binatang dan lain sebagainya.
Ada yang terbesit dalam benak kita masing-masing, yang memunculkan beberapa pertanyaan, terkait hubungan kurban dengan global warming (pemanasan global), serta apa hubungan dengan mengkonsumsi daging?. Serentetan pertanyaan tersebutlah yang harus kita understanding-kan pada tiap individu.
Sesuai dengan laporan yang dirilis Badan Pangan Dunia (FAO) pada 2006 dalam Livestock's Long Shadow-Environmental Issues and Option, daging merupakan penghasil emisi karbon paling intensif (18 persen), bahkan melebihi kontribusi emisi karbon gabungan seluruh kendaraan bermotor (motor, mobil, truk, pesawat, kapal, kereta api) di dunia (13,5 persen). Data di atas mengindikasikan bahwa pengaruh konsumsi daging sangat besar terhadap pemicu terjadinya pemanasan global (global warming). Terbukti keterpautan angka yang begitu jauh, menunjukkan implikasinya sangat dominan di bandingkan dengan efek rumah kaca dan emisi karbon yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Tidak salah kiranya FAO menggembar-gemborkan serta mengkampanyekan, stop konsumsi daging, dan menyerukan vegetarian.
James Hansen ahli iklim NASA, mengatakan kita telah berada di titik 10 persen di atas batas ambang kemampuan bumi mencerna karbondioksida. Artinya kita berada di titik balik. Pada level saat ini, tindakan yang harus diambil bukan lagi mengurangi, melainkan menghentikan. Sesuai dengan apa yang telah diungkapkan oleh James Hansen, bahwasnya tindakan tegas individulah yang menentukan terjadi tidaknya global warming. Dalam hal ini 'kampanye' vegetarian perlu di kondisikan dan disinergikan secara totalitas. Ini merupakan bentuk atau langkah-langkah dalam antisipasi terhadap kelangsungan hidup semua makhluk dan bumi, terkait pemanasan global.
Perlu sebuah tindakan yang mampu menjadi starting point, menyoal masalah global warming dan eksistensi daging khurban. Relevankah adanya daging kurban sekarang?, yang mana sesuai bukti outentik diatas mengindikasikan bahwa daging memiliki pengaruh besar terhadap sumbangsih pemanasan global. Satu-satunya langkah utama dalam konteks ini yaitu peminimalisiran hewan kurban dan pola pengkonsumsiannya. Langkah sporadis ini perlu disinergikan dan diterapkan pada hari raya idul kurban tahun ini, mengingat indikasi global warming yang senantiasa bergerak (bekerja) secara cepat.
Terkait relevan tidaknya daging khurban, menurut hemat penulis, hal ini perlu sebuah rekontruksi, dan melegitimasinya dengan hal-hal yang memang sangat primer, seperti makanan pokok dan lain sebagainya. Mengingat besar kemungkinan kemadhorotan yang akan di hasilkan, jika hal ini terus diprioritaskan. Dalam ushul fiqh-nya sesuatu yang mendesak (dlorurot) menjadi wajib untuk dikerjakan (dilaksanakan), dan begitupun sebaliknya. Menurut penulis sangat relevan sekali jika hal tersebut di kontekstualisasikan dengan kontek kekinian, artinya rekontruksi kurban perlu direalisasikan.
Green Peace USA juga mengeluarkan seruan senada : On your plate! Yakni, mengimbau masyarakat dunia untuk stop konsumsi daging, karena makan daging bukan masalah pilihan personal lagi. Kita tidak bebas memilih ketika pilihan itu nyata mengancam keberlangsungan hidup setiap mahluk di muka bumi ini. Jadi mau tidak mau itulah yang menjadi pilihan. Jika langkah tersebut terlalu berat, maka, paling tidak ada satu tindakan peminimalisiran, terkait mengkonsumsi daging. Mengutip tulisan Senator Queensland, Andrew Bartlett, seluruh dunia tidak mesti menjadi vegetarian atau vegan untuk menyelamatkan planet kita, tapi kita harus mengakui fakta-fakta ilmiah ini, bahwa jika kita tidak mengurangi konsumsi produksi hewani, kesempatan kita untuk menghentikan perubahan iklim adalah nihil. Ini bukan masalah pilihan personal lagi, suka atau tidak suka, makan daging telah menjadi masalah yang mengancam kelangsungan hidup setiap orang di muka Bumi ini. Mengubah pola berkurban daging juga berhadapan dengan kebiasaan yang telah mengakar. Mari dengan mata jernih melihat realitas, mengakui fakta betapa besar dan hebatnya tekanan konsumsi daging pada daya dukung bumi.
Penulis: Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Fakultas Adab, Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta.
Alamat: jl. Parangtritis km 07,Cabea, Sewon, Bantul, Yogyakarta.
Hp: 081227203414
Oleh: M. Romandhon HK.*)
Kurban, merupakan aplikasi dari kata udhhiyah, yang menurut para ahli fikih adalah binatang piaraan yang disembelih pada hari raya iedhul adha, guna mendekatkan diri kepada Allah SWT. Peringatan setahun sekali ini terbilang sebagai seremonial umat islam yang tak pernah dilupakan. Sejarah kurban sebenarnya berawal dari kegelisahan yang dialami oleh Ismail, yang mendapat sebuah ilham dari Allah SWT, lewat sebuah mimpi, namun mimpi tersebut menyerukan agar anak kesayangannya, bernama Ibrahim harus dijadikan kurban. Berawal dari kisah Ismail inilah sebenarnya Allah menyerukan agar sesuatu yang berhubungan dengan barang yang dicintai harus direlakan atau dikhlaskan demi kemaslahatan umat, bukan semata diatas kepentingan pribadi (individu).
Imam Nawawi berkata, "Udhhiyah yang berarti penamaan untuk hewan yang disembelih pada hari nahar, memiliki empat bentuk bahasa; pertama udhhiyah, kedua idhhiyah dengan bentuk jamaknya adhhaahi, ketiga dhahiyyah dengan bentuk jamaknya dhahaayaa, dan keempat adhhaahatun dengan bentuk jamaknya adhi. Maka oleh karenanya dinamakan Yaumul Adhha.". yang mempunyai makna secara epistimologi sesuatu yang disembelih pada hari nahr, yang disebabkan hari raya sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah.
Kemudian udhhiyah di pakai dalam bahasa kita dengan istilah kurban yang artinya mendekatkan diri kepada Allah. Terkait esensi dan eksistensi kurban sendiri merupakan, proses legitimasi ketundukan seorang hamba secara totalitas kepada sang pencipta.
Kurban dan Pemanasan Global
Hari raya kurban erat sekali sekali hubungannya dengan penyembelihan binatang peliharaan. Namun sempat berfikirkah kita, imbas yang akan terjadi setelah kita mengkonsumsinya?. Berapa banyak daging yang dihasilkan ketika dilaksanakannya penyembelihan tersebut. Sehingga dalam konteks ini, sangat eret sekali hubungannya antara pemanasan global dan mengkonsumsi daging.
Dari data yang cukup menyengangkan, bahwasannya mengkonsumsi daging memiliki pengaruh besar terhadap esensitas pemanasan global (global Warming). Dimana, seperti yang telah kita tahu pemanasan global memiliki implikasi yang sangat buruk bagi keberlangsungan bumi, manusia, tumbuhan, binatang dan lain sebagainya.
Ada yang terbesit dalam benak kita masing-masing, yang memunculkan beberapa pertanyaan, terkait hubungan kurban dengan global warming (pemanasan global), serta apa hubungan dengan mengkonsumsi daging?. Serentetan pertanyaan tersebutlah yang harus kita understanding-kan pada tiap individu.
Sesuai dengan laporan yang dirilis Badan Pangan Dunia (FAO) pada 2006 dalam Livestock's Long Shadow-Environmental Issues and Option, daging merupakan penghasil emisi karbon paling intensif (18 persen), bahkan melebihi kontribusi emisi karbon gabungan seluruh kendaraan bermotor (motor, mobil, truk, pesawat, kapal, kereta api) di dunia (13,5 persen). Data di atas mengindikasikan bahwa pengaruh konsumsi daging sangat besar terhadap pemicu terjadinya pemanasan global (global warming). Terbukti keterpautan angka yang begitu jauh, menunjukkan implikasinya sangat dominan di bandingkan dengan efek rumah kaca dan emisi karbon yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Tidak salah kiranya FAO menggembar-gemborkan serta mengkampanyekan, stop konsumsi daging, dan menyerukan vegetarian.
James Hansen ahli iklim NASA, mengatakan kita telah berada di titik 10 persen di atas batas ambang kemampuan bumi mencerna karbondioksida. Artinya kita berada di titik balik. Pada level saat ini, tindakan yang harus diambil bukan lagi mengurangi, melainkan menghentikan. Sesuai dengan apa yang telah diungkapkan oleh James Hansen, bahwasnya tindakan tegas individulah yang menentukan terjadi tidaknya global warming. Dalam hal ini 'kampanye' vegetarian perlu di kondisikan dan disinergikan secara totalitas. Ini merupakan bentuk atau langkah-langkah dalam antisipasi terhadap kelangsungan hidup semua makhluk dan bumi, terkait pemanasan global.
Perlu sebuah tindakan yang mampu menjadi starting point, menyoal masalah global warming dan eksistensi daging khurban. Relevankah adanya daging kurban sekarang?, yang mana sesuai bukti outentik diatas mengindikasikan bahwa daging memiliki pengaruh besar terhadap sumbangsih pemanasan global. Satu-satunya langkah utama dalam konteks ini yaitu peminimalisiran hewan kurban dan pola pengkonsumsiannya. Langkah sporadis ini perlu disinergikan dan diterapkan pada hari raya idul kurban tahun ini, mengingat indikasi global warming yang senantiasa bergerak (bekerja) secara cepat.
Terkait relevan tidaknya daging khurban, menurut hemat penulis, hal ini perlu sebuah rekontruksi, dan melegitimasinya dengan hal-hal yang memang sangat primer, seperti makanan pokok dan lain sebagainya. Mengingat besar kemungkinan kemadhorotan yang akan di hasilkan, jika hal ini terus diprioritaskan. Dalam ushul fiqh-nya sesuatu yang mendesak (dlorurot) menjadi wajib untuk dikerjakan (dilaksanakan), dan begitupun sebaliknya. Menurut penulis sangat relevan sekali jika hal tersebut di kontekstualisasikan dengan kontek kekinian, artinya rekontruksi kurban perlu direalisasikan.
Green Peace USA juga mengeluarkan seruan senada : On your plate! Yakni, mengimbau masyarakat dunia untuk stop konsumsi daging, karena makan daging bukan masalah pilihan personal lagi. Kita tidak bebas memilih ketika pilihan itu nyata mengancam keberlangsungan hidup setiap mahluk di muka bumi ini. Jadi mau tidak mau itulah yang menjadi pilihan. Jika langkah tersebut terlalu berat, maka, paling tidak ada satu tindakan peminimalisiran, terkait mengkonsumsi daging. Mengutip tulisan Senator Queensland, Andrew Bartlett, seluruh dunia tidak mesti menjadi vegetarian atau vegan untuk menyelamatkan planet kita, tapi kita harus mengakui fakta-fakta ilmiah ini, bahwa jika kita tidak mengurangi konsumsi produksi hewani, kesempatan kita untuk menghentikan perubahan iklim adalah nihil. Ini bukan masalah pilihan personal lagi, suka atau tidak suka, makan daging telah menjadi masalah yang mengancam kelangsungan hidup setiap orang di muka Bumi ini. Mengubah pola berkurban daging juga berhadapan dengan kebiasaan yang telah mengakar. Mari dengan mata jernih melihat realitas, mengakui fakta betapa besar dan hebatnya tekanan konsumsi daging pada daya dukung bumi.
Penulis: Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Fakultas Adab, Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta.
Alamat: jl. Parangtritis km 07,Cabea, Sewon, Bantul, Yogyakarta.
Hp: 081227203414
Posting Komentar