Peristiwa    Politik    Sosial    Budaya    Seni    Bahasa    Olahraga    Ekonomi    Pariwisata    Kuliner    Pilkada   
adsbybawean
Home » » In Memoriam
KH. Raden Abdurrahman

In Memoriam
KH. Raden Abdurrahman

Posted by Media Bawean on Minggu, 24 Juli 2011

Media Bawean, 24 Juli 2011

Oleh : Baharuddin

SOSOK PENDIAM YANG KHARISMATIS

Juni 1992, markas Bawean Putera Sepak Takraw Club (BPSC) di Tiong Poh Road Singapore kedatangan tamu istimewa, KH. Raden Abdurrahman dan rombongan dalam kapasitas sebagai Ketua Yayasan Pengembangan Pulau Bawean (YP2B). Saya termasuk salah satu dari anggota rombongan tersebut sebagai Sekretaris Yayasan. Dari pihak BPSC hadir sejumlah pengurus antara lain Hj. Ismail dan Hj. Ahmad Dawam masing-masing sebagai Ketua dan Setia Usaha. S. Wira ketua Teater Bawean juga hadir disana bersama Nurliati Hussein staf Taman Inabah, yaitu suatu lembaga bagi pemulihan korban narkotika yang dikelola oleh etnis keturunan Bawean di Singapore. Yang menarik dalam pertemuan tersebut, begitu acara penyambutan usai, sejumlah hadirin menyodorkan botol berisi air putih yang minta di doai oleh KH. Raden Abdurrahman. Tidak hanya disitu, ketika rombongan dijamu oleh Hj. Buang Masadin, Presiden Persatuan Bawean Singapora (PBS) hal yang sama juga terjadi. Itu suatu gambaran betapa beliau memiliki kahrisma yang sangat tinggi dikalangan warga Bawean, di luar apalagi di dalam negeri.

Para santri dan muridnya biasa menyapa Ustadz Mak Mang. Semasa hidupnya beliau memberi pelajaran mengaji kitab kuning di musallah di depan rumahnya, beliau juga mengajar di Madrasah Hidayatul Oeloem (MHO), Madrasah Muallimin, Sekolah Menengah Islam Nahdlatul Ulama (SMINU), Pendidikan Guru Agama yang juga berada di depan rumahnya (di komplek tersebut sekarang menjadi MINU, MTs, MA dan SMA Umar Mas’ud). Orang-orang sepuh memanggilnya Din Mak Makmang, Din berasal dari kata Raden. Beliau memiliki darah biru yang sosor galurnya berasal dari Syekh Maulana Umar Mas’ud, penyiar islam pertama di Pulau Bawean yang berasal dari Magribi. Jika Bawean berbentuk kerajaan, maka Din Mak Mang lah sebagai rajanya. Para sejawatnya baik ketika bekerja di Kantor Urusan Agama maupun di Pengadilan Agama, menyapanya dengan Pak Abdurrahman. Tidak sedikit juga yang menyapanya dengan Pangolo, karena beliau pernah menjadi Penghulu yakni suatu jabatan di Kantor Urusan Agama untuk mengawinkan seseorang. Tapi sebagian warga Bawean menyebut beliau dengan Kiyai. Kyai Abdurrahman atau Kyai Mak Mang.

KH. Raden Abdurrahman, Din Makmang, Pangolo atau Pak Abdurrahman adalah putera dari pasangan KH. Raden Badruddin dan Hj. Raden Maria. Dari pasangan tersebut melahirkan empat orang putera dan dua orang puteri. Hanya Raden Saleh kakak beliau yang menjadi pedagang, Raden Mahmud Badruddin menjadi aktifis Muhammadiyah di Bawean, Raden Mukri Badruddin pernah aktif di organisasi Pelajr Islam Indonesia ketika sekolah di Yogyakarta. Sedang dua kakaknya yang lain Fatimah dan Mas’edah hanya menjadi ibu rumah tangga. Beliau lahir tanggal 29 Desember 1930 bertepatan dengan tanggal 29 Ramadhan 1351. Adapun almarhum semasa hidupnya pernah menjabat Ketua Pandu Ansor Cabang Bawean, Kepala Perwakilan Kantor Departemen Agama Kawedanan Bawean, Hakim dan Ketua Pengadilan Agama Bawean, Salah seorang pendiri Yayasan Pendidikan Islam Umar Mas’ud, Ketua Yayasan Pengembangan Pulau Bawean (YP2B), mantan anggota DPRD Tk. II kabupaten Gresik dari Golkar, sampai akhir hayatnya menjati ketua Takmir Masjid Jamik Sangkapura, Ketua Dewan Petimbangan Adat Karukunan Toghellen Bawean (KTB) dan sejumlah jabatan lainnya.

Penulis pernah bersama beliau ketika di YP2B. Ketika menjadi Ketua Pengadilan Agama Bawean penulis menjabat sebagai Panitera/Sekretaris. Ketika beliau menjadi penasehat Yayasan Pendidikan Islam Umar Mas’ud, penulis menjabat sebagai Kepala Madrasah Tsanawiyah (MTs) Umar Mas’ud. Dan ketika beliau menjabatn sebagai Ketua Dewan Perimbangan Adat KTB, penulis menjadi Wakil Ketua Umum. Semua jabatan di organisasi sosial tersebut tidak pernah dimintanya, tapi jabatan itulah yang datang kepadanya atas permintaan masyarakat, Jika demikian halnya, beliau tidak kuasa menolaknya.

Dalam setiap pertemuan, baik di institusi tersebut diatas maupun di forum-forum yang lain – formal atau informal – KH. Raden Abdurrahman lebih banyak diamnya. Tapi setiap beliau hadir dalam pertemuan apapun selalu diminta pendapat atau fatwanya. Paling tidak dimohon untuk memimpin pembacaan doa. Dengan jurus diam adalah emas itulah maka beliau jauh dari berbagai macam pusaran konflik. Bahkan pada tahun 1966 ketika terjadi keributan antara pemuda Ansor dengan anak-anak IPNU/IPPNU yang berujung kepada unjuk rasa yang dilakukan oleh sebagian anggota Banser terhadap Pengurus Cabang NU Bawean di lantai atas gedung NU (sekarang SMA Umma) pak Abdurrahman memilih diam dengan tetap tinggal di rumahnya walaupun jarak Gedung NU dengan rumahnya hanya 10 meter saja, padahal pada saat itu beliau menjabat sebagai Ketua Pandu Ansor dan Direktur Muallimin dimana anak-anak Corps Brigade Pembangunan (CBP) sayap dari organisasi pelajar NU, menuntut ilmu.

Sebelum ke pesantren, beliau belajar agama pada pamannya, K. Raden Sulaiman. Setamat Sekolah Rakyat melanjutkan pendidikannya ke SMP Praban di Surabaya. Selama di Surabaya, beliau tinggal di rumah Raden Hamzah, yang juga dari kalangan darah biru di jalan Perak Timur yang beliau panggil dengan sebutan Embhe Hamzah. Walau berasal dari Bawean, sang Embhe selalu memakai blangkon dan ketika meninggal dunia Raden Hamzah dimakamkan di pemakaman khusus keturunan bangsawan Pemakaman Sentono Botoputih Srabaya, Dibawah bimbingan Embhe  Hamzah itulah beliau belajar etika hidup ala kaum bangsawan. KH. Raden Abdurrahman juga pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang bersama Raden Hamim Nahrawi, Jamil Dlafir (ayah dan paman Penulis), Makmum Yahya dan Raden Saleh Badruddin kakaknya. “Sekitar dua sampai tiga tahun” kata H. Makmun Yahya. Selepas itu beliau memilih berkarir sebagai pegawai negeri sipil pada Departemen Agama kabupaten Surabaya, lalu Departemen Agama kabupaten Gresik yang akhirnya kembali ke kampung halamannya sebagai Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan Sangkapura. Ketika Departemen Agama mendirikan lembaga baru disetiap kawedanan, beliau di promosi sebagai Kepala Perwakilan Departemen Agama kawedanan Bawean. Dan setelah lembaga tersebut dilikuwidasi, beliau mutasi ke kantor Pengadilan Agama Bawean sebagai Hakim. Tidak lama setelah itu, KHR. Abdurrahman diangkat sebagai Ketua sampai tiba masa pensiunnya di usia 60 tahun. Usia lanjut tidak mengendurkan semangat pak Ustad untuk tetap mengabdi. Ketika Golkar melamarnya untuk menjadi calon anggota dewan tingkat II kabupaten Gresik beliau menerimanya – yang katanya – setelah melalui proses shalat istikharoh. Dan ternyata terpilih.

Dunia peradilan adalah dunia yang penuh sengketa. Sengketa perceraian dengan segala konsekwensinya. Tetapi selama KH. Raden Abdurrahman menjadi Ketua Pengadilan Agama Bawean tidak ada satu perkarapun yang dilakukan banding. Ini bermakna, putusan beliau sebagai Ketua Majelis diterima oleh kedua belah pihak karena dianggap cukup adil.

KH. Raden Abdurrahman menjadi rujukan bagi para peneliti yang akan menulis tentang sejarah Bawean terutama dalam rangkan menulis disertasi untuk mencapai gelar Doktor, seperti Prof. Dr. Yacob Fradenbecht (Leiden University), Prof. Dr. Ali Mufradi (Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya), Mariam Ali, PHD (Harvard University) dan sebagainya.

Kecintaan KH. Raden Abdurrahman kepada masyarakat Bawean sangat luar biasa. Undangan pengajian kemanapun juga tidak pernah beliau tampik, walau sesulit apapun medannya. Rabiul Awal adalah hari-hari yang amat padat baginya. Setiap hari kadang-kadang harus menghadiri lima undangan pengajian dalam waktu yang bersamaan. Warga Bawean dapat memaklumi jika beliau tidak datang tepat waktu dan mereka rela menunggu. “Saya sangat terkesan akan oratornya ketika beliau berceramah” kata Hamid Abduh, murid Ustadz Mak Mang ketika di MHO dulu yang kini menjadi aktifis Persyarikatan Muhammadiyah. “Ceramahnya amaddhuen” kata KH. Hazin Zainuddin teman sejawat almarhum suatu ketika. Amaddhuen bermakna manis seperti madu. KHR. Abdurrahman memang pendiam, Jarang bicara. Tetapi ketika berceramah, dengan intonasi yang tetap terjaga, dengan kata yang tersusun rapi dan kadang puitis dilandasi dengan ayat al Qur’an dan Hadits nabi serta kisah-kisah sejarah dan dengan bahasa yang mudah dipahami, membuat ummat Islam di Bawean semakin jatuh cinta kepada beliau.

Kecintaan warga semakin tinggi karena beliau selalu menjalin tali silaturrahmi. Siapapun yang meninggal dunia – terutama di kota Sangkapura – beliau selalu takziyah, memandikan jenazah, mengkafaninya, menjadi imam shalat jenazah, mengantarkan ke pemakaman, membaca talkin, memimpin tahlil, 3, 7 dan 40 harinya. Banyak warga masyarakat yang bertanya dan meminta nasehat kepada beliau kapan hari yang tepat untuk menikah, menyunat anaknya, menempati rumah baru dan memberikan nama anak yang baru lahir. Tidak sedikit warga yang meminta beliau untuk membagikan harta warisan.

Bagi jamaah masjid Sa'adatuddarain Sangkapura, KH. Raden Abdurrahman adalah seorang Kyai yang mendapat tempat tersendiri. Meninggalnya beliau adalah hilangnya sebuah rutinitas yang berlangsung puluhan tahun. Sebagai imam shalat rawatib, khatib shalat jum’at dan dibulan suci Ramadhan sebagai imam shalat taraweh, witir, kuliah tujuh menit (kultum) dan pengajian menjelang berbuka. Beberapa Ramadhan yang lalu, sebagai imam shalat taraweh beliau serahkan kepada puteranya Raden Ali Masyhar, S.Ag. Memasuki bulan Ramadhan yang akan datang, jamaah masjid jami' tersebut tidak akan lagi mendengar suaranya yang merdu sebagai imam shalat, tidak akan mendengar lagi ceramah-ceramahnya yang menyejukkan. 

Juma’at, tanggal 21 Juli 2012, pukul 17.36 WIB, Allah menjemputnya setelah di rawat di rumah sakit PHC Surabaya selama beberapa hari. Dokter menyarankan supaya dilakukan operasi jantung. Tetapi dalam sakitnya beliau selalu menanyakan, siapa yang menjadi imam shalat. Dan itu suatu pertanda bahwa ada kerinduan yang amat mendalam kepada jamaahnya. Maka keluarga memutuskan untuk dibawa pulang ke Bawean. Tidak lama setelah turun dari kapal Ustadz Mak Mang menghembuskan nafas yang terakhir,

Sebelumnya, tanggal 22 Juni 2011, selama 13 hari beliau melakukan ibadah umrah beserta semua anak dan menantunya bersama PT. Atria Wisata. Umrah tersebut juga merupakan suatu isyarat bahwa beliau akan segera menghadap Allah SWT. Beliau wafat pada usia 81 tahun. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Selamat jalan Ustadz, semoga damai di sisi Nya. Amin.

Baharuddin (Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Hasan Jufri Bawean)

SHARE :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 Media Bawean. All Rights Reserved. Powered by INFO Bawean