Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » “Merantau”-kan Pikiran.

“Merantau”-kan Pikiran.

Posted by Media Bawean on Jumat, 02 Oktober 2009

Media Bawean, 2 Oktober 2009

Oleh: Ending Syarifuddin Ra’uf


Ending Syarifuddin Ra’uf

Seperti halnya orang kebanyakan, tahun ini saya-pun dan keluarga ikut dalam arus mainstream melakukan ritual mudik kampung, lebaran. Mencoba kembali ke Fitrah dalam maknanya yang luas, selain bermaaf-maafan juga fitrah me-refresh fisik yang disibukkan oleh hasrat “berkuasa”, menikmati segala yang serba alami dan kearifan tradisi kampung. Pun di dalamnya pasti silaturrahim ke keluarga, kerabat, kawan & tetangga sekitar.

Lebaran kali ini, dengan pernak-perniknya adalah siklus terminal kehidupan yang tetap akan disinggahi dan tetaplah istimewa. Tetapi dalam keistimewaan itu ada sesuatu yang kali ini mengusik pikiran saya sebagai “perantau”. Dalam satu perbincangan kunjungan lebaran dengan salah satu orang sepuh di kampung istri saya, ada pernyataan yang “mengganggu” pikiran saya. Orang sepuh itu, yang kebetulan statusnya sama dengan saya, menantu-pendatang, di kampung itu, bertegur sapa dengan saya. Setelah berkenalan, dia nanya apa saya kerja di Malaysia atau Singapore?. Saya bilang, ”saya di Jakarta”. Orang sepuh itu kembali bertanya: ”kerja kapal ya...”. Pertanyaan yang wajar untuk ukuran orang sesepuh beliau tapi lumayan mengganggu. Mengganggu kesadaran primordial-sektarian ke-Bawean-an saya.

Pertanyaan orang sepuh itu ”membantu” dan memandu saya bergerak merumuskan kembali definisi operasional dari ”merantau”, budaya hijrah ala Bawean yang berlangsung bertahun-tahun sebagai energi gerak dan etos Bawean. Pertanyaan orang tua itu membawa saya mengingat pernyataan yang sama oleh salah satu anak muda Bawean dalam sejumlah kesempatan. Bahkan dalam beberapa tahun belakangan, ketika Malaysia dan Singapore sebagai tujuan perantau tradisional orang Bawean semakin tidak menjanjikan, anak-anak muda usia produktif di Bawean masih banyak mencoba peruntungan sebagai ABK (anak buah kapal) melalui agensi-agensi perusahaan perkapalan.

Budaya merantau tentu menandakan hidup yang dinamis. Tetapi jika merantau tetap dimaknai sebagai sekedar pergerakan (mobilitas) orang dari satu tempat ke tempat lainnya itu berarti budaya Merantau tidak lagi dinamis, melainkan statis. Karena dalam kesadaran merantau tak mengalami ”loncatan/pergeseran paradigma”. Jika ”Merantau” kita paralelkan dengan pengertian ”Hijrah”, maka sepatutnya sikap merantau berkorelasi dengan dinamika berfikir. Merantau berarti adalah hijrah dari pikiran dan sikap ekspoitatif-karitatif kepada pikiran produktif-kreatif.

Walaupun untuk kasus masyarakat Bawean, tradisi merantau itu –dalam banyak hal-- berkorelasi dengan sikap etos produktif. Buktinya, jika di pulau Bawean orang Bawean memilih pekerjaan tertentu saja, tapi kalau merantau di Malaysia dan Singapore umumnya bersedia mengerjakan pekerjaan apa saja.

Bayangkan jika energi merantau itu digerakkan sebagai ”dinamika berfikir” merantau-kan pikiran dari etos konsumtif-eksploitatif menuju etos produktif. Maka energi dinamis merantau tidaklah perlu menggerakkan anak-anak muda usia produktif pergi meninggalkan pulau Bawean, melainkan sumber daya produktif itu digerakkan untuk mensejahterakan pulau Bawean sendiri.

Kemaren dari mudik itu, diantara kegembiraan lebaran ada kegetiran yang akan menjadi bola salju yang lambat laun terus membesar menjadi masalah sosial yang membahayakan, menjadi pengangguran. Ada yang mengeluhkan sulitnya mencari pekerjaan dan terpaksa menjadi ABK dengan gaji yang terbilang rendah, ada yang mengeluh susahnya menjadi PNS, ada yang mengeluh harga ikan murah, tidak sedikit yang resah munculnya pedagang keliling-musiman dari Jawa yang membawa barang-barang murah(an). Tak terkecuali petani yang mengeluhkan harga pupuk melambung dan tanah yang semakin tak produktif.

Kegetiran yang bersemayam dalam pikiran banyak orang Bawean itu harus ditangkap sebagai sebuah harapan akan pentingnya pergeseran paradigma pemikiran dari banyak pihak, tak terkecuali para pemegang otoritas kuasa di Bawean. Mesin pemindai otoritas publik harus mendesign rencana strategis pengembangan pulau Bawean berdasarkan need assasement dari masyarakat Bawean itu sendiri. Key word-nya adalah pengembangan ekonomi produktif-kreatif bukan politik. Sebab dua hal ini sesuatu yang berbeda, yang pertama centrum-nya digerakkan oleh kekuatan masyarakat sebagai subyek utamanya sedangkan yang kedua digerakkan oleh segelintir orang (the rulling class) sebagai subyeknya. Yang pertama dirancang berdasarkan kebutuhan dasar masyarakat, sedangkan yang kedua berdasarkan kebutuhan elit.

Karena itu, berdasarkan keyakinan saya pribadi, kemandirian (masyarakat) Bawean haruslah dimulai dari pemenuhan kebutuhan dasar (basic need)-nya, bukan kebutuhan politik-nya. Saya termasuk orang yang tidak sejalan dengan pikiran kaum cerdik-cendekia Bawean – termasuk dalam kesempatan diskusi momentum mudik kemaren – jika kemandirian Bawean dapat ditempuh dengan keputusan politik ”menjadikan Bawean sebagai Kabupaten/Kota Madya/Kotatib”.

Pendek kata, paradigma ”Merantaukan Pikiran” akan menggerakkan energi produktif-kreatif seluruh segmen potensial dari masyarakat Bawean dimana saja berada untuk menyumbangkan gagasan ekonomi produktif-kreatif bagi masa depan bawean yang lebih baik. Dengan demikian, Masyarakat Bawean yang sudah merantau dan menetap di luar Bawean tetap dapat melakukan tugas ”Fathu Makkah” untuk memakmurkan Bawean dan Orang Bawean yang tinggal di Bawean dapat mengeksplorasi potensi diri dan alamnya menjadi lebih produktif, tanpa perlu lagi merantau meninggalkan pulaunya.Cukup marantaukan pikirannya.Wallahu a’lam.

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean