Media Bawean, 13 Juni 2009
Reporter : Supardi Hardy
Setidaknya, hanya ada satu seniman yang kini masih terus menggeluti kesenian langka itu. Dia adalah Cuk Sugrito, seniman Dungkah asli Bawean.
Apa itu kesenian Dungkah? Dungkah sebenarnya alat untuk menumbuk padi. Di tangan kreatif seniman Bawean, alat penumbuk padi tradisional itu bisa dimanfaatkan untuk kesenian, yang ditabuh secara bersama-sama oleh ibu-ibu.
Kata Dungkah berasal dari bunyi yang keluar dari alat penumbuk padi ketika diadu dengan alu yang terbuat dari sejenis kayu bulat berukuran sebahu, dengan panjang sekitar 2 meter. Dung..dung..kah-kah...Saling bergantian menciptakan satu harmoni yang indah.
"Kesenian Dungkah biasanya hanya dijumpai tatkala musim panen tiba. Dengan penuh rasa syukur, ibu-ibu yang mayoritas petani itu menumbuk padi sambil bernyanyi nyanyian khas dengan logat Bawean," kata Cuk Sugrito kepada beritajatim.com, Sabtu (13/6/2009).
Seni Dungkah atau biasa dikenal lesung, lanjut Sugrito, dimainkan kurang lebih 10 orang, yang saling berhadap-hadapan. Dengan begitu, tabuhan yang dihasilkan saling bersautan menimbulkan irama yang indah.
.
Sayangnya, seni Dungkah kini sudah mulai tergerus zaman. Sudah jarang perempuan Bawean yang menarikan Dungkah. "Mungkin karena perkembangan zaman, mereka lebih memilih bekerja di kota," jelasnya.
Karena itu, dia berharap agar masyarakat, khususnya di Pualau Bawean serta pemerintah bisa melestarikan kesenian ini. Sebab, di Bawean, kini Dungkah hanya bisa ditemui di Desa Gunung Teguh, Kecamatan Sangkupura. (ard/eda)
Posting Komentar