Media Bawean, 26 Juni 2009
Sumber : Surabaya Post
Oleh:Fathurrahman Al Aziz

SEKTOR informal, termasuk pedagang kali lima atau PKL, diidentikkan dengan kelompok masyarakat pinggiran, berpendidikan rendah, membuat kotor pemandangan kota, sumber tindak kriminalitas-ketidaktertiban dan sederet cap negatif lainnya.
Pandangan inilah yang membuat PKL di Kota Surabaya selalu menjadi sasaran penertiban maupun penggusuran.
Persoalan ini membuat Ali Achsan Mustafa prihatin. Menurut pria yang pernah menjabat sebagai anggota DPRD Jatim priode 1982-1987 ini, kebijakan terhadap PKL seharusnya dengan mengakomodasi persoalan yang mereka hadapi, bukan sekadar menggusur.
”Mereka ini ada kan karena keterbatasan lapangan kerja. Seharusnya kebijakan pemerintah kota lebih diarahkan memecahkan persoalan mereka seperti lokasi usaha, modal, pembinaan dan lain sebagainya,” ujarnya. ”Bukannya menertibkan mereka dengan dalih keindahan, ketertiban atau mungkin mengurangi kemacetan,” ujar Ali Achsan.
Dengan latar belakang masalah itulah, Ali mengangkat persoalan urban yang satu ini sebagai topik orasi ilmiahnya yang berjudul ”Dimensi Politik dalam Transformasi Sosial Sektor Informal.” Orasi itu disampaikannya dalam penetapan dirinya sebagai guru besar bidang Sosiolog Universitas Wijaya Kusuma, Selasa (23/6).
Menurut Ali, penertiban yang dilakukan pemerintah harus memperhatikan porsi hak dan kewajiban. ”Tanpa hal itu, maka yang ada adalah kesewenang-wenangan yang dapat menimbulkan manipulasi dan eksploitasi penggusuran. Kalau memang dalihnya penertiban apakah setelah itu tercipta ketertiban setelah penertiban,” ujarnya.
Menurut dosen luar biasa Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya (UB) ini, tekanan-tekanan terhadap PKL ini agaknya membuat para PKL mengalami apa yang disebut Ali Achsan sebagai transformasi sosial.
Ali bisa dikatakan sebagai satu dari tak banyak akademisi yang peduli atas nasib PKL ini. Beragam riset dia lakukan untuk dapat memahami persoalan PKL guna mencari solusi yang arif, bijak, dan adil.
Dalam grounded research yang kemudian mengantarnya meraih gelar doktor, Ali, mengungkapkan para PKL ini semakin memiliki pengetahuan yang berimbas pada peran yang mereka jalankan.
”Pedagang kaki lima yang dulunya berpengetahuan rendah sekarang berubah akibat pengetahuan dan teknologi yang dikuasai semakin besar,” ujar Ali Achsan.
Konsekuensi perubahan peran ini kemudian mengubah pola interaksi mereka, jelas pria asal Bawean Gresik ini. Menurutnya, perubahan peran itu membawa interaksi PKL semakin luas. ”Tidak hanya hubungan ekonomi dalam jual beli namun terkait eksistensi sosial politik. Perubahan peran itu juga mengubah jaringan sosial menembus batas-batas dari sekedar bertahan hidup tetapi juga meningkatkan kualitas kesejahteraan,” ujarnya.
Pria yang menyelesaikan program doktor ilmu sosialnya di Universitas Airlangga pada 1998 lalu ini mengatakan, penelitian yang dilakukan tergolong jarang ada. ”Penelitian sebelumnya mengenai PKL lebih banyak dari tinjauan ekonomi, antropologi, dan geografinya,” ujar Ali Achsan.
Menurut suami Siti Asyiyah ini, tekanan ini memunculkan tiga bentuk kesadaran. Pertama, kesadaran politik, kesadaran humanis dan kesadaran kultural. Ali mengatakan, ketiga jenis kesadaran tidak ditemukan utuh dalam perlawanan para PKL. ”Namun ketiganya membentuk jaringan kesadaran yang kokoh sebagai pondasi dalam melakukan perlawanan,” ujar Ali.
Kesadaran politik, kata Ali, berkenaan dengan posisi para PKL dalam struktur masyarakat. ”Ini jenis kesadaran tertinggi dimana PKL melihat dirinya sebagai suatu unsur dalam bangunan besar bernama negara. Mereka tahu hak dan kewajiban mereka,” ujar Ali.
Sedang kesadaran humanis PKL muncul manakala harga diri mereka terusik. ”Jenis kesadaran ini karena mereka merasa tidak di-uwongke (dimanusiakan). Prinsipnya, keras atau lunaknya perlawanan yang dilakukan oleh para PKL bergantung pada kerasnya tidaknya penertiban yang dilakukan aparat,” ujar Ali.
Lebih lanjut Ali mengatakan, kesadaran kultural terakit dengan budaya Suroboyoan, karakter arek yang bercirikan spontanitas, cenderung kasar, berani dan tidak mau kalah dipadukan dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat mengenai harga diri.
”Mengingat mayoritas PKL adalah orang Surabaya dan Madura serta beberapa orang dari daerah di Jawa Timur lainnya, maka penindasan kultural terhadap nilai-nilai memunculkan kesadaran kultural para PKL,” ujarnya.
Ali juga mengimbau tak hanya pemkot, tapi juga seluruh akademisi agar lebih peduli dan melakukan pembelaan terhadap mereka yang termarjinalkan seperti salah satunya para PKL ini. ”Ini yang sudah saya sampaikan pada pemkot dan pemprov,” ujarnya.
*
Biodata
Nama : Prof Dr Ali Achsan Mustafa
Tempat/Tanggal : Bawean, 20 November 1944
Jabatan Fungsional : Guru Besar
Pekerjaan : Dosen Kopertis Wilayah VII UWKS
Agama : Islam
Istri : Dra Siti Asiyah MS
Anak :
1. Asnar Ahdyansyah SIP
2. Ahdiana Rahmawati S. Sos
3. Ahdony Asfiansyah SE Ak.
Pendidikan :
1. Lulus Sarjana Muda FKIS-IKIP Malang (1970)
2. Lulus Sarjana Pendidikan FKIS-IKIP Malang (1974)
3. Lulus Doktor Ilmu Sosial Unair Surabaya (1998)
Pekerjaan :
1. Dosen IKIP-Negeri Malang (1976-1988)
2. Dosen Luar Biasa Universitas Brawijaya (UB)
3. Anggota DPRD Jatim antar waktu (1977-1987)
4. Dosen PNS Kopertis VII UWK Surabaya
Posting Komentar