Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » Wanita Dalam Hukum Indonesia (2)

Wanita Dalam Hukum Indonesia (2)

Posted by Media Bawean on Sabtu, 18 April 2009

Media Bawean, 18 April 2009

Oleh: A. Fuad Usfa

(Sambungan dari tulisan terdahulu)
3. Wanita Dalam Hukum Indonesia

Pada masyarakat modern untuk menjamin adanya kepastian dalam rangka mewujudkan keadilan diciptakanlah aturan tertulis. Dengan adanya aturan tertulis masyarakat akan mudah memperoleh pegangan yang jelas tentang apa yang harus, tidak atau seyogya dilakukan (fungsi kepastian), atauran tertulis juga dapat menciptakan norma-norma baru, yang belum ada menjadi ada, yang belum jelas menjadi jelas (fungsi inovatif), kemudian hukum harus disejalankan dengan tuntutan realitas sosial (fungsi keadilan), dapat pula fungsi inovatif itu diarahkan untuk mencapai sasaran tertentu secara jelas dalam merekayasa sosial (fungsi rekayasa).

Hukum yang mengatur tentang kedudukan dan peran wanita tidak akan terlepas dari keempat fungsi tersebut di atas. Konteks perkembangan sosial dimana ketentuan itu dibuat sangat memegang peran. Di sini dapat kita cermati beberapa ketentuan yang berkenaan dengan wanita, yaitu baik yang terdapat dalam UUD 1945, GBHN, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Hukum Pidana, Hukum Perkawinan dan Kewarisan.

Undang-undang Dasar 1945 menganut prinsip kesamaan hak, hal ini dapat kita lihat pada pasal 27 baik ayat (1) maupun ayat (2), pasal 30 ayat (1) dan pasal 31 ayat (1). Pasal 27 ayat (1) menyebutkan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, ayat (2) menyebutkan bahwa tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran. Dalam sejarah perkembangannya terdapat ketentuan yang mengatur perihal wanita hingga ke kancah publik, untuk itu dapatlah kita telusuri substansi GBHN yang mana telah banyak membahas perihal kewanitaan, dan dari Pelita ke Pelita mengalami perkembangan. Dalam Pelita II program pembinaan wanita masih belum jelas, hal ini dapat dilihat pada sub bab mengenai pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi dan peran generasi muda, angka 8, disebutkan bahwa pembinaan keluarga adalah sarana bagi pembinaan generasi muda. Untuk pembinaan keluarga yang demikian itu maka hak-hak wanita dijamin serta kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat dilindungi. Pada Pelita berikutnya, Pelita III telah diatur lebih rinci lagi pada sub bab mengenai Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sosial, budaya, angka II dengan judul ‘Peran Wanita dalam Pembangunan dan Pembinaan Bangsa’ terdiri dari 3 poin (kutipan lihat terdahulu). Berbeda halnya dengan Pelita II, dalam Pelita III telah Nampak mengatur fungsi ekstern wanita. Perkembangan ini dapat kita lihat pada Pelita-Pelita selanjutnya. Dalam Pelita IV juga diatur dalam anak sub bab judul ‘Peranan Wanita dalam Pembangunan Bangsa’, terdiri dari 4 poin, demikian juga selanjutnya dalam Pelita V terdiri dari 4 poin dengan penyempurnaan, dan dalam Pelita VI 5 poin. Dalam Pelita VI ini telah dengan jelas mengatur peran wanita dalam kancah publik. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional sebagai pengemban amanat pasal 31 ayat (1) UUD 1945 memandang pria-wanita sama, tidak ada diskriminasi, sama halnya dengan ketentuan yang mengatur hak-hak politik tidak terdapat ketentuan yang menghad kaum wanita berkiprah secara aktif di dalamnya. Dalam hukum pidana terdapat beberapa ketentuan yang bermakna melindungi hak-hak wanita, bisa kita lihat pada pasal-pasal 279-280, 284-287, 296, 506, 294 dan 292. Kiranya di sini dapatlah dikutip pasal 279 pada ayat (1) yang menyebutkan bahwa dipidana dengan pidana penjara selama-lanya 5 tahun(i) Barang siapa yang kawin sedang ia mengetahui bahwa perkawinannya itu telah menjadi halangan yang sah baginya akan kawin. (ii) Barang siapa yang kawin sedang ia mengetahui bahwa perkawinannya itu telah menjadi halangan yang sah bagi jodohnya itu akan kawin lagi, ayat (2) jika yang bersalah atas hal yang diteranagkan pada ayat (1) menyembunyikan kepada jodohnya, bahwa perkawinannya yang telah ada menjadi halangan yang sah akan kawin lagi, maka ia dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 7 tahun . Ayat (3) pencabutan tersebut dalam pasal 35 no 1-5 boleh dijatuhkan. Mengenai hubungan seksual suka sama suka tidak ada ketentuan dalam KUHP sepanjang telah sama dewasa, sedang pada rancangan KUHP (Baru) masalah ini sedang dibahas. Dalam pembahasan perihal tersebut terdapat dua pendapat, yaitu antara paham yang mendasarkan pada kebebasan individu dan perlindungan publik. Sebetulnya dari sudut perlindungan publik amat menguntungkan pihak wanita, bukankah banyak kasus setelah wanita tercemar kehormatannya dan menjadi hamil, lalu ditinggal, sedang bila melapor pada pihak yang berwajib telah bisa ditebak akan mendapat jawaban bahwa tidak ada dasar hukumnya (catatan: sebagai pengecualian baca Yurisprudensi Bismar Siregar), sedang bila bertahan akan akan hadirnya sang anak tentu akan dirasakan sebagai beban psikologis yang berkepanajangan dan bila melakukan aborsi setidaknya akan terhalang dengan tembok hukum. Adapun dalam Undang-undang Perkawianan, yang sering dipahami tidak adil berkenaan dengan wanita ini adalah seputar kawin paksa, poligami serta talak. Untuk menjawab praktek kawin paksa Undang-undang Perkawinan telah menganut prinsip kebebasan memilih pasangan yang harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Dalam penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut tanpa adanya paksaan dari paihak manapun. Dalam undang-undang juga telah ditentukan batas minimum usia kawin. Berkenaan dengan poligami yang sering dipahami merugikan posisi wanita, Undang-undang Perkawinan juga telah berupaya menjawab permasalahan yaitu dengan ditetapkannya azas monogami dengan beberapa pengecualian yang ketat. Berkenaan dengan mudahnya proses (praktek) perceraian Undang-undang Perkawinan telah berupaya mengatasi sedemikian rupa dengan dianutnya azas mempersulit perceraian. Adapun berkaitan dengan hukum kewarisan di Indonesia terdapat beberapa variasi, yaitu bagi golongan pribumi non muslim berlaku hukum adat, bagi golongan yang beragama islam berlaku hukum kewarisan Islam dengan pengecualian pada pilihan hukum, sedang golongan keturunan Eropa ataupun Cina berlaku hukum kewarisan perdata barat (Burgerlijke Wetboek). Pada tahun 1991 Presiden telah mengeluarkan instruksi, yaitu Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 untuk penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam yang memuat ketentuan antara lain tentang hukum kewarisan Islam. Pembagian waris 1:2 sebagaimana ditentukan dalam Kompilasi Hukum Islam itu sementara kalangan terdapat yang mempersepsi sebagai kurang (atau tidak?) adil, maksudnya yang dikehendaki adalah kewarisan bilateral.

Eksistensi hukum yang mengatur tentang wanita yang kini ada tidak bisa lepas dari konteks perjuangan kewanitaan dimana ketentuan itu dibuat, maka studi-studi kewanitaan sangat urgen dalam upaya melakukan pembaharuan hukum yang berkaitan dengan wanita, karena bagaimanapun input dengan data yang jelas sangat dibutuhkan dalam upaya mengintrodusir nilai-nilai serta gerakan yang berkembang.

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean