Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Politik Asketik KH. Badri Masduqi

Politik Asketik KH. Badri Masduqi

Posted by Media Bawean on Jumat, 27 Februari 2009

Media Bawean, 27 Februari 2009

Oleh : AS’ARI JS.

Tulisan ini terinspirasi tanggapan pembaca Media Bawean tanggal 23/02/2009 yang ingin lebih mengenal figur KH. Badri Masduqi dan pesantren Badridduja beserta sumbangsinya pada bangsa terutama Bawean. Diskusi kali ini, akan membicarakan sepak terjangnya di dunia politik mengingat momentum Pemilu 2009 yang akan di mulai pada 9 April 2009 dengan pemilihan calon legislatif (caleg).


Tulisan ini bagian dari hasil penelitian penulis untuk kepentingan karya ilmiah dengan judul “Pemikiran Politik KH. Badri Masduqi”.


Mungkin hanya sebagian masyarakat Bawean yang mengenal nama KH. Badri Masduqi. Tetapi figur KH. Badri Masduqi adalah figur ulama yang sudah dikenal secara nasional bahkan Internasional. Ia adalah pendiri pesantren Badridduja, Kraksaan, Probolinggo dan Khalifah tarekat Tijaniyah di Indonesia. Lalu apa kaitannya dengan Bawean? Padahal KH. Badri Mashduqi sendiri lahir di Madura. Dan pada perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw., kemaren yang diadakan Ikatan Persaudaraan Bawean Rantau (ISBAR) di Pesantren Badridduja, KH. Ahmad Tauhidullah Badri mengatakan bahwa keberadaan pesantren Badridduja dan pesantren Al-Masduqiah bagian dari kemanfaatan adanya orang Bawean. Kaitannya dengan Bawean adalah adanya sosok Nyai Hj. Maryamah, istri KH. Badri Masduqi yang berasal dari Pulau Bawean (baca: Media Bawean, 23/02/09).


KH. Badri Mashduqi tidak hanya seorang ulama yang pada zamannya dijuluki “Singa Podium”, “Singa Bahtsul Masail”, “Kutu Buku”, “Ahli Makrifat”, tetapi juga mendapat julukan “Top Leader Informal PPP” dan dikenal pula “istikharah politiknya". Selain itu, ia aktif mengikuti dan mengisi seminar baik tingkat lokal maupun nasional. Maka wajarlah bila kemudian ia disebut kiai multifaset atau kiai multidimensi.

Sebagaimana halnya ulama Sunni, KH. Badri Masduqi tidak memisahkan antara Islam dengan politik, tetapi menurutnya secara fungsional harus ada pemisahan antara politik dan Islam. Sebab antara keduanya dua wilayah yang berbeda, politik adalah produk baru dan bersifat relatif sedangkan agama permanen. Jadi, agama tidak bisa dijadikan instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan politik sesaat. Ia juga berpandangan terjadinya perpecahan selama ini di kalangan umat Islam di samping melanggar persoalan-persoalan prinsip demi kepentingan sesaat juga karena dangkalnya pemikiran orang Islam sehingga terjadilah kesenjangan. Adanya pelanggaran terhadap dua hal tersebut mengakibatkan ulama dan kiai saling sikut-menyikut layaknya di dunia olah raga. Begitulah menurut KH. Badri Masduqi.

Kendati demikian KH. Badri Masduqi tidak menjauhi politik justru ia masuk di dalamnya, tetapi ia bermain di luar sistem. Tercatat sejak tahun 1971, KH. Badri Masduqi terjun ke dunia politik praktis saat NU masih menjadi partai politik. Kemudian ia bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) saat partai berideologi Islam dipaksa fusi pada partai bentukan pemerintah tersebut. Pada tahun 1977-1987, KH. Badri Masduqi menjadi juru kampanye PPP yang cukup brilian dan kritis terhadap pemerintah Orde Baru, ia pun sempat mendekam di penjara selama 40 harian tetapi tidak pula menyurutkan kritisismenya. Sebagaimana alasan banyak kiai yang terjun ke dunia politik, KH. Badri Masduqi juga mempunyai alasan yang sama, yaitu sebagai ibadah dan bagian dari amar makruf nahi munkar. Tetapi ada yang membedakan antara politik KH. Badri Masduqi dengan kiai politik lainnya adalah ia tidak tertarik dengan kekuasaan. Jabatan yang cukup menggiurkan dari tawaran menjadi anggota DPRD Jatim sampai DPR/MPR RI baik tawaran PPP maupun tawaran Utusan Golongan semua ia tolak. Alasannya cukup jelas, bahwa antara ulama dan penguasa sudah jelas aturan mainnya. Konsetrasi ulama mengurus umat (berorientasi akhirat) dan penguasa mengurus rakyat (berorientasi keduniaan). Kedua pemimpin ini harus bersinergis sebagai patner dalam membangun bangsa, bila antara kedua pemimpin ini ada kesenjangan jangan harap negara, bangsa akan aman dan rakyat akan sejahtera.

Pada tahun 1992, nama dan wajah KH. Badri Masduqi menghiasi beberapa media nasional. Berawal dari sholat Istikhorah, sholat yang tidak pernah ia tinggalkan saat menghadapi dualisme pilihan terutama menyangkut orang banyak, apalagi soal negara. Berangkat dari itu, kemudian KH. Badri Masduqi melakukan sholat Istikhorah. Hasilnya, ia bermimpi Nabi Muhammad menitipkan bangsa Indonesia pada Soeharto dan berdasarkan ijtihad politiknya tentunya, ia berkesimpulan bahwa Soeharto harus meneruskan kepemimpinan bangsa ini periode 1993-1998 dengan menyandingkan Try Sutrisno sebagai wakilnya. Di tahun yang sama, KH. Badri Masduqi juga melakukan istikhorah untuk mencari siapa figur yang baik untuk menjadi gubernur Jawa Timur periode 1993-1998, hasilnya ia menyebut Bosofi Soedirman (pada saat itu Wakil Gubernur DKI Jakarta) yang pas untuk memimpin, itu semua telah dibuktikan.

Di tahun yang sama, 1992 ia juga menyatakan netral dan berjanji tidak akan terlibat dukung-mendukung salah satu organisasi peserta pemilu manapun, sebab PPP sudah tidak berasas Islam lagi. Golkar juga PDI telah mengusung isu-isu Islam sebagai program partainya yang dulunya program keislaman hanya diperjuangkan PPP. Namun, sebagai konsekuensi netralnya ia berjanji akan mendatangi semua partai yang mengundang bila untuk berceramah agama bukan berkampanye. Sejak itu hingga kewafatannya pada tahun 2002, KH. Badri Masduqi absen dari politik.

KH. Badri Masduqi bertarekat juga berpolitik. Ia telah “meruntuhkan” asumsi bahwa kaum tarekat hanya hidup dalam kesendirian dan menjauh dari kehidupan dan pengapnya politik. Tetapi ia mampu menjambatani dan memasuki dua dunia yang secara diametral berbeda. Politik semacam ini—meminjam istilah Abdul Munir Mulkan—politik asketik yang dilandasi etika moral.

Kembali pada sejarah awal kedatangan Islam, yaitu pada masa Nabi. Munculnya Islam sebagai agama dan sebagai kekuatan sosial disisi lain bukan lahir dari embrio kesukuaan Nabi Muhammad juga tidak dibentuk dari sistem politik. Tetapi Nabi Muhammad membentuk dan membangun Islam dengan membentuk kepribadian, etika dan kepercayaan masyarakat pada dirinya sehingga sebelum diangkat menjadi Nabi sudah bergelar al-Amin. Maka ketika Nabi mendeklarasikan bahwa dirinya adalah utusan Allah, tentu saja sedikit demi sedikit masyarakat percaya dan menerima serta membantu Nabi dalam membesarkan agama Islam. Di awal dakwah Islam hingga berapa tahun, Nabi tidak merubah budaya masyarakat dengan sistem tetapi Nabi membangun masyarakat melalui karakter individu-individu masyarakat dengan menguatkan tauhid, memperkokoh keimanan kepada Allah. Maka sedikit demi sedikit budaya Arab yang kuat akan isme-ismenya, fanatisme golongan dan bahkan Muhammad Saw., mampu merubah masyarakat jahiliyah tersebut kepada sebuah peradaban yang Islami, toleran, kebersamaan.

Tentu saja, merubah karakter masyarakat Indonesia yang korup, dan sejenisnya tidak bisa hanya merubah konstitusinya, tetapi perubahan mendasar yang harus dirubah adalah perubahan mindset, karakter dan budaya masyarakatnya dengan menanamkan dan memperkokoh kembali tauhid atau keimanan yang kuat pada individu-individu masyarakatnya. Apa yang dilakukan KH. Badri Masduqi adalah tak lain merupakan manifes dari pengalaman keagamaannya yang sudah kokoh. Baginya menempuh jalan tarekat adalah solusi dalam memperkokoh keimanan. Tarekat atau Sufisme adalah salah satu unsur untuk memahami esensi agama. Sedangkan esensi agama menurut Muhammad Iqbal adalah iman. Iman lanjut dia lebih dari sekedar perasaan. Itulah dasar fundamen yang dibangun KH. Badri Mashduqi dalam berseni di dunia politik.

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean