Media Bawean, 8 April 2009
Oleh: A. Fuad Usfa
Menyongsong Hari Kartini,
Perth, 6 April 2009
1. Pendahuluan
Sudah sejak lama wanita menjadi perbincangan, ada yang hendak bertahan pada statuesque dan ada pula yang bergerak menuntut emansipasi yang radikal, di samping terdapat pula yang berpijak diantara keduanya.
Paham pertama dapatlah disebut sebagai paham neo klasik, yang bertahan pada anggapan bahwa wanita berada pada posisi dominasi pria dalam segala lapangan hidup (posisi obyek). Dari sudut hukum paham ini memunculkan semacam aturan sebagaimana dijumpai dalam ketentuan pasal 1329-1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek/BW) yanga berlaku di Indonesia berdasar azas konkordansi dari KUH Perdata Belanda, sedang Belanda mengambil alih KUH Perdata Prancis, sedang Prancis berdasar hukum Romawi dengan pengaruh hukum kanonik. Pasal 1329 menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, kecuali jika ia oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 menjelaskan bahwa orang yang tidak cakap membuat perikatan adalah: 1. Orang yang belum dewasa; 2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; 3. Orang wanita yang telah kawin. Paham kedua dapatlah disebut paham progresif yang beranggapanbahwa pria-wanita hanyalah merupakan perbedaan jenis semata, sedang segala hak dan kedudukannya adalah sama, apa yang dapat diperbuat dan diperoleh oleh pria tak ada had (penghalang) untuk diperbuat dan diperoleh wanita. Dari sudut hukum paham ini tidak dijumpai dalam hukum positif Indonesia. Paham ketiga dapatlah disebut sebagai paham antara, yang beranggapan bahwa sebagaimana kita ketahui dalam realitas historis, yang mana semenjak dahulu pria selalu berada pada barisan terdepan. Agama-agama besar, baik itu agama langit maupun bumi telah memberikan karinah sedemikian itu, namun pria wanita bergandengan tangan seiring sejalan. Dari sudut hukum paham ini memunculkan aturan sebagaimana tertera dalam GBHN dari Pelita ke Pelita. --Penulis perlu mengutarakan ini, sebab dalam GBHN telah dengan tegas mengatur tentang peran wanita--. Dalam Pelita III dapat kita kutip ‘Peran Wanita dalam Pembangunan dan Pembinaan Bangsa’: (a). Pembangunan yang menyeluruh mensyaratkan ikut sertanya pria maupun wanita secara maksimal di segala bidang. Oleh karena itu wanita mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria untuk ikut serta sepenuhnya dalam segala kegiatan pembanguna; (b). Peran wanita dalam pembangunan tidak mengurangi perannya dalam pembinaan keluarga sejahtera umumnya dan pembinaan generasi muda khususnya, dalam rangka pembinaan manusia Indonesia seutuhnya; (c). Dst.
Dari ketiga paham itu masih dapat dirinci dalam bebarapa cabang, di samping masih terdapat paham yang bisa disebut sebagai paham klasik. Semua itu tidak mendapat tempat dalam perbincangan ini.
Perlu dipahami bahwa hukum yang terdapat di tengah masyarakat tidak akan terlepas dari konteks sosio-cultural di mana hukum itu berlaku. Aturan yang di sini (ruang) dan kini (waktu) dianggap sebagai tepat dan ideal, bias jadi dalam ruang dan/atau waktu yang berbeda mungkin akan sebaliknya. Disamping terdapatnya hukum universal yang mengatasi ruang dan waktu. Demikian pula halnya dengan konteks hukum wanita.
2. Wanita Indonesia
Walau di dunia barat bangkit gerakan emansipasi yang radikal (paham kedua), di kota orang berbincang panjang lebar perihal wanita, pria-wanita desa pada prinsipnya hidup berdampingan bergerak seirama alunan tradisi. Di sini yang perlu dipahami bahwa sesungguhnya perinsip hidup berdampingan terdapat dalam akar budaya masyarakat (baca: adat) Indonesia.
Masyarakat Indonesia memahami pula bahwa wanita sebagai insan lemah, realitas ini diterima dari generasi ke generasi. Dari realitas seperti itulah maka timbul konsep pembagian tugas, bukan dalam makna pengobyekan, yang berbeda dengan sejarah di abad tengah atau masyarakat Arab pra Islam. Pembagian kerja itulah yang dikenal dalam konsep masyarakat (baca: adat) Indonesia. Konklusi yang dipakai bahwa kerja keras (dalam arti luas) adalah lapangan pria, adapun ukuran yang dipakai adalah moral atau etika.
Sejarah terus bergulir, persepsi masyarakat terhadap perlindungan dan etika berkembang pula, apa yang dipersepsi orang dahulu sebagai perlindungan, dipersepsi orang kini sebagai pengekangan, sehingga nilaipun tergugat. Ambillah misal, bila di masa lalu ada wanita sebagai kondektur bus, keadaan tersebut akan dipahami sebagai tugas berat dan tidak etis, maka masyarakat kini bisa berbeda menilainya, demikian seterusnya.
3. Wanita Dalam Hukum Indonesia
(Bersambung)
Oleh: A. Fuad Usfa
Menyongsong Hari Kartini,
Perth, 6 April 2009
1. Pendahuluan
Sudah sejak lama wanita menjadi perbincangan, ada yang hendak bertahan pada statuesque dan ada pula yang bergerak menuntut emansipasi yang radikal, di samping terdapat pula yang berpijak diantara keduanya.
Paham pertama dapatlah disebut sebagai paham neo klasik, yang bertahan pada anggapan bahwa wanita berada pada posisi dominasi pria dalam segala lapangan hidup (posisi obyek). Dari sudut hukum paham ini memunculkan semacam aturan sebagaimana dijumpai dalam ketentuan pasal 1329-1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek/BW) yanga berlaku di Indonesia berdasar azas konkordansi dari KUH Perdata Belanda, sedang Belanda mengambil alih KUH Perdata Prancis, sedang Prancis berdasar hukum Romawi dengan pengaruh hukum kanonik. Pasal 1329 menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, kecuali jika ia oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 menjelaskan bahwa orang yang tidak cakap membuat perikatan adalah: 1. Orang yang belum dewasa; 2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; 3. Orang wanita yang telah kawin. Paham kedua dapatlah disebut paham progresif yang beranggapanbahwa pria-wanita hanyalah merupakan perbedaan jenis semata, sedang segala hak dan kedudukannya adalah sama, apa yang dapat diperbuat dan diperoleh oleh pria tak ada had (penghalang) untuk diperbuat dan diperoleh wanita. Dari sudut hukum paham ini tidak dijumpai dalam hukum positif Indonesia. Paham ketiga dapatlah disebut sebagai paham antara, yang beranggapan bahwa sebagaimana kita ketahui dalam realitas historis, yang mana semenjak dahulu pria selalu berada pada barisan terdepan. Agama-agama besar, baik itu agama langit maupun bumi telah memberikan karinah sedemikian itu, namun pria wanita bergandengan tangan seiring sejalan. Dari sudut hukum paham ini memunculkan aturan sebagaimana tertera dalam GBHN dari Pelita ke Pelita. --Penulis perlu mengutarakan ini, sebab dalam GBHN telah dengan tegas mengatur tentang peran wanita--. Dalam Pelita III dapat kita kutip ‘Peran Wanita dalam Pembangunan dan Pembinaan Bangsa’: (a). Pembangunan yang menyeluruh mensyaratkan ikut sertanya pria maupun wanita secara maksimal di segala bidang. Oleh karena itu wanita mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria untuk ikut serta sepenuhnya dalam segala kegiatan pembanguna; (b). Peran wanita dalam pembangunan tidak mengurangi perannya dalam pembinaan keluarga sejahtera umumnya dan pembinaan generasi muda khususnya, dalam rangka pembinaan manusia Indonesia seutuhnya; (c). Dst.
Dari ketiga paham itu masih dapat dirinci dalam bebarapa cabang, di samping masih terdapat paham yang bisa disebut sebagai paham klasik. Semua itu tidak mendapat tempat dalam perbincangan ini.
Perlu dipahami bahwa hukum yang terdapat di tengah masyarakat tidak akan terlepas dari konteks sosio-cultural di mana hukum itu berlaku. Aturan yang di sini (ruang) dan kini (waktu) dianggap sebagai tepat dan ideal, bias jadi dalam ruang dan/atau waktu yang berbeda mungkin akan sebaliknya. Disamping terdapatnya hukum universal yang mengatasi ruang dan waktu. Demikian pula halnya dengan konteks hukum wanita.
2. Wanita Indonesia
Walau di dunia barat bangkit gerakan emansipasi yang radikal (paham kedua), di kota orang berbincang panjang lebar perihal wanita, pria-wanita desa pada prinsipnya hidup berdampingan bergerak seirama alunan tradisi. Di sini yang perlu dipahami bahwa sesungguhnya perinsip hidup berdampingan terdapat dalam akar budaya masyarakat (baca: adat) Indonesia.
Masyarakat Indonesia memahami pula bahwa wanita sebagai insan lemah, realitas ini diterima dari generasi ke generasi. Dari realitas seperti itulah maka timbul konsep pembagian tugas, bukan dalam makna pengobyekan, yang berbeda dengan sejarah di abad tengah atau masyarakat Arab pra Islam. Pembagian kerja itulah yang dikenal dalam konsep masyarakat (baca: adat) Indonesia. Konklusi yang dipakai bahwa kerja keras (dalam arti luas) adalah lapangan pria, adapun ukuran yang dipakai adalah moral atau etika.
Sejarah terus bergulir, persepsi masyarakat terhadap perlindungan dan etika berkembang pula, apa yang dipersepsi orang dahulu sebagai perlindungan, dipersepsi orang kini sebagai pengekangan, sehingga nilaipun tergugat. Ambillah misal, bila di masa lalu ada wanita sebagai kondektur bus, keadaan tersebut akan dipahami sebagai tugas berat dan tidak etis, maka masyarakat kini bisa berbeda menilainya, demikian seterusnya.
3. Wanita Dalam Hukum Indonesia
(Bersambung)
Posting Komentar