Media Bawean, 10 Januari 2011
Oleh Abd. Rahman
Belum lama membaca berita di Media Bawean tentang mahalnya cabe dan barang-barang pokok lainnya akibat cuaca buruk dan tidak adanya kapal yang berangkat dari Gresik ke Bawean, sekarang media nasional diramaikan lagi dengan berita mahalnya cabe yang melewati seratus ribu/kg. ini membuat saya teringat pada cerita pak guruku sewaktu aku masih sekolah di SMP dulu, apalagi berita hari ini cuaca memburuk lagi, dan kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Di sela-sela pelajaran, beliau cerita bilang begini: kemaren saya bertemu dengan seorang ibu dari desa mau pergi ke pasar, setelah menyapanya, saya Tanya: ke pasar mau beli apa bu? Sang ibu menjawab: mellea cecengi (cabe).
Pak guruku bercerita ini karena heran, bagi beliau ibu itu aneh, seharusnya dia ke pasar menjual cabe, bukan membeli. Beliau bilang: mengapa ia harus membeli cabe ke pasar? Apakah tidak bisa menanam cabe di depan atau belakang rumahnya? Cerita pak guruku dan keheranannya ini membuat aku berpikir dan teringat: iya ya, di samping rumah orang tuaku ada pohon cabe yang tumbuh, setiap hari kalau mau makan, bapak memetik dulu beberapa buah cabe itu. Iya, di samping rumah orang tuaku bisa tumbuh cabe, dan setahu saya cabe itu bukan di tanam tapi tumbuh sendiri, mungkin ada biji cabe yang terbuang di samping rumah lalu tumbuh. Dan di samping rumah orang tuaku masih ada tumbuhan lain yang juga tumbuh sendiri, ada sirsak, kedondong, papaya, dan yang satu ini paling sering tumbuh. Tau-tahu saja di samping rumah tumbuh pohon pepaya, tidak ditanam, juga tidak dirawat, tumbuhnya cepat sekali, lalu berbuah, setelah pohon pepaya ini mati, tak lama ada yang tumbuh lagi, bahkan terkadang baru mulai berbuah terpaksa harus ditebang karena tumbuhnya terlalu dekat dengan rumah, katanya khawatir akarnya merusak pondasi rumah.
Ada lagi pohon pisang, aku tidak tahu kapan ditanamnya, setahu saya sejak saya kecil pisang itu sudah ada di samping rumah, yang setiap saat memberikan buahnya, setiap kali ditebang dan diambil buahnya, ada yang tumbuh lagi, ditebang tumbuh lagi dan seterusnya, sampai sekarang. Ada juga sih yang ditanam, yang jelas kita dianugerahi oleh Allah tanah yang subur, tapi kita tidak atau kurang memanfaakannya. Ya Allah, alangkah pemurahnya engkau, tanpa diminta engkau memberi, apalagi kalau diminta. Engkau ciptakan bumi Bawean sangat subur yang menumbuhkan berbagai macam buah-buahan tanpa kami bersusah payah.
Saya tidak akan bicara soal berita nasional tentang cabe, karena itu bukan kapasitas saya. Saya bicara di Bawean saja, kembali kepada cerita pak guruku itu. Mengapa sampai sekarang masih ada ibu-ibu dari desa yang melle cecengi ka pasar dan dengan harga yang cukup tinggi? Kalau tidak ada kapal dari tanah jawa, harga-harga meningkat dan Bawean rawan pangan? Kenapa sampai sekarang beras, buah-buahan, sayuran, rempah-rempah masih didatangkan dari jawa? tidak bisakah kentang, wortel, kool, cabe, bawang dst tumbuh di tanah Bawean? Tidak bisakah semangka, apel, dukuh, salak tumbuh di bumi bawean? Tidak bisakah ayam bertelur di Pulau Bawean? Tidak bisakah beras dicukupkan dari tanah Bawean? Sehingga warga bawean tidak selalu dihantui dengan ombak besar, tidak selalu direpotkan dengan tidak adanya kapal yang mengangkut bahan makanan dari luar.
Atau warga Bawean sudah kelewat pintar sehingga pikirannya kelewat jauh? Menjadi Kabupaten sendiri… menjadi daerah wisata… mendatangkan turis dari manca Negara.. membangun hotel dan lain-lain. Atau sibuk dengan dunia hiburan dengan mengembangkan hiburan-hiburan yang ada, mengimpor seni dari luar, dan menghidupkan lagi hiburan yang sudah ditinggalkan! Lomba ini, lomba itu, yang tidak banyak memberi manfaat kepada warga. sementara masalah yang sangat urgen dan mendasar terbaikan, urusan kebutuhan sehari-hari masih menggantungkan diri dari seberang!.
Apa tidak sebaiknya kita membangun Bawean dari dasar? Apa tidak sebaiknya kita melangkah dari awal?, apa tidak sebaiknya kita menaiki tangga dari tangga paling bawah? Apa tidak sebaiknya siswa-siswa kita selain diajari pramuka, computer, internet, juga diajari nyangkul, nanam padi, buah-buahan, sayuran, beternak ayam, kambing, sapi, atau diajari menangkap ikan di laut dan sebagainya. Bagaimana kalau seandianya siswa-siswi kita diajari teknologi tepat guna yang sesuai dengan alam Bawean dan bisa diterapkan di Bawean, sehingga setelah selesai sekolah anak-anak tersebut bisa mengelola sumber daya alam yang ada di Bawean, mempunyai lahan usaha serta bisa mengembangkan usaha di Bawean, dan tidak harus mewarisi budaya nenek moyang mengadu nasib ke negeri orang.
Selama ini kelihatannya kita terlalu disibukkan dengan persoalan jalan, kapal dan listrik. Tidak bisa dipungkiri ketiga hal ini memang sangat penting, akan tetapi jangan sampai melupakan yang tidak kalah pentingnya dari ketiga hal tersebut, yaitu ketahanan pangan, bagaimana Bawean yang tanahnya subur ini bisa mandiri secara pangan, bahkan kalau bisa bukan hanya memenuhi kebutuhan sendiri, kalau bisa meng”ekspor”nya ke luar Bawean, sehingga dengan demikian kita bukan saja “aman” dari rawan pangan, tapi juga bisa meningkatkan ekonomi masyarakat.
Sampai sekarang sekitar 90% warga Bawean mengandalkan kiriman dana dari luar, sebagian besar warga kita mengais rezeki di negeri orang, dengan resiko yang tidak ringan, dan perlakuan yang terkadang kurang manusiawi. Saya tidak bisa membayangkan kalau misalnya warga Bawean -katakan yang ada di malaisia- dipulangkan semua, karena sudah tidak dibutuhkan misalnya, bagaimana kira –kira nasib warga kita?
Kita semua sepakat bawean harus maju, harus bangkit dan harus mengejar ketertinggalan dari daerah lain, bahkan kalau bisa melebihi, tapi kita harus berpikir realistis, jangan seperti anak SD yang hanya sibuk memikirkan dan membayangkan kalau nanti jadi mahasiswa, pilih perguruan tinggi mana? Pilih fakultas apa? Jurusan apa? Sementara nilai pelajaran SDnya kedodoran.
Bagaimana kalau seandainya tahun depan Lapter selesai, pesawat terbang Juanda-Bawean sudah beroprasi, lalu turis berdatangan dari manca Negara. Produk apa di Bawean yang bisa dijual kepada mereka? Sudah siapkah warga Bawean memproduksi kerajinan tangan atau produk asli Bawean? Sudah siapkah para pedagang kita melayani para turis? Sudah siapkah anak-anak Bawean menjadi guide? Terus bagaimana kalau cuaca buruk lagi lalu tidak ada bahan pangan di Bawean?
Semoga tulisan ini bermanfaat, dan semoga bapak guruku tidak lupa ceritanya dan tetap menceritakannya kepada anak muridnya. Terima kasih pak guruku!.
Posting Komentar