Media Bawean, 8 Mei 2011
Oleh : Drs. H. Abdul Khaliq
(GURU SMANU Islamiyah Bawean)
"Sekarang ini bukan zamannya Siti Nurbaya lagi!"
Ungkapan di atas mengacu pada tradisi perempuan muda yang tidak mau kawin paksa,tidak mau dijodoh-jodohkan,dan tidak mau menuruti kehendak orang tuanya.Tradisi yang banyak tidak disukai kaum perempuan muda ini biasanya disebut "tradisi Siti Nurbaya".
Kenyataannya,di sebagian desa-desa di Pulau Bawean ungkapan di atas tidak berlaku. Hal ini diungkapkan oleh Ketua PC IPNU Bawean.
"Ninwari Ali,sebagai Ketua Pengurus Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama ( PC IPNU) Bawean mengungkapkan bahwa tradisi Siti Nurbaya masih marak di Pulau Bawean. Hasil temuannya,masih banyak dan kerap terjadi di Pulau Bawean,terutama di desa-desa,yaitu orang tua memaksakan sang anak perempuan untuk bertunangan,dilanjutkan ke jenjang pernikahan dengan cara pemaksaan,bukan suka sama suka atau cinta-mencintai." (Media Bawean, 22 April 2011)
Keluhan Ninwari Ali ini sampai juga ke telinga pengacara Singapura berdarah Bawean, H. Samri Barik,S.H.LLB,Hons.London,yang merasa kasihan pada korban tradisi Siti Nurbaya di Pulau Bawean.
"Kasihan sekali anak-anak yang menjadi Siti Nurbaya di Pulau Bawean,tidak diberikan kesempatan untuk sampai ke wisuda atau ke perguruan tinggi setelah meningkat dewasa,malah dipaksa wisuda di atas pelaminan! Apakah manusia perlu ambisi terus sehingga mengaturkan jodoh anak dengan orang yang disukai kedua orang tuanya?" (Media Bawean,26 April 2011)
Benarkah Siti Nurbaya itu dipaksa kawin?
Benarkah Siti Nurbaya itu rela melakukan kawin paksa?
Benarkah Baginda Sulaiman,orang tua Siti Nurbaya, telah melakukan pemaksaan kawin terhadap puterinya?
Bukankah Siti Nurbaya terpaksa kawin?
Ada perbedaan makna antara 'kawin paksa' dengan 'kawin terpaksa'.
Kawin paksa mengacu pada makna 'mengerjakan sesuatu (perkawinan) yang diharuskan walaupun tidak mau'. Kadang-kadang 'pemaksaan' itu dilakukannya dengan kekerasan.
Kawin terpaksa mengacu pada makna 'berbuat (kawin) di luar kemauan sendiri karena terdesak oleh keadaan'.
2. Roman Siti Nurbaya
Roman "Siti Nurbaya" adalah sebuah roman adat yang lahir pada masa angkatan '20-an. Roman karya Marah Rusli ini banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan sastrawan. Roman ini pertamakali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1922.
3. Tema cerita :
Ketaatan dan kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya sehingga ia rela mengorbankan cinta kasihnya dan memutuskan untuk menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Ia tidak ingin melihat orang tuanya menderita sekalipun dalam rumah tangganya ia mengalami penderitaan yang berkepanjangan.
4. Seting cerita : Padang dan Jakarta.
Tokoh-tokoh cerita:
1. Siti Nurbaya
2. Samsulbahri
3. Baginda Sulaiman, ayah Siti Nurbaya
4. Sultan Mahmud Syah, ayah Samsulbahri
5. Datuk Maringgih, orang tua kaya raya, yang serakah dan licik
6. Zainularifin
7. Alimah
8. Sultan Hamzah
9. Kusir Ali
10. Pendekar (3, 4, dan 5) pengawal Datuk Maringgih.
5. Ringkasan Cerita:
Keluarga Baginda Sulaiman dengan keluarga Sutan Mahmud Syah sangat akrab. Kedua keluarga sering saling mengunjungi. Demikian pula dengan anak mereka pun selalu bermain bersama-sama. Ketika telah menginjak dewasa, keduanya menjalin hubungan cinta kasih. Kedua keluarga pun merestui hubungan mereka.
Saudagar ketiga adalah Datuk Maringgih. Ia adalah seorang rentenir yang kikir dan tidak disukai oleh masyarakat karena kekikirannya itu. Sifatnya sangat angkuh, iri hati, dan suka memfitnah orang lain. Ia merasa iri melihat kemajuan usaha dagang Baginda Sulaiman dan menganggapnya sebagai musuh besarnya. Itulah sebabnya, ia berniat untuk menghancurkan usaha dagangnya. Dengan bantuan orang-orang suruhannya, ia membakar toko Baginda Sulaiman sehingga ayah Siti Nurbaya ini jatuh bangkrut.
Baginda Sulaiman tidak mengetahui jika kebakaran itu disebabkan ulah Datuk Maringgih. Tanpa berpikir panjang, ia mendatangi rumah Datuk Maringgih untuk meminjamkan uang. Kedatangan Baginda Sulaiman membuka jalan bagi Datuk Maringgih untuk menjatuhkannya. Dengan senang hati rentenir itu meminjamkan uang kepadanya dengan perjanjian harus dibayar lunas dalam jangka waktu tiga bulan. Karena sangat terdesak, Baginda Sulaiman pun menyetujuinya.
Tiga bulan kemudian, Datuk Maringgih menagih hutang Baginda Sulaiman sesuai dengan perjanjian mereka. Namun, Baginda Sulaiman tidak mampu melunasinya, karena jumlah pinjaman itu dinaikkan menjadi tiga kali lipat. Ia pun menjadi bingung. Datuk Maringgih mengancam bila Baginda Sulaiman tidak melunasi hutangnya, ia akan melaporkannya ke kantor polisi. Namun, ia memberikan kemungkinan lain, yaitu hutang tersebut dianggap lunas bila ia menyerahkan Siti Nurbaya untuk menjadi istri mudanya. Hati Baginda Sulaiman pun menjadi sangat bingung. Ia tidak ikhlas menyerahkan anak gadisnya kepada rentenir itu.
Hati Baginda Sulaiman menjadi sangat bingung. Ia pun memilih tawaran pertama.
Siti Nurbaya secara diam-diam mendengar semua pembicaraan ayahnya dengan Datuk Maringgih. Ia sangat mencintai ayahnya dan ia tidak ingin melihatnya menderita karena masuk penjara. Gadis itu pun keluar dan menyatakan kesediaannya untuk menjadi istri Datuk Maringgih. ................
........................................
Kutipan 1
" Ayahku tiada menyahut apa-apa lain daripada, "Lakukanlah kewajiban Tuan-tuan!" Tatakala kulihat ayah akan dibawa ke dalam penjara,sebagaimana seorang penjahat yang bersalah besar, gelaplah mataku dan hilanglah pikiranku dan dengan tidak diketahui, keluarlah aku , lalu berteriak, "Jangan dipenjarakan ayahku! Biarlah aku jadi istri Datuk Maringgih! Mendengar perkataan itu, tersenyumlah Datuk Maringgih dengan senyum yang pada penglihatanku , sebagai senyum seekor harimau yang hendak menerkam mangsanya,dan terbanglah sukacitanya dan berahi serta hawa nafsu hewan kepada matanya sehingga terpaksa aku menutup mataku."
Berdasarkan kutipan teks yang menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku utama "aku" di atas, tersirat makna bahwa Siti Nurbaya bersedia menjadi istri Datuk Maringgih karena 'terpaksa', agar ayahnya tidak dipenjara. Jadi, bukan karena 'dipaksa' kawin.
Sebelum kejadian tersebut,apakah Baginda Sulaiman melakukan 'pemaksaan' terhadap Siti Nurbaya? Jawabnya,tentu tidak. Baginda Sulaiman lebih memilih dipenjara daripada menyerahkan Siti Nurbaya kepada rentenir Datuk Maringgih!
Kutipan 2
"Ayahku tiada berkata apa-apa melainkan datang memeluk aku, sambil bertanya, "Benarkah katamu itu?" Seperti suatu perkakas mengangguklah aku, karena mengeluarkan perkataan tak dapat lagi."
Berdasarkan kutipan teks di atas, sebenarnya Baginda Sulaiman tidak hanya menyayangi puterinya,tetapi ia adalah orang tua yang bertindak demokratis kepada putrinya. Baginda Sulaiman sempat meragukan 'anggukan' sebagai tanda 'kebersediaan' Siti Nurbaya untuk diperistri Datuk Maringgih. "Benarkah katamu itu?" tanya Baginda Sulaiman kepada Siti Nurbaya ketika Siti Nurbaya berteriak,"Biarlah aku jadi istri Datuk Maringgih.
6. Kesimpulan
Berdasarkan urain di atas, penulis mengambil kesimpulan.
6.1. Tidak ada unsur pemaksaan kepada Siti Nurbaya oleh Baginda Sulaiman untuk kawin dengan Datuk Maringgih.
Artinya,tidak terjadi 'kawin paksa'.
6.2. Kebersediaan Siti Nurbaya menjadi istri Datuk Maringgih,karena Siti Nurbaya terdesak oleh keadaan. Artinya, Siti Nurbaya dengan sangat 'terpaksa' mau menjadi istri Datuk Maringgih.
6.3 Selain menyangi dan melindungi puterinya, Baginda Sulaiman,sebagai orang tua, telah bertindak hati-hati dan demokratis dalam mengambil keputusan. Siti Nurbaya,sebagai anak, diberi hak untuk menyatakan pendapatnya.
6.4 Puluhan tahun lamanya telah terjadi 'salah kaprah' adanya anggapan yang mengatakan bahwa ada 'kawin paksa' pada roman "Siti Nurbaya" ,padahal yang terjadi adalah 'kawin terpaksa'. Siti Nurbaya pun bukanlah termasuk golongan perempuan muda yang dijodoh-jodohkan orang tuanya dengan lelaki yang bukan pilihannya.
Sumber:
1.Rani,Abdul Suprtman dan Endang Sugiarti.1999. "Ikhtisar Roman SastraIndonesia". Bandung. Pustaka Setia
2.Rusli,Marah.1990." Siti Nurbaya" cetakan ke-20. Jakarta.Balai Pustaka
Posting Komentar