Media Bawean, 8 Mei 2010
Oleh : M. Riza Fahlevi
Ibu...
Ketika kata ini disebut, maka beribu kata sanjungan biasanya akan menyertai. Ibu adalah kasih, ibu adalah sayang, ibu adalah wanita terhebat di muka bumi. Kasih ibu adalah sifat Tuhan yang dihembuskan ke dunia kepada kaum wanita. Di antara 99 nama Allah (asmaul husna) sebagian besar, selalu merepresantasikan sifat ibu ini.
Sungguh luar biasa.
Namun di era moderen hal tersebut mulai bergeser. Bermula dari konsep pembangunan (development) yang selanjutnya memunculkan aksi feminisme, dan berakses pada kesetaraan gender.
Sejarah perbedaan gender antara jenis lelaki dan perempuan, terjadi melalui proses yang amat panjang. Hal ini pun terjadi karena dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan direkonstruksi secara sosial, kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara.
Hingga kemudian ada penyimpangan anggapan bahwa gender adalah ketentuan Tuhan, bersifat biologis dan tak bisa diubah. Perbedaan gender ini adalah kodrat lelaki dan kodrat perempuan semata.
Dari sini, kemudian muncullah, seperti yang saya sebut di atas, konsep pembangunan (development). Konsep ini bermula dari Amerika, di era kejatuhan pamor sistem ekonomi kapitalis oleh sosialis.
Development diciptakan untuk menggeser kepopuleran sistem sosialis itu sendiri. Dari sistem ini, lahirlah aksi feminisme, dan berakses pada kesetaraan gender.
Kesetaraan gender ini sebenarnya tidak buruk, namun dalam penerapannya kadang terlalu disalah artikan hingga melenceng dari konsep sejatinya.
Sebenarnya untuk memahami konsep gender, harus dibedakan antara gender dengan kata seks (jenis kelamin). Yang dimaksud jenis kelamin adalah ciri fisik yang melekat dada lelaki dan perempuan. Misalnya, lelaki memiliki sperma dan perempuan memiliki rahim.
Secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara lelaki dan perempuan. Ini adalah sudah ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan (kodrat).
Sedangkan konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang direkonstruksi secara sosial maupun kultural.
Misalnya bahwa perempuan itu selalu lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri sifat itu sendiri merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Sebab, kadang ada juga lelaki lemah lembut, emosional, atau keibuan. Sebaliknya ada juga wanita yang kuat, rasional, perkasa.
Misalnya pada suku-suku Amazon, wanita lebih kuat dari laki-laki. Mereka adalah pemimpin bagi sukunya, pelindung seluruh rakyatnya, termasuk kaum lelaki itu. Sementara di suku lain, laki-lakilah yang berperan sebagai kepala dan bersifat lebih kuat, pelindung kaum wanita.
Dari sinilah mungkin mengapa akhir-akhir ini muncul pendapat bahwa menjadi seorang ibu itu adalah pilihan. Artinya, peran ibu bisa diganti dan direkonstruksi. Sama halnya dengan memilih jenis kelamin. Dengan kecanggihan dunia medis, manusia bisa memilih mau menjadi wanita atau lelaki. Bila demikian, maka sudah tak jelas lagi yang mana konsep gender dan konsep sexual.
Misalnya, wanita moderen saat ini tak perlu repot lagi merawat bayinya, karena saat ini sudah banyak bertebaran rumah-rumah penitipan anak, atau menyewa baby sitter terlatih.
Bahkan, kini seorang wanita tak perlu repot-repot mengandung bila ingin punya anak, karena mereka bisa menyewa rahim dari seorang wanita lain. Praktik ini disebut surrogate mother.
Menurut saya, bila peran ibu yang dimaksud adalah mendidik anak, ya, saya setuju bahwa itu disebut pilihan, itu adalah gender. Karena, kaum lelaki bisa saja mengambil peran ini. Namun bila dalam konteks melahirkan, menyusui, bahkan merawat anak, saya kurang setuju. Dua domain ini adalah kodrat bagi kaum wanita, bukan pilihan.
Anda boleh mengatakan saya kolot atau apa, namun saya hanya melihat akan ada pengaruh psikologis antar anak yang dilahirkan, disusui, diasuh oleh ibu sendiri, dari pada yang tidak. Karena punya anak, bukanlah sekadar berkembang biak, melainkan juga bertanggung jawab atas kelangsungannya, tak hanya konsep lahir seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, melainkan juga konsep batin, seperti kasih sayang.
Dalam hidup ini, bagaimanapun kesejatian, tak akan bisa tergantikan oleh kepalsuan.
Dari sini saya jadi teringat dalam episode Kick Andy, Mencari Akar di Luasnya Dunia. Episode ini mengisahkan, betapa gigihnya anak manusia mencari akar dirinya.
Kisah yang menyentuh ketika Kiyati, dipertemukan dengan orang ibu kandungnya, Mulyati. Kiyati, memang sejak masih usia 14 hari sudah diadopsi oleh warga negara Jerman.
Meskipun Kiyati sejak lahir tak menerima sentuhan sang ibu kandung, namun tetap saja mentalnya belum siap untuk bertemu ibundanya. Perlu waktu hingga belasan tahun untuk menyiapkan diri.
Hingga akhirnya pertemuan itu terjadi. Kiyati pun luruh, tak kuasa membendung air mata. Anak manusia ini telah menemukan akarnya.
Dari sini, kian meyakinkan kita bahwa kasih ibu memang tak ada bandingan, sungguh tak tergantikan. Dari sini, konsep bahwa menjadi ibu itu pilihan, luruh sudah. Menjadi ibu adalah kodrat, termasuk menjalankan peran sebagai ibu.
Menjadi ibu bukanlah pilihan, atau masuk dalam konsep gender. Alasannya, Mansour Faqih dalam bukunya, Analisis Gender dan Transformasi Sosial menulis, karena gerakan transformasi gender itu lebih merupakan gerakan pembebasan perempuan dan laki-laki dari sistem yang tidak adil.
Transformasi gender adalah upaya liberasi dari segala bentuk penindasan, baik secara struktural, personal, kelas, warna kulit maupun ekonomi internasional.
Bila merujuk dari definisi ini, pertanyaannya adalah, apakah menjadi ibu adalah buah dari ketidak adilan? Apakah menjadi ibu merupakan sebuah bentuk penindasan, struktural, personal, kelas, oleh sistem patriarki?
Saya rasa tidak. Menjadi ibu adalah peran mulia. Di tangannyalah masa depan anak bangsa dibina.
Sebagaimana yang ditulis Profesor Quaraish Shihab, yang amat bagus untuk kita renungkan bersama.
“Hormati wanita, karena ibu adalah wanita. Tak seorang lelakipun yang mampu melahirkan dan tak seorang anak Adam pun yang tak beribu, walau ada yang tak berayah.” Selamat Hari Ibu....
Ketika kata ini disebut, maka beribu kata sanjungan biasanya akan menyertai. Ibu adalah kasih, ibu adalah sayang, ibu adalah wanita terhebat di muka bumi. Kasih ibu adalah sifat Tuhan yang dihembuskan ke dunia kepada kaum wanita. Di antara 99 nama Allah (asmaul husna) sebagian besar, selalu merepresantasikan sifat ibu ini.
Sungguh luar biasa.
Namun di era moderen hal tersebut mulai bergeser. Bermula dari konsep pembangunan (development) yang selanjutnya memunculkan aksi feminisme, dan berakses pada kesetaraan gender.
Sejarah perbedaan gender antara jenis lelaki dan perempuan, terjadi melalui proses yang amat panjang. Hal ini pun terjadi karena dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan direkonstruksi secara sosial, kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara.
Hingga kemudian ada penyimpangan anggapan bahwa gender adalah ketentuan Tuhan, bersifat biologis dan tak bisa diubah. Perbedaan gender ini adalah kodrat lelaki dan kodrat perempuan semata.
Dari sini, kemudian muncullah, seperti yang saya sebut di atas, konsep pembangunan (development). Konsep ini bermula dari Amerika, di era kejatuhan pamor sistem ekonomi kapitalis oleh sosialis.
Development diciptakan untuk menggeser kepopuleran sistem sosialis itu sendiri. Dari sistem ini, lahirlah aksi feminisme, dan berakses pada kesetaraan gender.
Kesetaraan gender ini sebenarnya tidak buruk, namun dalam penerapannya kadang terlalu disalah artikan hingga melenceng dari konsep sejatinya.
Sebenarnya untuk memahami konsep gender, harus dibedakan antara gender dengan kata seks (jenis kelamin). Yang dimaksud jenis kelamin adalah ciri fisik yang melekat dada lelaki dan perempuan. Misalnya, lelaki memiliki sperma dan perempuan memiliki rahim.
Secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara lelaki dan perempuan. Ini adalah sudah ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan (kodrat).
Sedangkan konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang direkonstruksi secara sosial maupun kultural.
Misalnya bahwa perempuan itu selalu lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri sifat itu sendiri merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Sebab, kadang ada juga lelaki lemah lembut, emosional, atau keibuan. Sebaliknya ada juga wanita yang kuat, rasional, perkasa.
Misalnya pada suku-suku Amazon, wanita lebih kuat dari laki-laki. Mereka adalah pemimpin bagi sukunya, pelindung seluruh rakyatnya, termasuk kaum lelaki itu. Sementara di suku lain, laki-lakilah yang berperan sebagai kepala dan bersifat lebih kuat, pelindung kaum wanita.
Dari sinilah mungkin mengapa akhir-akhir ini muncul pendapat bahwa menjadi seorang ibu itu adalah pilihan. Artinya, peran ibu bisa diganti dan direkonstruksi. Sama halnya dengan memilih jenis kelamin. Dengan kecanggihan dunia medis, manusia bisa memilih mau menjadi wanita atau lelaki. Bila demikian, maka sudah tak jelas lagi yang mana konsep gender dan konsep sexual.
Misalnya, wanita moderen saat ini tak perlu repot lagi merawat bayinya, karena saat ini sudah banyak bertebaran rumah-rumah penitipan anak, atau menyewa baby sitter terlatih.
Bahkan, kini seorang wanita tak perlu repot-repot mengandung bila ingin punya anak, karena mereka bisa menyewa rahim dari seorang wanita lain. Praktik ini disebut surrogate mother.
Menurut saya, bila peran ibu yang dimaksud adalah mendidik anak, ya, saya setuju bahwa itu disebut pilihan, itu adalah gender. Karena, kaum lelaki bisa saja mengambil peran ini. Namun bila dalam konteks melahirkan, menyusui, bahkan merawat anak, saya kurang setuju. Dua domain ini adalah kodrat bagi kaum wanita, bukan pilihan.
Anda boleh mengatakan saya kolot atau apa, namun saya hanya melihat akan ada pengaruh psikologis antar anak yang dilahirkan, disusui, diasuh oleh ibu sendiri, dari pada yang tidak. Karena punya anak, bukanlah sekadar berkembang biak, melainkan juga bertanggung jawab atas kelangsungannya, tak hanya konsep lahir seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, melainkan juga konsep batin, seperti kasih sayang.
Dalam hidup ini, bagaimanapun kesejatian, tak akan bisa tergantikan oleh kepalsuan.
Dari sini saya jadi teringat dalam episode Kick Andy, Mencari Akar di Luasnya Dunia. Episode ini mengisahkan, betapa gigihnya anak manusia mencari akar dirinya.
Kisah yang menyentuh ketika Kiyati, dipertemukan dengan orang ibu kandungnya, Mulyati. Kiyati, memang sejak masih usia 14 hari sudah diadopsi oleh warga negara Jerman.
Meskipun Kiyati sejak lahir tak menerima sentuhan sang ibu kandung, namun tetap saja mentalnya belum siap untuk bertemu ibundanya. Perlu waktu hingga belasan tahun untuk menyiapkan diri.
Hingga akhirnya pertemuan itu terjadi. Kiyati pun luruh, tak kuasa membendung air mata. Anak manusia ini telah menemukan akarnya.
Dari sini, kian meyakinkan kita bahwa kasih ibu memang tak ada bandingan, sungguh tak tergantikan. Dari sini, konsep bahwa menjadi ibu itu pilihan, luruh sudah. Menjadi ibu adalah kodrat, termasuk menjalankan peran sebagai ibu.
Menjadi ibu bukanlah pilihan, atau masuk dalam konsep gender. Alasannya, Mansour Faqih dalam bukunya, Analisis Gender dan Transformasi Sosial menulis, karena gerakan transformasi gender itu lebih merupakan gerakan pembebasan perempuan dan laki-laki dari sistem yang tidak adil.
Transformasi gender adalah upaya liberasi dari segala bentuk penindasan, baik secara struktural, personal, kelas, warna kulit maupun ekonomi internasional.
Bila merujuk dari definisi ini, pertanyaannya adalah, apakah menjadi ibu adalah buah dari ketidak adilan? Apakah menjadi ibu merupakan sebuah bentuk penindasan, struktural, personal, kelas, oleh sistem patriarki?
Saya rasa tidak. Menjadi ibu adalah peran mulia. Di tangannyalah masa depan anak bangsa dibina.
Sebagaimana yang ditulis Profesor Quaraish Shihab, yang amat bagus untuk kita renungkan bersama.
“Hormati wanita, karena ibu adalah wanita. Tak seorang lelakipun yang mampu melahirkan dan tak seorang anak Adam pun yang tak beribu, walau ada yang tak berayah.” Selamat Hari Ibu....
Posting Komentar