Media Bawean, 11 April 2011
Menonton antraksi pencak silat Bawean hari sabtu (19/3/2011) dalam ragka Molod Berentang Kota, Negara, Benua ke-II di Sangkapura, ada sekilas pemikiran di benak saya sebagai Ketua Bidang Pelestarian Adat Budaya dan Bahasa Bawean Kerukunan Toghellen Bawean (KTB).
Ketika kendang dan gong mulai dipukul dan para pendekar serta murid-muridnya berdatangan, penontonpun datang berjibun memenuhi Alun-Alun Kota Sangkapura Bawean.
Acarapun mulai digelar dengan diawali pencak pembuka oleh sesepuh pendekar. Kemudian pedangpun ditancapkan di depan 2 pendekar atau 2 murid untuk saling berhadapan. Maka pasangan-pasangan pun menunjukkan kebolehan.
Namun penonton sangat terhibur bila giliran murid saling unjuk kebolehan kendati yang dipertontonkan lebih banyak adu kekuatan daripada tehnik bersilat.
Memang menonton silat Bawean sekarang lebih tersuguhi dengan adengan addu gelluk. Lalu apakah budaya pencak silat Bawean yang dulu disegani kawan dan lawan hanya tinggal beginikah?
Bukankah pencak silat Bawean juga merupakan bekal pemuda-pemuda Bawean kalau pergi merantau sejak zaman dahulu kala?
Untuk itu alangkah bijaknya mengingat jumlah pendekar sepuh kita sekarang cuma bisa dihitung dengan jari, kalau ilmu beliau kita timba, kita pelajari, kita warisi. Misalnya dengan memasukkan pencak silat sebagai bahan pelajar sekolah di Pulau Bawean. Naddhe togellen pade mekkere sadejhe.
Posting Komentar