Media Bawean, 29 April 2010
Oleh : M. Riza Fahlevi
Tak banyak yang tahu bahwa pada tangal 23 April lalu, dunia memperingati hari buku. Meski sama-sama tak dimasukkan dalam hari libur nasional, peringatan ini kurang bergema bila dibanding dengan hari Valentine. Padahal, peringatan inilah yang menandai perjalanan peradaban jagad ini.
Saya pernah ditanya, apa yang terlintas di benak saya saat disebut kata ”buku”. Bagi saya buku adalah kenangan persahabatan. Saat SD berebut membaca kisah 25 Nabi dan Rasul, buya HAMKA. Selang di bangku SMP, mulai larut dalam kisah-kisah petualangan, Gullver hingga Tom Sawyer.
Berganjak ke SMA, mulai antre dipersewaan komik, melalap beratus seri kisah pendekar klasik China karya Asmaraman Khopinghoo. Sesekali diselingi novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, hingga catatan Anne Frank.
Hingga mahasiswa masih antre lagi di perpustakaan, baca The Art of Philosphy, The Art of War, The Art of Loving, Psikologi Komunikasi, buku-buku ”kiri”, buku-buku ”kanan”. Majalah dan koran, sudah tak terhitung lagi. Hingga hari ini membaca buku-buku tasawwuf moderen karya Agus Mustofa, sekaligus bersahabat dengan penulis dan distributornya. Begitulah kesan saya dan saya rasa tiap orang memiliki kesan tersendiri yang beragam akan buku.
Keasyikan membaca buku ini adalah, imajinasi masih bebas merdeka mengembara, mereka-reka gambar apa yang cocok bagi kata-kata yang tengah dibaca. Penyair Prancis, Charles Pierre Baudelaire pernah menulis, bahagialah pikiran yang terbang seperti layang-layang pagi, dan memahami ”bahasa” bunga dan benda yang tak berbunyi.
Bukan seperti televisi yang kadang membatasi ruang nalar. Gunawan Muhammad pernah menulis di twitter-nya, TV adalah media perkasa: bisa membuat kebencian jadi fasih dan preman jadi pahlawan. Inilah mengapa, di negara maju televisi disebut sebagai candu yang berbahaya bagi generasi penerus.
Berbicara menganai buku, tentunya tak lepas kaitannya dengan kertas. Sebuah buku dasar-dasar Publisistik pernah membedah, bahwa dunia sudah seharusnya berterima kasih kepada Ts’ai Lun (Cai Lun), penemu kertas berkebangsaan Tionghoa pada tahun 105 Masehi.
Sebelum era ini, perpustakaan lebih banyak dipenuhi skroll ketimbang buku. Maklumlah, saat itu tulisan masih diukir dan dipahat dalam kulit kayu, bambu, hingga daun lontar (parkamen). Setelah revolusi yang memulai peradaban buku inilah, kemudian mengubah peradaban kitab suci, dan peradaban manusia modern.
Pada akhirnya, teknik pembuatan kertas tersebut jatuh ketangan orang-orang Arab pada masa Dinasti Abbasiyah yang memerintah antara 750-1258, terutama setelah kalahnya pasukan Dinasti Tang dalam Pertempuran Sungai Talas pada tahun 751 Masehi (abad ke-8).
Hingga muncullah pusat-pusat industri kertas baik di Baghdad maupun Samarkand dan kota-kota industri lainnya. Kertas masuk ke Eropa lewat Islam pada abad ke-11, sedangkan industri kertas masuk ke Itali dan Jerman baru awal abad ke-15, tujuh abad setelah kaum Muslim menggunakannya.
Perkembangan kertas yang kemudian menjadi buku ini, membuat ilmu peradaban Islam saat itu kian maju. Dalam sebuah catatan, ibu kota Abbasiyah, Baghdad, merepresentasikan kota-kota modern saat ini seperti New York, Paris, atau London di dalam peradaban Barat modern.
Cendekiawan muslim, Luthfi Assyaukanie Ph.D pernah menulis, Marshal Hodgson, penulis The Venture of Islam, mengatakan, Baghdad adalah bintang terang di semua gugus kota yang ada di planet bumi saat itu.
Di Baghdad kaum Muslim mencapai kejayaannya di mana berbagai aspek kehidupan mengalami artikulasinya secara sempurna. Islam Baghdad adalah Islam yang gemilang yang menandakan pencapaian agama yang dibawa Nabi Muhammad.
Bagdad di masa kejayaannya adalah kota rujukan bagi peradaban dunia saat itu. Kota-kota Islam lain yang mereplikasi Baghdad adalah Cordova, Granada, dan Sevilla di Spanyol di bawah kekuasaan Dinasti Umayah.
Sama seperti Baghdad, ketiga kota itu merupakan mercusuar peradaban Islam di zaman pertengahan. Tanpa Baghdad dan Cordova, agama Islam tetaplah sebuah agama padang pasir yang tidak menarik.
Kejayaan ini tak lepas kaitannya dengan banyaknya jumlah buku yang dihasilkan, setara dengan iklim membaca masyarakatnya. Tak heran saat itu bermunculan para filusuf, ilmuan. Puluhan perpustakaan besar (maktabah) didirikan, termasuk Perpustakaan Baghdad yang diawasi langsung oleh khalifah. Selain karya-karya asing, buku karya ilmuan muslim sendiri juga ada di Perpustakaan Baghdad ini. Koleksi buku Perpustakaan Baghdad berjumlah 400 hingga 500 ribu jilid.
Verba valent, scripta manent. Kata-kata bisa hilang, tetapi tulisan tetap abadi. Dakwah yang palng abadi tetaplah dakwah melalui tulisan. Berkah buku tidak akan pernah berkekurangan. Meskipun orang melirik pada dunia maya dengan perkembangan ternologi, membuat berbagai macam situs untuk mengabadikan pemikirannya, tapi tidak ada yang bisa mengalahkan sebuah buku. Ia bisa menjangkau pikiran manusia kapan saja, dibaca di mana saja, dan mengubah diri pembacanya seketika itu juga.
Namun dunia kemudian meratapi peristiwa ketika Abbasiyah dihancurkan pasukanMongol (1258). Mereka membakar atau membuang ke koleksi buku Perpustakaan Baghdad ke Sungai Tigris. Ini adalah pemusnahan buku paling mengerikan dalam sejarah perpustakaan Islam. Tumpukan api unggun pembakaran buku Perpustakaan Baghdad konon menyamai ketinggian menara Masjid Agung Baghdad.
Ini adalah peristiwa terburuk dalam sejarah kepustakaan dunia, setelah peritiwa terbakarnya Ptolemies, perpustakaan besar di Alexandria di era kejayaan Romawi Timur, Byzantium.
Sedangkan sejarah percetakan buku di Indonesia dimulai pada tahun 1619 ketika pemerintah kolonial belanda menjadikan Batavia sebagai pusat kekuasaannya di Hindia Belanda. Namun perkembangan percetakan di daerah itu, dimulai dengan kedatangan misionaris Inggris, Medhurst, ke Batavia pada tahun 1828.
Ketika misionaris Amerika dan Inggris pindah ke China, pada tahun 1840-an, percetakan itu ditinggalkan di Singapura dan dimanfaatkan oleh Reverend Keasberry dan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Penerbitan mereka berdua menghasilkan beberapa buku dengan iluminasi dan edisi yang mewah di zamannya.
Sebuah buku Roeman Pergaoelan mengisahkan, buku awal yang dicetak dalam bahasa Minangkabau adalah Malayan Miscellanies 1820-1822 dan Kaba Cindur Mata pada tahun 1904. Malayan Miscellanies ditulis Dr W Jack dan terdiri atas dua volume.
Volume I adalah syair dalam bahasa Melayu yang bercerita tentang perjalanan Raffles ke Minangkabau berjudul Account of a Journey from Moco-Moco to Pangkalan Jambi, Trough Korinchi in 1818. Kedua ditulis dalam bahasa Minangkabau setebal 8 halaman yang berisi undang-undang serta keturunan raja Moko Moko Inderapura Darat.
Penerbitan ini menjadi era baru percetakan buku di Sumatera, khususnya Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Sejumlah penerbitan di Sumatera Barat dan Sumatera Utara inilah yang memberikan sumbangan berarti bagi kehidupan sosial politik pada masa-masa pra kemerdekaan.
Melalui buku inilah, fungsi jurnalistik bagi masyarakat dapat dijalankan dengan maksimal, terutama dalam hal kritik sosial dan advokasi bagi masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan.
Pada akhir 1930-an sejumlah penerbit karya sastra di berbagai daerah mulai mengelola penerbitannya secara khusus. Roman mulai diterbitkan secara periodik. Dalam mengusahakan penerbitan karya sastra itu, para penggagasnya tetap mengusahakan terwujudnya cita-cita mereka terhadap kemerdekaan.
Hal itu diperlihatkan dengan keterlibatan mereka dalam organisasi pergerakan politik dan juga pandangan ideologi para pegiat penerbitan tersebut. Semangat nasionalisme menjadi sesuatu yang mendasari penerbitan karya sastra.
Hingga saat ini, buku selalu menjadi media penting untuk mencerdaskan masyarakat. Tak heran bila di negara-negara maju, budaya membaca tumbuh dengan hebatnya. Amien Rais pernah bercerita, betapa masyarakat Amerika sangat suka membaca. Hal ini juga sama dengan yang ada di Jepang. Tiada hari tanpa buku, bahkan saat antre hingga dalam kereta-pun masih membaca.
Bagaimana dengan di Indonesia sendiri? Budaya membaca ini sangat jarang ditemukan. Di sini, masyarakat masih mendewakan televisi. Apalagi setelah internet merambah ponsel, budaya membaca buku kian hilang berganti dengan chatting dan kegiatan narsis lainnya.
Hal ini kian diperparah, oleh kurangnya pemerintah daerah memperhatikan minat baca, atau memfasilitasi ketersediaan buku-buku ini.
Sejauh yang saya lihat, visi dan misi para kandidat Bupati Gresik yang bersaing, tak ada yang menyentuh soal ini. Semua masih pada tataran materaialistis.
Kini, tugas Media Bawean-lah yang harus mendorong mereka agar tergerak melakukan ini. Siapkanlah event kampanye untuk meningkatkan minat baca.

Tak banyak yang tahu bahwa pada tangal 23 April lalu, dunia memperingati hari buku. Meski sama-sama tak dimasukkan dalam hari libur nasional, peringatan ini kurang bergema bila dibanding dengan hari Valentine. Padahal, peringatan inilah yang menandai perjalanan peradaban jagad ini.
Saya pernah ditanya, apa yang terlintas di benak saya saat disebut kata ”buku”. Bagi saya buku adalah kenangan persahabatan. Saat SD berebut membaca kisah 25 Nabi dan Rasul, buya HAMKA. Selang di bangku SMP, mulai larut dalam kisah-kisah petualangan, Gullver hingga Tom Sawyer.
Berganjak ke SMA, mulai antre dipersewaan komik, melalap beratus seri kisah pendekar klasik China karya Asmaraman Khopinghoo. Sesekali diselingi novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, hingga catatan Anne Frank.
Hingga mahasiswa masih antre lagi di perpustakaan, baca The Art of Philosphy, The Art of War, The Art of Loving, Psikologi Komunikasi, buku-buku ”kiri”, buku-buku ”kanan”. Majalah dan koran, sudah tak terhitung lagi. Hingga hari ini membaca buku-buku tasawwuf moderen karya Agus Mustofa, sekaligus bersahabat dengan penulis dan distributornya. Begitulah kesan saya dan saya rasa tiap orang memiliki kesan tersendiri yang beragam akan buku.
Keasyikan membaca buku ini adalah, imajinasi masih bebas merdeka mengembara, mereka-reka gambar apa yang cocok bagi kata-kata yang tengah dibaca. Penyair Prancis, Charles Pierre Baudelaire pernah menulis, bahagialah pikiran yang terbang seperti layang-layang pagi, dan memahami ”bahasa” bunga dan benda yang tak berbunyi.
Bukan seperti televisi yang kadang membatasi ruang nalar. Gunawan Muhammad pernah menulis di twitter-nya, TV adalah media perkasa: bisa membuat kebencian jadi fasih dan preman jadi pahlawan. Inilah mengapa, di negara maju televisi disebut sebagai candu yang berbahaya bagi generasi penerus.
Berbicara menganai buku, tentunya tak lepas kaitannya dengan kertas. Sebuah buku dasar-dasar Publisistik pernah membedah, bahwa dunia sudah seharusnya berterima kasih kepada Ts’ai Lun (Cai Lun), penemu kertas berkebangsaan Tionghoa pada tahun 105 Masehi.
Sebelum era ini, perpustakaan lebih banyak dipenuhi skroll ketimbang buku. Maklumlah, saat itu tulisan masih diukir dan dipahat dalam kulit kayu, bambu, hingga daun lontar (parkamen). Setelah revolusi yang memulai peradaban buku inilah, kemudian mengubah peradaban kitab suci, dan peradaban manusia modern.
Pada akhirnya, teknik pembuatan kertas tersebut jatuh ketangan orang-orang Arab pada masa Dinasti Abbasiyah yang memerintah antara 750-1258, terutama setelah kalahnya pasukan Dinasti Tang dalam Pertempuran Sungai Talas pada tahun 751 Masehi (abad ke-8).
Hingga muncullah pusat-pusat industri kertas baik di Baghdad maupun Samarkand dan kota-kota industri lainnya. Kertas masuk ke Eropa lewat Islam pada abad ke-11, sedangkan industri kertas masuk ke Itali dan Jerman baru awal abad ke-15, tujuh abad setelah kaum Muslim menggunakannya.
Perkembangan kertas yang kemudian menjadi buku ini, membuat ilmu peradaban Islam saat itu kian maju. Dalam sebuah catatan, ibu kota Abbasiyah, Baghdad, merepresentasikan kota-kota modern saat ini seperti New York, Paris, atau London di dalam peradaban Barat modern.
Cendekiawan muslim, Luthfi Assyaukanie Ph.D pernah menulis, Marshal Hodgson, penulis The Venture of Islam, mengatakan, Baghdad adalah bintang terang di semua gugus kota yang ada di planet bumi saat itu.
Di Baghdad kaum Muslim mencapai kejayaannya di mana berbagai aspek kehidupan mengalami artikulasinya secara sempurna. Islam Baghdad adalah Islam yang gemilang yang menandakan pencapaian agama yang dibawa Nabi Muhammad.
Bagdad di masa kejayaannya adalah kota rujukan bagi peradaban dunia saat itu. Kota-kota Islam lain yang mereplikasi Baghdad adalah Cordova, Granada, dan Sevilla di Spanyol di bawah kekuasaan Dinasti Umayah.
Sama seperti Baghdad, ketiga kota itu merupakan mercusuar peradaban Islam di zaman pertengahan. Tanpa Baghdad dan Cordova, agama Islam tetaplah sebuah agama padang pasir yang tidak menarik.
Kejayaan ini tak lepas kaitannya dengan banyaknya jumlah buku yang dihasilkan, setara dengan iklim membaca masyarakatnya. Tak heran saat itu bermunculan para filusuf, ilmuan. Puluhan perpustakaan besar (maktabah) didirikan, termasuk Perpustakaan Baghdad yang diawasi langsung oleh khalifah. Selain karya-karya asing, buku karya ilmuan muslim sendiri juga ada di Perpustakaan Baghdad ini. Koleksi buku Perpustakaan Baghdad berjumlah 400 hingga 500 ribu jilid.
Verba valent, scripta manent. Kata-kata bisa hilang, tetapi tulisan tetap abadi. Dakwah yang palng abadi tetaplah dakwah melalui tulisan. Berkah buku tidak akan pernah berkekurangan. Meskipun orang melirik pada dunia maya dengan perkembangan ternologi, membuat berbagai macam situs untuk mengabadikan pemikirannya, tapi tidak ada yang bisa mengalahkan sebuah buku. Ia bisa menjangkau pikiran manusia kapan saja, dibaca di mana saja, dan mengubah diri pembacanya seketika itu juga.
Namun dunia kemudian meratapi peristiwa ketika Abbasiyah dihancurkan pasukanMongol (1258). Mereka membakar atau membuang ke koleksi buku Perpustakaan Baghdad ke Sungai Tigris. Ini adalah pemusnahan buku paling mengerikan dalam sejarah perpustakaan Islam. Tumpukan api unggun pembakaran buku Perpustakaan Baghdad konon menyamai ketinggian menara Masjid Agung Baghdad.
Ini adalah peristiwa terburuk dalam sejarah kepustakaan dunia, setelah peritiwa terbakarnya Ptolemies, perpustakaan besar di Alexandria di era kejayaan Romawi Timur, Byzantium.
Sedangkan sejarah percetakan buku di Indonesia dimulai pada tahun 1619 ketika pemerintah kolonial belanda menjadikan Batavia sebagai pusat kekuasaannya di Hindia Belanda. Namun perkembangan percetakan di daerah itu, dimulai dengan kedatangan misionaris Inggris, Medhurst, ke Batavia pada tahun 1828.
Ketika misionaris Amerika dan Inggris pindah ke China, pada tahun 1840-an, percetakan itu ditinggalkan di Singapura dan dimanfaatkan oleh Reverend Keasberry dan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Penerbitan mereka berdua menghasilkan beberapa buku dengan iluminasi dan edisi yang mewah di zamannya.
Sebuah buku Roeman Pergaoelan mengisahkan, buku awal yang dicetak dalam bahasa Minangkabau adalah Malayan Miscellanies 1820-1822 dan Kaba Cindur Mata pada tahun 1904. Malayan Miscellanies ditulis Dr W Jack dan terdiri atas dua volume.
Volume I adalah syair dalam bahasa Melayu yang bercerita tentang perjalanan Raffles ke Minangkabau berjudul Account of a Journey from Moco-Moco to Pangkalan Jambi, Trough Korinchi in 1818. Kedua ditulis dalam bahasa Minangkabau setebal 8 halaman yang berisi undang-undang serta keturunan raja Moko Moko Inderapura Darat.
Penerbitan ini menjadi era baru percetakan buku di Sumatera, khususnya Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Sejumlah penerbitan di Sumatera Barat dan Sumatera Utara inilah yang memberikan sumbangan berarti bagi kehidupan sosial politik pada masa-masa pra kemerdekaan.
Melalui buku inilah, fungsi jurnalistik bagi masyarakat dapat dijalankan dengan maksimal, terutama dalam hal kritik sosial dan advokasi bagi masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan.
Pada akhir 1930-an sejumlah penerbit karya sastra di berbagai daerah mulai mengelola penerbitannya secara khusus. Roman mulai diterbitkan secara periodik. Dalam mengusahakan penerbitan karya sastra itu, para penggagasnya tetap mengusahakan terwujudnya cita-cita mereka terhadap kemerdekaan.
Hal itu diperlihatkan dengan keterlibatan mereka dalam organisasi pergerakan politik dan juga pandangan ideologi para pegiat penerbitan tersebut. Semangat nasionalisme menjadi sesuatu yang mendasari penerbitan karya sastra.
Hingga saat ini, buku selalu menjadi media penting untuk mencerdaskan masyarakat. Tak heran bila di negara-negara maju, budaya membaca tumbuh dengan hebatnya. Amien Rais pernah bercerita, betapa masyarakat Amerika sangat suka membaca. Hal ini juga sama dengan yang ada di Jepang. Tiada hari tanpa buku, bahkan saat antre hingga dalam kereta-pun masih membaca.
Bagaimana dengan di Indonesia sendiri? Budaya membaca ini sangat jarang ditemukan. Di sini, masyarakat masih mendewakan televisi. Apalagi setelah internet merambah ponsel, budaya membaca buku kian hilang berganti dengan chatting dan kegiatan narsis lainnya.
Hal ini kian diperparah, oleh kurangnya pemerintah daerah memperhatikan minat baca, atau memfasilitasi ketersediaan buku-buku ini.
Sejauh yang saya lihat, visi dan misi para kandidat Bupati Gresik yang bersaing, tak ada yang menyentuh soal ini. Semua masih pada tataran materaialistis.
Kini, tugas Media Bawean-lah yang harus mendorong mereka agar tergerak melakukan ini. Siapkanlah event kampanye untuk meningkatkan minat baca.
Posting Komentar