Media Bawean, 11 Juni 2009
"Dungkah berasal dari kegiatan para ibu-ibu saat menumbuk padi, kemudian dijadikan hiburan diri dengan timbul nada kalotekan," kata Cuk Sugrito.
"Nadanya dirasa enak didengar, kemudian ditambah syair-syair sebagai tanda syukur hasil panen,"ujarnya.
"Umumnya dungkah digunakan saat acara pengantin, yaitu warga Bawean mengambil padi dilumbung lalu ditumbuk bersama-sama," jelas tokoh seniman Bawean.
"Dungkah di Pulau Bawean sudah mulai punah, terkecuali di daerah Menara desa Gunungteguh yang masih ada dan tetap dilestarikan sampai sekarang," paparnya. (bst)
Posting Komentar