Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Pendidikan "Mie Instant"

Pendidikan "Mie Instant"

Posted by Media Bawean on Kamis, 04 Desember 2008

Media Bawean, 4 Desember 2008


Oleh : Ending Syarifuddin*)

Saya termasuk orang yang berada pada tahap “haqqul yakin” bahwa proses pendidikan bersifat alamiah, lahir dari cara dan proses yang alamiah, cara berfikir yang berusaha “membaca” tanda-tanda alam. Karena itu, modus produksi dalam proses pendidikan senyatanya sama dengan modus produksi konsumsi makanan. Bedanya, pengetahuan & wawasan bersifat in-natura (tidak bersifat bendawi) yang menjadi bahan dasar konsumsi pikiran (otak) sedangkan makanan bersifat natura (bendawi) dan menjadi bahan dasar konsumsi tubuh biologis manusia.

Jika belakangan ini kita dikejutkan dengan banyaknya makanan yang tidak layak konsumsii karena kandungannya yang banyak mengandung zat yang berbahaya bagi tubuh kita, hal yang sama juga terjadi pada konsumsi pengetahuan kita yang banyak diproduksi oleh lembaga-lembaga pendidikan. Terdapat banyak pengetahuan yang diasup kepada anak didik kita bersifat “menipu” dan “meracuni” alam diri (micro-cosmos) dan alam jagat (macro-cosmos) kita.

Padahal seperti halnya makanan, pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik. Pendidikan yang menghasilkan anak didik menjadi manusia yang utuh-sejati dengan cerminan keseimbangan diri yang baik antara jiwa dan raga,antara kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emotional (EQ), Kecerdasan Spiritual (SQ) serta kecerdasan menghadapi tantangan.

Senyatanya, zaman sudah berubah. Semua orang ingin serba cepat. Walhasil, cenderung mengabaikan proses dan ingin segera mendapat hasil. Apalagi di negara dengan etos kerja rendah seperti Indonesia (mungkin juga Bawean). Akibatnya, budaya instan mulai masuk ke setiap kehidupan kita. Terlebih zaman kita sekarang ini segala sesuatu dapat kita raih dengan mudah, praktis dan cepat. Perkembangan teknologi telah memanjakan kita, dunia ini seakan-akan dilipat-lipat sedemikian rupa. Mau ngobrol dengan siapa saja di belahan dunia lain, tinggal angkat telepon atau buka internet. Ingin belanja atau makan di restoran tapi malas keluar, tinggal pesan lewat telepon atau beli lewat situs internet. Mau transaksi —transfer uang, bayar listrik, kartu kredit, beli pulsa— tidak perlu susah-susah ke bank atau ATM. Semua bisa dilakukan lewat handphone. Dunia tekhnologi telah menjadi “agama baru” yang memunculkan ideologi manja dan malas ribet di kalangan generasi kita “generasi capek deh”.

Demikianlah, asupan pengalaman dan pengetahuan yang dirasakan secara nyata oleh kita sehari-hari telah menjadi susunan akumulatif yang membentuk pengetahuan dan budaya tersendiri, budaya baru “Budaya instant” atau budaya serba ingin cepat dan malas berproses. Akhirnya dari pada berlama-lama memasak cukuplah makan “Mie Instant”. Padahal makan mie instant bukanlah makanan yang sehat bagi tubuh kita, dampaknya memang tidak langsung terasa. Tapi tidak sedikit yang sudah menyadari, terutama orang-orang tua kita yang bisa membandingkan karena pernah mengalami mengkonsumsi makanan yang serba alami. Bandingkan, dulu di Bawean masih banyak ditemukan orang cukup sehat dengan usia sampai 100 tahun, tapi sekarang usia 50 tahun saja sudah kelihatan renta. Ini hampir pasti berkenaan dengan asupan makanan yang tidak lagi alami, tapi sudah tercampur dengan banyak zat pengawet dan sejenisnya.

Memang, banyak orang yang telah mendapatkan sesuatu dengan mudah membuatnya enggan bersusah payah. Tak mau melewati proses. Alias malas. Yang penting cepat !. Bermutu atau tidak, itu urusan nanti. Berorientasi hanya pada hasil. Proses tidak penting. Parahnya, “virus” itu sudah menyebar ke berbagai aspek kehidupan. Ingin sukses dengan cara instan. Jadilah, banyak orang korupsi, punya gelar palsu, beli skripsi, ijazah aspal, asal lulus, cepat kaya lewat penggandaan uang dan lain sebagainya. Kalau memang berat, membosankan dan ketinggalan zaman mengapa kita harus bermutu? Kalau ada cara cepat yang memberi hasil, mengapa tidak dicoba?. Lebih lanjut, sekarang ini sudah terjadi pergeseran nilai di masyarakat. Orang makin individualis dan cenderung melecehkan hak orang lain. Untuk mengejar kesuksesannya, orang tak ragu-ragu mengorbankan orang lain. Tidak sedikit dari kita yang bangga mendapatkan ”kesuksesan hidup duniawi” dengan cara-cara yang melanggar ”sunnatullah”.

Munculnya ”budaya instant” ini tentu tidak terjadi dengan sendirinya, hampir bisa dipastikan bertali-temali dengan konstuksi pengetahuan dan keyakinan atau bahkan konsumsi makanan yang kita terima (tidak halalan thoyyiban). Dan pada saat yang sama akumulasi pengalaman ”menyimpang” ini menjadi konstruksi budaya baru yang permissive (dimaklumi) secara sosial dan masuk menjadi tumpukan kesadaran yang diwariskan kepada anak-cucu kita. Jadilah ”pengetahuan” yang diajarkan di sekolah hanya berhenti sebatas pengetahuan, yang tidak ada pengaruhnya pada keyakinan dan perilaku sosial. Jadi kalau sekolah/madrasah/pesantren kurang memberi atsar (pengaruh) bagi pembentukan karakter seorang anak didik, mengapa demikian?.

Saya hanya patut menduga pasti, bahwa Pertama, karena lembaga pendidikan kita tidak cukup mencerminkan atau bahkan bisa dikatakan bergeser dari visi dan misi dasar lembaga pendidikan untuk membentuk karakter anak didik yang cerdas-berkualitas dan memiliki akhlak dan moral yang baik. Barangkali karena lembaga pendidikan kita hanya peduli pada ”gengsi” kelembagaan dengan berfikir kuantitatif (jumlah murid, prosentase lulusan, gedung serta sarana, dll.), sehingga banyak mengorbankan kualitas anak didiknya. Atas nama gengsi lembaga, banyak lembaga pendidikan kita yang mengajarkan anak didiknya ”berbuat tidak jujur” dengan cara ”mengkatrol nilai” atau membocorkan soal-soal ujian. Bayangkan, dengan cara demikian, lembaga pendidikan kita secara nyata mengajarkan ”kemunafikan (hipokrit)” pada anak-didiknya. Di kelas anak didik diajari berbuat baik dan jujur, di saat yang lain guru mengajari anak didiknya berbuat curang. Kontradiktif dam ambigu. Bayangkan betapa bingungnya anak-didik kita yang lahir dengan pengalaman yang ambigu. Sehingga sampai besar tumbuh menjadi generasi ambigu, satu sisi memahami bahwa agama dan pendidikan mengajarkan berbuat baik dan jujur, tapi pada saat yang sama lingkungan sosial dan keluarganya mempermaklumkan cara-cara memperkaya diri, membanggakan kekayaan melalui penyalahgunaan wewenang dan korupsi.

Kedua, dengan demikian anak didik kita kehilangan ”ketauladanan” (uswatun hasanah). Sudah mulai redup tokoh-tokoh yang bersahaja mengajarkan kearifan sejati, tokoh-tokoh yang lahir dari proses dan keprihatinan, tokoh-tokoh yang memiliki nafas panjang dan berkarakter serta menyediakan banyak waktunya untuk ummat. Tokoh yang berusaha menenggelamkan ambisi pribadi ke dalam samudera ”perjuangan” keummatan. Tokoh yang bersedia hidup sederhana dan tidak tergoda untuk bermewah-mewah, tokoh yang benar-benar menjadi Khodimul-ummah.

Ketiga, Situasi nisbi ketauladanan ini berbarengan pula dengan munculnya tokoh-tokoh fiktif yang diciptakan oleh industri hiburan dan televisi. Banyak film-film kartun dan anak-anak yang hadir menjadi idola baru anak-anak kita. Film-film dengan tokoh-tokoh fiktif itu juga pelan tapi pasti telah membawa nilai-nilai yang justru berbeda jauh dari nilai-nilai yang kita ajarkan di bangku sekolah/madrasah/pesantren dan kearifan tradisi kita. Anak-didik kita tumbuh menjadi generasi baru yang hilang jauh (lost generation) dari akar tradisinya. Anak didik kita tidak lagi cukup bersahaja menjelang magrib berangkat ke langgar-langgar, karena tidak ada lagi langgar-langgar yang cukup memiliki daya tahan mempertahankan kearifan. Langgar-langar yang dulu menjadi tempat memperdengarkan kisah-kisah dan sejarah Nabi dan Sahabat serta kisah-kisah yang penuh dengan keteladanan dan hikmah. Jadilah generasi kita yang mengidolakan Superman, Batman, Donald Bebek, Doraemon, dll. Heroisme tokoh-tokoh fiktif yang mengajarkan nilai-nilai dari dunia lain yang tak bermakna pada kehidupan nyata di sekitar kita.

Betapa kita telah kehilangan banyak hal kekayaan hazanah yang kita miliki dan tak lagi mampu bersemi di ruang semai halaman kita sendiri karena kita tak mampu lagi merawatnya karena (generasi) kita lebih tergoda pada cerita-cerita dan mimpi di negeri antah berantah.

Tiga hal di atas setidaknya bisa dianggap sebagai tumpukan kerak-kerak yang membuat lembaga pendidikan kita kehilangan ”kedigdayaan”, kecuali hanya sebagai pelengkap formal persyaratan menjadi CPNS. Bayangkan....... Pendidikan kita hanya mengantarkan anak didiknya mendapatkan ijazah, tidak lebih. Tidak perlu bersusah payah belajar cara mengolah masakan menjadi sedap, toh sekarang sudah ada MIE INSTANT. Panaskan air, pasang mie, lalu pasang bumbu, selesai. Tinggal makan. ITULAH GENERASI INSTANT.

Direktur Eksekutif Bawean Institute Jakarta; Direktur Utama PT. MADAH ARBATA Jakarta; Tenaga Ahli Anggota DPR-RI Fraksi PKB; Pengurus PP-LKKNU Jakarta; Mantan Ketua Senat Mahasiswa Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta; Mantan Presidium Forum Mahasiswa Syari’ah se-Indonesia (FORMASI); dan Mantan Ketua PB-PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan Mantan Koordinator KOBAR (Komite Bawean untuk Reformasi).

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean